Tags
film favorit 1940an, film favorit 40-an, film terbaik 1940-an, film terbaik 40an, film terbaik charlie chaplin, film terbaik hollywood, film trebaik hitam putih, flm favorit charlie chaplin
Charlie Chaplin
1940
Comedy
Bila The Great Dictator adalah seorang perempuan, maka saya akan melamarnya.
Dua puluh menit saya menatap layar putih. Saya grogi untuk menulis perihal The Great Dictator. Bingung mencari kalimat-kalimat atau pengutaraan yang tepat demi menunjukan bahwa saya sungguh, betul-betul, sangat, amat, mencintai film ini.
Seakan gugup untuk menulis kata-kata puitis atau gombalan pada seseorang yang terkasih. Khawatir curahan hatinya tidak sesuai apa yang dirasakan, terlalu berlebihan, atau justru tak sanggup mewakili buncah gelora yang terpendam.
Saya biasanya menyebut Fight Club (1999) ketika ditanya “film apa yang paling kamu suka?”. Yup, film itu memang keren tiada tara, tiada banding. Mengagumkan, dari ujung ke ujung.
Namun, bila menggunakan perasaan, bicara soal hati, maka setelah saya merenung selama dua puluh menit itu, kok rasanya saya lebih sange baper ke The Great Dictator. Fight Club terbaik, tapi The Great Dictator adalah kesayangan.
Fight Club untuk dipuja, sementara The Great Dictator untuk dicintai. Saya tidak tahu mana yang akhirnya lebih abadi.
Seperti roman antara saya dengan pacar saya, tidak ada kisah cinta pada pandangan pertama dengan film ini. Oke, The Great Dictator adalah film Charlie Chaplin pertama yang saya tonton. Gara-garanya adalah mata kuliah Kajian Film yang memutarkan film ini. Wahai Cak Budi—dosenku ini bro—meski aku tak ingat apalagi yang Anda ajarkan ke saya, tapi terimakasih sudah dicomblangkan dengan film ini. Bagi saya, Anda bukan pengajar, melainkan Tinder.
Saya tidak langsung lingsir di kubang kasmaran ketika menonton The Great Dictator untuk pertamakalinya itu. Momen pemutaran itu bagi saya sebatas mengenalkan gaya sinema Chaplin, dan itu menarik.
Kemesraan itu melalui proses. Saya butuh mengakumulasi ilmu pengetahuan dan wawasan, mulai dari sosok Chaplin, referensi film lain (terutama sezamannya), lalu konteks sejarah di era itu, dan wacana-wacana politik dalam kesenian, sampai akhirnya saya memahami betapa luar biasanya film ini. Bukan hanya sebagai film, tapi juga sebuah manifestasi politik.
Dari situ, rasa sayang itu tumbuh. Dan di usia kedelapan sejak mengenal film ini, saya masih menikmati menontonnya. Bahkan, kian menaruh hati.
Coba saya uraikan, supaya saya tidak terdengar seperti sineseksual (tidak perlu digugel, karena saya cuma mengarang istilahnya) .
Pertama-tama, The Great Dictator jelas adalah film Chaplin yang paling saya sukai. Setelah beliau lolos dari lubang hitam yang menelan tren film bisu dengan City Light, lalu menyempurnakannya menjadi Modern Times, siapa sangka Chaplin masih bisa membuat sesuatu yang lebih dari sempurna? Bayangkan, sebelas tahun setelah periode film bisu lewat, Chaplin masih mampu menciptakan langit di atas langit.
Memang, The Great Dictator bukan film bisu. Chaplin untuk pertama kalinya dominan menggunakan suara. Film yang sudah bisa bicara. Bila sebelumnya ia berakrobat dengan adegan-adegan non-verbal, The Great Dictator menunjukan keahliannya menyusun dialog-dialog yang cerdas dan satir. Metodenya sudah lain dan berkembang, tapi kita tetap tak kehilangan karakter Chaplin sama sekali.
