Tags

, ,

Jean-Pierre Melville

1967

Crime

Jadi, seperti apa film yang keren?

Dulu, film yang secara spesifik cocok dilabeli diksi “keren”, di kepala saya ya Fight Club (1999). Provokatif, bawa ide-ide progresif, dan lakik.

Tapi itu kan penjelasan yang buruk. Setelah menonton Le Samourai, referensi saya mulai bertambah untuk mengelaborasikan apa itu “keren”.

Le Samourai merupakan salah satu contoh film yang menonjolkan style over substance—gaya bercerita lebih penting dibanding isi cerita—tapi ketika detail-detailnya diseriusi, jadinya tetap memukau.

Ujung-ujungnya, keren.

Film ini ceritanya simpel, apalagi untuk ukuran film noir atau crime yang biasanya rumit. Plotnya bisa dipetakan seperti ini saja:

1) Jef Costello (Alain Delon), seorang pembunuh bayaran, dapat klien yang minta ia membunuh seorang pemilik klub malam.

2) Jef melakukan tugasnya. Satu nyawa melayang.

3) Pembunuhan diusut, Jef dicurigai polisi.

4) Karena takut ketahuan, klien tadi menyewa perantara untuk membunuh Jef. Namun, tidak berhasil.

5) Jef balas menyelidiki kliennya

Gaya film ini mengingatkan saya pada film Drive (2011) yang dibintangi Ryan Gosling. Itu film keren juga. Khidmat dan muram. Si tokoh utama—tanpa nama—merupakan tukang kemudi bayaran yang disewa untuk membantu sebuah aksi perampokan. Ia digambarkan sebagai sosok introver, penyendiri, tanpa kawan. Maka, ketika ia kemudian dikhianati kliennya, seakan-akan seluruh dunia mengejarnya. Me versus the world.

Potret itu dalam Le Samourai sudah dipresentasikan sangat apik sejak adegan-adegan pertama. Le Samourai dibuka dengan kalimat yang dikutip dari Kitab Bushido – kitabnya para prajurit Jepang: “Tidak ada kesendirian yang lebih daripada yang dialami samurai, kecuali oleh seekor harimau di hutan.”

Jef berbaring di tempat tidur sembari merokok—betapa  French New Wave-nya. Meski format gambarnya berwarna, tapi ronanya sangat redup sehingga nyaris seperti film hitam-putih.

Apakah dia sedang berkonsentrasi, bermeditasi, menunggu, atau mungkin hanya membuang-buang waktu? Dua jendela vertikal memungkinkan cahaya menembus ruangan yang gelap, menciptakan glasir di atas asap yang melayang-layang.

Jef lalu duduk. Seekor burung kenari kecil di mengepak-epakkan sayapnya dalam sangkar, menyiratkan emosi yang terkurung. Jef meraih mantel parit dan fedoranya, menerjang jalanan sore hari, hujan turun deras. Semua ornamen noir terungkap dengan lembut dalam pembukaan yang hening.

Berdiri di jalan setapak, ia menunggu sebuah mobil diparkir. Pengemudinya turun dari mobil dan pergi. Melirik diam-diam, Jef perlahan memasuki mobil, mengeluarkan banyak kunci dari mantelnya, meletakkannya di kursi samping. Ia mengambil satu per satu kunci, mencoba mana yang bisa membuat mobil itu menyala. Pekerjaan yang pasti memakan waktu, tetapi wajah Jef sama sekali tidak terlihat panik.

Keheningan awal di Le Samourai menyandingkan visual ala noir dengan karya-karya french new wave yang lebih “cerewet” seperti Breathless (Jean Renoir, 1960) dan Jules and Jim (Francois Traufaut, 1962).

Jef lalu parkir di sebuah garasi rahasia. Seorang montir mengganti pelat nomornya. Mereka bertukar catatan, Jef meminta pistol. Ini seperti bagian dari games Grand Theft Auto, masuk ke sebuah lorong parkir untuk mengubah identitas mobil—biasanya ganti warna cat—supaya tidak ketahuan polisi.

Jef lalu mengetuk pintu apartemen seorang gadis muda (Nathalie Delon) yang sedang tidur. Gadis itu bangun, menjawab dari balik pintu yang masih terkunci, “Jef?”.