Selain menjadi film terlarisnya, The Great Dictator sekaligus karyanya yang paling berani dan progresif. Bahkan, seakan tampak dirancang khusus untuk membuat seseorang kesal. Dan seseorang itu yang sengaja dibuatnya kesal ini lebih seram dari suharto, ia adalah Hitler.
Bila tujuannya bukan sekadar merundung sebagaimana komen-komen jahat netijen, maka Chaplin ingin The Great Dictator bisa menjadi pemantik perlawanan terhadap meningkatnya kekerasan dan penindasan orang-orang Yahudi oleh Nazi sepanjang akhir 1930-an. Sifat represif dan kecenderungan militeris Reich Ketiga mulai mengemuka pada saat itu. Pada periode ketika Hitler dan Partai Nazi-nya menjadi terkenal, Chaplin juga menjadi populer secara internasional. Ia sempat dikerumuni oleh penggemar dalam perjalanan 1931 ke Berlin. Nazi tentu membenci gaya komedinya. Mereka menerbitkan sebuah buku berjudul The Jewish Are Looking at You (1934), menggambarkan komedian itu sebagai Yahudi yang menjijikkan (meskipun Chaplin bukan Yahudi). Ivor Montagu, teman dekat Chaplin, menceritakan bahwa ia mengiriminya salinan buku itu dan selalu percaya bahwa Chaplin memutuskan untuk membalas dengan membuat The Great Dictator.
Dalam The Great Dictator, Chaplin berperan sebagai dua tokoh. Pertama, seorang tukang cukur Yahudi, dan kedua, adalah diktator hasil plesetan Hitler bernama Hynkel. Chaplin melakukan tugas ganda, memainkan dua peran sentral.
Chaplin mendapat ide itu ketika temannya memperhatikan bahwa persona layar Chaplin dan Hitler ternyata lumayan mirip. Chaplin lalu sadar bahwa mereka berdua lahir hanya terpisah satu pekan (Chaplin 4/16/1889 & Hitler 4/20/1889), punya postur yang nyaris sama, dan keduanya sama-sama berjuang dalam kemiskinan sampai mereka mencapai sukses besar di bidang masing-masing. Salah satu dari mereka akan membuat dunia tertawa, dan yang lainnya akan membuat dunia berdarah-darah. Tatkala Chaplin mengetahui kebijakan Hitler tentang penindasan ras dan agresi nasionalis, ia menggunakan kesamaan itu sebagai inspirasi untuk melakukan serangan politik lewat sinema. The Great Dictator adalah salah satu film Hollywood pertama yang melawan antisemitisme.
Inspirasi lain konon datang ketika Chaplin dan sutradara legendaris Perancis, René Clair menonton film dokumenter propaganda Nazi, Thriumph of the Will (1935) dalam sebuah pertunjukan di Museum Seni Modern New York. Gosipnya, Clair merasa ngeri menontonnya, berteriak bahwa film ini seharusnya tidak boleh diputar. Chaplin, di sisi lain, lebih chill. Ia tertawa terbahak-bahak. Chaplin lalu menggunakan beberapa elemen di dalamnya untuk mengisi The Great Dictator.
Humor dalam The Great Dictator sungguh menunjukan talenta Chaplin yang banyak akal dan autentik. Sedari menit-menit awal kita sudah disuguhi atraksinya menirukan cara pidato Hitler dengan gesture dan akses yang jenaka, namun di saat bersamaan memang mirip. Penonton Amerika Serikat dan Inggris sudah cukup akrab dengan pidato radio Hitler yang tidak diterjemahkan, dan Chaplin mengambil keuntungan dari ini, menjadikan pidato Hynkel sebagai penggabungan dari omong kosong dan humor vaudeville berdialek Jerman. Lalu banyak adegan-adegan ala sketsa yang kocak minta ampun, seperti percobaan antipeluru dan topi parasut yang gagal hingga adegan makan puding. Satir versi Chaplin mengolok-olok solipsisme, dan arogansi (juga narsisme) Hitler yang luar biasa, sementara juga menyoroti tekanan psikologis para korban kebijakan politiknya. Seperti biasa, Chaplin menyajikan air mata tawa dan air mata melankolia dalam kadar yang sama membekasnya.
Begitupula adegan ketika Hinkel bermain-main dengan balon berbentuk bola dunia. Adegan itu gagal membuat saya jatuh cinta di awal. Bahkan, tak semempesona adegan solo Chaplin lain di film sebelumnya, seperti adegan roll dance di The Gold Rush atau main skate di Modern Times, juga sekandang dengan singa di The Circus. Namun, setelah saya menontonnya berulang, impresinya makin memancar. Adegan itu sangat gelap, cantik, sekaligus ngeri. Rasanya cuma Chaplin yang bisa menawarkan produk artistik semacam itu.
Wajib digarisbawahi, film ini dirilis di tahun 1940. Bukan hari ini ketika Hitler sudah menjadi simbol dari kekejaman dan sesuatu yang politically incorrect. Mencaci Nazi dan Hitler hari ini seperti mengatakan bahwa membunuh itu keliru, atau DPR itu koruptor. Tandas, definit, dan tak berisiko. Atau bahasa anak Twitternya, “no debate”.
Namun, pada zaman pra-1940, butuh pemahaman dan keberanian yang serius untuk menggarap film seperti ini. Adalah momen yang tak biasa untuk membuat komedi tentang Hitler kala itu, bahkan untuk seorang Chaplin selaku salah satu bintang film paling terkenal di dunia. Pada tahun 1940, Jerman dan Amerika Serikat belum menjadi musuh. Tentu karya seperti ini tak hanya akan berimpak pada industri, melainkan juga relasi politik. Pemerintah Amerika Serikat masih menginginkan netralitas. Chaplin membuat film ini bukan karena tugas negara, melainkan berdasarkan keyakinan politiknya yang justru berlawanan dengan kehendak negara. Ini yang membedakan The Great Dictator dengan Casablanca atau film-film Hollywood propaganda lainnya. Dan perbedaan ini bagi saya punya nilai yang mengagumkan.
The Great Dictator mulai syuting pada September 1939, tepat pada awal Perang Dunia II. Pada saat dirilis di tahun 1940, koalisi Axis (Jerman, Italia, Jepang) telah terbentuk, dan Nazi sudah menduduki sebagian besar Perancis. Ancaman itu sama sekali tidak main-main, sementara The Great Dictator tayang perdana pada bulan Desember di London, di tengah serangan udara Jerman. Desember berikutnya, tahun 1941, ancamannya mulai mengarah ke Amerika.
Pada saat film The Interview (2004) kepunyaan Seth Rogen—yang jelek itu–rilis, banyak orang membandingkannya dengan The Great Dictator. Mentang-mentang, film itu bergaya semi parody terhadap penguasan Korea Utara, Kim Jong-Un.
Ih sori- sori jack. Tidak level dong.
Pertama, mengejek Korea Utara itu mudah. Di kala The Interview rilis, Korea Utara telah sering dipersamakan sebagai “negaranya orang jahat” dalam film, contohnya di Red Dawn (2012) atau Team America: World Police. Peretas pun merusak situs-situs yang berhubungan dengan Korea Utara dan memasang foto Kim Jong Un sebagai babi. Apa yang dilakukan Seth Rogen secara politis tidak lebih seperti menggarami lautan.
Sebaliknya, mengejek Hitler sebelum 1940 adalah langkah yang nekat. Hollywood sendiri tunduk pada tekanan dari Nazi Jerman beberapa kali pada 1930-an. David Denby dari New Yorker sempat menulis bahwa respons Hollywood terhadap Nazi Jerman pada 1930-an ditandai dengan “setengah berani dan setengah pengecut” seraya mencatat bahwa banyak film dibatalkan atau memiliki adegan diubah karena tekanan Jerman.
Ketika Chaplin pertama kali mengumumkan bahwa ia akan membuat film ini, pemerintah Inggris yang kebijakannya saat itu juga masih berdamai dengan Nazi mengumumkan bahwa mereka akan melarangnya. Namun, pada saat rilis, Inggris sudah berperang dengan Jerman. Sikap mereka terhadap film itu akhirnya berubah, turut memanfaatkannya menjadi instrumen propaganda.