Dibuka dengan sunyi dan lamban. Dialog pertama, “Jef?” tadi baru muncul pada menit 9.58. Pembukaan ini menggarisbawahi pendekatan minimalis Jean-Pierre Melville dalam mendongeng dengan kekuatan keheningan.

Ada satu komplain. Untuk premis yang sebegitu menarik, film Le Samourai dinilai terlalu dingin.

Namun, jawab Melville: “Saya suka mengambil risiko. Film saya tidak pernah mengikuti tren saat ini.”

Melville mahsyur karena film noir minimalisnya, seperti Le Doulos (1962), Le Samouraï (1967) dan Le Cercle rouge (1970). Dipengaruhi oleh Hollywood, terutama film-film gangster 1930-an dan 1940-an, ia menggunakan aksesori seperti senjata, jas parit, dan topi fedora, untuk membentuk tampilan yang khas dalam film-filmnya.

Tetapi, kendati film-film Hollywood adalah modelnya, karyanya tetap ala Prancis. Faktanya, banyak yang mengira Melville dipengaruhi oleh Robert Bresson. Melville malah mengira Bresson yang dipengaruhi olehnya. Banyak juga yang sepakat, Melville adalah nenek moyang sebenarnya dari french new wave.

Melville membuat serangkaian film yang tidak seperti film orang lain. Le Samourai merupakan salah satu yang terbaik, dapat dianggap sebagai salah satu film thriller psikologis terbesar.

Malah, bisa dikatakan, Le Samourai adalah filmnya sutradara.

Heh, maksudnya?

Iya, saya ngerti setiap film memang otoritas kekaryaan terbesarnya ada pada genggaman sutradaranya. Tapi, dalam Le Samourai, bekas tangan kerja-kerja sutradara jauh lebih kelihatan dibanding aspek teknis lainnya.

Melville tahu persis bagaimana membingkai shot. Melville juga memilih untuk tidak menggunakan skor film terlalu banyak, lebih mengandalkan kesunyian dan efek suara tipis-tipis yang memberi nuansa meresahkan. Ia pun dikenal juara untuk urusan pengeditan. Dalam sebuah wawancara, Melville mengklaim penyuntingan adalah bagian favoritnya dalam proses pembuatan film—selain menulis.

Anda tidak bisa menjadi keren dengan keinginan untuk menjadi keren. Seperti yang dikemukakan Tom Cochrane dalam The Aesthetic Value of the World, “keren” dulunya adalah sejenis properti estetika aristocrat, terasosiasi dengan kebangsawanan. Sangat sulit untuk mencapai coolness, kombinasi dari kesederhanaan dan keanggunan. Tidak peduli seberapa keras mereka berusaha, kebanyakan orang tidaklah keren.

Jadi, bagaimana Le Samourai mencapai estetika “keren”?

Penulis fiksi di berbagai lokakarya biasanya diajari menciptakan karakter yang dilengkapi cerita latar, motivasi, moralitas yang kuat. Kalian pasti mengira Le Samourai juga membutuhkan itu, terutama karena ending-nya Jef mati secara dramatis. Untuk membuat adegan itu terbayar, kita mungkin berpikir ceritanya membutuhkan banyak latar belakang tentang motif batin Jeff.

Namun, ternyata nihil. Tidak ada pengisahan latar belakang Jef Costello di Le Samourai. Paling-paling, kita hanya bisa menerka-nerka. Persiapannya yang metodis dan ritualistik untuk membunuh—pakai sarung tangan dan fedora—menunjukkan bahwa Jef pernah melakukan aksi-aksi semacam ini sebelumnya.

Melalui gerakan dan tindakannya, kita mempelajari sesuatu tentang karakter ini, tetapi kita tidak tahu motivasinya. Segalanya terungkap sangat lambat.

Adegan Jef bersama burung kenarinya, atau beberapa momen lainnya membuat kita bisa melihat sekilas kemanusiaan di balik penampilan Jef yang tanpa ekspresi. Ini cukup penting untuk mencapai estetika keren: adanya karakter yang tidak pernah gagal atau tidak pernah punya keterlibatan emosional apa pun dengan lingkungannya.

Saya menghafal banyak dialog yang menekankan bila Jeff mau membunuh hanya karena dibayar. Sangat dingin, sampai bikin menggigil:

Valérie: Why Jeff?