Ernst Lubitsch pada tahun 1942 juga menggarap To Be or Not To Be dengan tema parodi serupa, termasuk menistakan tokoh Hitler. Setelah kengerian Holocaust terungkap, butuh 20 tahun bagi para pembuat film untuk menemukan sudut dan warna yang tepat untuk membicarakan era tersebut selantang The Great Dictator dan To Be Or Not To Be.
Film bagus tak selalu punya ending yang bagus, tapi The Great Dictator tak mau sekadar menjadi film bagus. Chaplin tak pernah membiarkan film-filmnya selesai secara dingin. Ia selalu menyudahi filmnya dengan klimaks. Chaplin selalu menyimpan yang terbaik di akhir.
Dalam The Great Dictator, si tukang cukur yang sudah dipercaya sebagai Hynkel dipersilakan maju ke podium, memberi pidato yang tak pernah ia siapkan. Adegan ini adalah ruang lapang bagi Chaplin untuk memuntahkan pesan-pesan politisnya, tanpa harus terganggu dengan kebutuhan drama dan komedi. Dan hasilnya, tak mengecewakan, baik secara naskah maupun penghayatannya menyampaikan ungkap pikirnya. Konon, Chaplin hanya berkedip lima kali sepanjang adegan lima menit itu.
Pidato yang ditulis dan diucapkan oleh seorang seniman itu menjadi salah satu pidato paling inspiratif bagi suatu negara dalam keadaan tertekan. Adegan ini banyak dipotong di mana-mana dan dirilis secara terpisah, dengan relevansi yang tak luntur hingga kini, salah satunya menjadi video intro tur Coldplay A Head Full of Dream. Selain itu, adegan pidato ini juga banyak dikaji sebagai studi retorika.
Pada awal pidato, bahkan sebelum dia berbicara, si tukang cukur melakukan jeda yang panjang dan ekspresi sarat ketegangan, seakan ia benar-benar berusaha keras memikirkan apa yang akan ia katakan. Jeda dan ekspresi ini memberi waktu baginya menemukan strategi terbaik untuk mendapatkan koneksi dengan audiensnya. Meskipun ia berdiri di atas panggung berseragam memandang rendah penonton, ia menempatkan dirinya setara ketika menyatakan “Maafkan aku. Saya tidak ingin menjadi seorang kaisar. Itu bukan urusan saya. Saya tidak ingin memerintah atau menaklukkan siapa pun.” Kalimat-kalimat yang masuk akal. Ia mengaku tak mencari kekuasaan, membuatnya tampak jauh lebih jujur dan dapat dipercaya. Ini membuat audiens ingin mendengar apa yang dikatakannya. Orang Amerika di masanya telah banyak mendengar tentang meningkatnya iklim diktator di Eropa dan kecongkakan yang mereka miliki. Jadi, melihat seseorang dengan begitu banyak otoritas dengan sengaja menyerah membangun relasi etos luar biasa dengan orang Amerika yang muak dengan diktator yang kejam.
Strategi lain yang digunakan dalam pidato istimewa Chaplin adalah seruannya terhadap kesetaraan dan nilai-nilai kritis Amerika. Setelah merendah, ia kemudian mulai angkat suara tentang niatnya membantu umat manusia dan semua orang di bumi tanpa memandang ras, agama, atau etnis. Siasatnya memunculkan rasa patriotisme di antara hadirin adalah dengan penggunaan berulang-ulang ungkapan “you, men.” Nilai-nilai yang mereka saksikan dihancurkan oleh para pemimpin yang tidak berperasaan. Dalam bagian khusus pidato ini, ia menggunakan banyak kata yang secara langsung kontras satu sama lain untuk daya tarik dramatis dan emosional, seperti “happyness” dan “misery.” Diksi dan perbandingan yang begitu kuat memunculkan respons emosional di antara hadirin, mengembangkan kesedihan yang ada.
Sepanjang pidato, si tukang cukur sering menggunakan perbandingan nilai dan hasil. Ia dengan sempurna menyampaikan perbandingan-perbandingan yang membangkitkan pemikiran logis, memaksa pendengar untuk membayangkan berbagai skenario yang ia gambarkan dan menarik kesimpulan mereka sendiri yang jelas. Strategi ini membuat orang merasa pintar, dan tidak terlalu digurui. Misalnya, ketika berbicara tentang perlunya kemanusiaan, kebaikan, dan kelemahlembutan, ia menekankan bahwa “… tanpa kualitas-kualitas ini kehidupan akan menjadi kejam, dan semua akan hilang”.
Warna kontras hitam-putih membangun persepsi pemirsa saat itu karena perang yang diperjuangkan benar-benar adalah perang antara yang baik dan yang jahat. Contoh lain dari hal ini adalah bagaimana ia terus-menerus membandingkan manusia dan mesin di sepanjang pidatonya, menegaskan bahwa manusia memiliki “… cinta kemanusiaan dalam hati mereka”, sesuatu yang tidak pernah dapat dicapai oleh mesin. Logis untuk memiliki emosi.
Di paruh menit akhir video, beberapa elemen materi mulai mencoba menghasilkan emosi utama yang diinginkan Chaplin dari para pendengarnya: kemarahan. Caranya adalah melalui campuran perubahan suara, ekspresi wajah yang dramatis, dan diksi yang membangkitkan semangat. Segera setelah ia melihat ke bawah ke arah para prajurit di bawahnya, wajahnya berubah menjadi empati dan penuh pengertian. Lalu ia menyulut amarah di dalam audiens dengan menyampaikan daftar cara-cara “orang biadab” dan “mesin” menganiaya mereka, termasuk bagaimana mereka “membenci Anda – memperbudak Anda – yang mengatur hidup Anda – memberi tahu Anda apa yang harus dilakukan – Apa yang harus dipikirkan dan apa yang harus dirasakan! Memperlakukan Anda seperti ternak, menggunakan Anda sebagai umpan meriam “. Ia membuat argumen bahwa logika murni dan penalaran adalah cara yang dingin untuk memandang dunia, dan bahwa dibutuhkan perasaan dan emosi untuk melawan kecenderungan jahat kita secara alami. Orang Amerika sudah berasumsi bahwa para diktator menciptakan neraka bagi semua orang, dan ini memungkinkan mereka untuk bersimpati dengan para prajurit yang dimanfaatkan. Dengan mengemukakan semua ketidakadilan di masa lalu, ia mengubah simpati yang baru saja diciptakannya menjadi amarah.
Lantas, kamera memperbesar mendekat ke wajahnya yang sekarang penuh dengan amarah, suaranya menjadi lebih keras, dan pidatonya menjadi lebih cepat. Dalam 30 detik terakhir dari video, ia memotivasi penonton untuk bertarung dengan secara harfiah berteriak “let us fight …” berulang kali. Ia menerapkan anafora untuk mengarahkan kemarahan ke tujuan yang bermakna, secara efektif meyakinkan semua orang untuk memperjuangkan versinya tentang dunia yang layak. Kepastian bahwa mereka harus berjuang untuk apa yang selalu mereka perjuangkan – kebebasan, kesetaraan, dan kebahagiaan keseluruhan – memberi rakyat Amerika kepercayaan diri untuk mempertahankan ide-ide ini.
Adegan pidato itu lantas ditutup dengan Hannah berucap, “listen…” sembari mukanya berbinarkan harap. Bagian ini puitis minta ampun. Terlebih, 5 tahun kemudian, harap itu terkabul.
Saya menaruh hormat tertentu pada film yang secara sadar menggunakan kekuatannya untuk memperjuangkan sebuah keyakinan politik. Semakin lantang, semakin salut. The Great Dictator bukan lagi lantang, melainkan nyaring bak suara meriam.
Chaplin tak hanya menggarap film yang berdaya gedor, melainkan film yang berdaya ledak. Saya merasakan ada kekuatan yang teramat besar di dalam The Great Dictator. Jangan ditanya apakah film ini diputar di Jerman atau di bawah kekuasaan Nazi. The Great Dictator bahkan baru diputar di tahun 1958, 13 tahun setelah Hitler tiada. Kerusakan politik yang diakibatkan oleh film ini terlalu besar bagi Jerman.
Melampaui sinema, melampaui seni. Ini gerakan kemanusiaan. Keberanian tiada tara. Chaplin akhirnya terikat dalam ikonografi kejahatan zaman itu. Ia mencapai lebih dari sekadar bintang film terbesar di dunia.
Saya percaya kekuatan The Great Dictator sebagaimana saya percaya kekuatan kalimat tato “Politik Adalah Panglima” di lengan kanan saya. Dan ketika saya menaruh sesuatu yang bersifat kekal dan penuh komitmen itu di tubuh artinya kecintaan saya terhadap The Great Dictator boleh jadi akan bersifat tak lekang.
Best Lines:
A Jewish Barber: I’m sorry, but I don’t want to be an emperor. That’s not my business. I don’t want to rule or conquer anyone. I should like to help everyone if possible; Jew, Gentile, black man, white. We all want to help one another. Human beings are like that. We want to live by each other’s happiness, not by each other’s misery. We don’t want to hate and despise one another. In this world there is room for everyone, and the good earth is rich and can provide for everyone. The way of life can be free and beautiful, but we have lost the way. Greed has poisoned men’s souls, has barricaded the world with hate, has goose-stepped us into misery and bloodshed. We have developed speed, but we have shut ourselves in. Machinery that gives abundance has left us in want. Our knowledge has made us cynical; our cleverness, hard and unkind. We think too much and feel too little. More than machinery, we need humanity. More than cleverness, we need kindness and gentleness. Without these qualities, life will be violent and all will be lost. The airplane and the radio have brought us closer together. The very nature of these inventions cries out for the goodness in men; cries out for universal brotherhood; for the unity of us all. Even now my voice is reaching millions throughout the world, millions of despairing men, women, and little children, victims of a system that makes men torture and imprison innocent people. To those who can hear me, I say, do not despair. The misery that is now upon us is but the passing of greed, the bitterness of men who fear the way of human progress. The hate of men will pass, and dictators die, and the power they took from the people will return to the people. And so long as men die, liberty will never perish. Soldiers! Don’t give yourselves to brutes, men who despise you, enslave you; who regiment your lives, tell you what to do, what to think and what to feel! Who drill you, diet you, treat you like cattle, use you as cannon fodder. Don’t give yourselves to these unnatural men – machine men with machine minds and machine hearts! You are not machines, you are not cattle, you are men! You have the love of humanity in your hearts! You don’t hate! Only the unloved hate; the unloved and the unnatural. Soldiers! Don’t fight for slavery! Fight for liberty! In the seventeenth chapter of St. Luke, it is written that the kingdom of God is within man, not one man nor a group of men, but in all men! In you! You, the people, have the power, the power to create machines, the power to create happiness! You, the people, have the power to make this life free and beautiful, to make this life a wonderful adventure. Then in the name of democracy, let us use that power. Let us all unite. Let us fight for a new world, a decent world that will give men a chance to work, that will give youth a future and old age a security. By the promise of these things, brutes have risen to power. But they lie! They do not fulfill that promise. They never will! Dictators free themselves but they enslave the people. Now let us fight to fulfill that promise. Let us fight to free the world! To do away with national barriers! To do away with greed, with hate and intolerance! Let us fight for a world of reason, a world where science and progress will lead to all men’s happiness. Soldiers, in the name of democracy, let us all unite! Hannah, can you hear me? Wherever you are, look up Hannah! The clouds are lifting! The sun is breaking through! We are coming out of the darkness into the light! We are coming into a new world; a kindlier world, where men will rise above their hate, their greed, and brutality. Look up, Hannah! The soul of man has been given wings and at last he is beginning to fly. He is flying into the rainbow! Into the light of hope, into the future! The glorious future, that belongs to you, to me and to all of us. Look up, Hannah. Look up!
Mr. Jaeckel: Hannah, did you hear that?
Hannah: Listen…
After Watch, I Listen:
John Lennon – Imagine