Jeff Costello: I’ve been paid to.

atau

Jeff Costello: Why did you say you didn’t recognize me?

Valérie: Why did you kill Martey?

Jeff Costello: I was told I’d be paid.

atau

Valérie: What did he do to you?

Jeff Costello: Nothing at all. I didn’t even know him. The first and last time I saw him was 24 hours ago.

atau

Martey, Nightclub Owner: Who are you?

Jeff Costello: Doesn’t matter.

Martey, Nightclub Owner: What do you want?

Jeff Costello: To kill you.

Dalam semesta neo-noir Le Samourai yang dibangun dengan hati-hati oleh Melville, para karakternya pun lebih suka merokok daripada bercakap-cakap. Inspirasi yang sangat Amerika pastinya.

Rupa fisik para aktor/aktris kian menambah dosis coolness film ini: Alain, Nathalie, atau Cathy Rosier adalah manusia-manusia yang rupawan.

Meskipun profilnya tidak terlalu legendaris, tapi Nathalie Delon sempat jadi ikon seks Eropa di 70-an, dikenal sebagai salah satu perempuan tercantik di dunia pada eranya. Mulanya seorang model, Nathalie berakting di Le Samourai saat masih menjalani pernikahan bersama Alain Delon. Keduanya jadi pasangan yang banyak dibicarakan saat itu. Ia juga pernah mengencani Bobby Keys, saksofon additional The Rolling Stones.

Sementara, Alain Delon lebih populer lagi. Selain jadi versi maskulin dari ikon seks Eropa 60 dan 70an, Delon lebih moncer dalam kiprah akting. Ia merupakan aktor yang definitif dari film-film Melville.

Jeff adalah karakter dengan sedikit kata. Maka, Alain menghidupkan karakter Jeff lewat akting fisik yang lebih jauh. Ia menjadi protagonis yang sempurna di jagat neo-noir yang stylish ini.

Ada trivia menarik. Dalam kariernya, Alain lebih memilih mengambil royalti distribusi film di negara-negara tertentu alih-alih dalam bentuk gaji sekali bayar. Sistem ini belum pernah dilakukan sebelumnya di Prancis, makanya dikenal sebagai “metode Delon”.

Sebenarnya ini pertaruhan bagi Alain. Taruhan itu terbayar dengan baik, karena Alain kemudian menghasilkan uang 10 kali lebih banyak daripada angka gajinya. Namun, pada tahun 1965, Delon mengklaim “tidak ada orang lain yang mencobanya sejak itu yang berhasil menghasilkan uang.”

Bagaimana dengan Rosier? Ia hanya diberi sedikit adegan—berperan sebagai Valerie, pianis yang menjadi saksi aksi keji Jeff—tapi penampilannya lumayan bisa mendominasi di hati penonton. Contoh apik yang menarik ada di akhir film, kala Jeff menodongkan pistol ke Valerie. Perempuan itu terus memainkan organ dan bertanya “Kenapa, Jef?” tanpa kelihatan takut. Rautnya cenderung sedih, atau mungkin kecewa.

Di adegan terakhir itu, kita dapat menyaksikan elemen yang diperingatkan Cochrane sebagai elemen estetika keren: ketidakpedulian terhadap bahaya.

Baik Valerie dan Costello menampilkan ketidakpedulian terhadap bahaya, meskipun ekspresi emosi halus ketika keduanya melakukan kontak mata menunjukkan mereka bukanlah robot. Reaksi mereka yang diredam amat kontras dengan reaksi bartender dan pengunjung lain yang terkejut.

Le Samourai adalah film perihal profesionalisme, juga tentang detail. Jef berfokus pada detail alibinya, mulai dari saat harus meninggalkan kediaman pacarnya, hingga saat harus secara tepat waktu berada di tempat bermain kartu. Ia selalu melakukan perhitungan.

Jeff nyaman dengan pola. Maka, ketika pola itu rusak, hidupnya perlahan terurai. Ia terpergok oleh Valeria, lalu ditangkap dan diinterogasi polisi. Ini di luar strateginya, tapi namanya profesional, Jeff mampu menjawab setiap pertanyaan.

Le Samourai punya banyak keunggulan noir Hollywood, ditambah kepekaan Eropa yang bisa tampak melodramatis. Adegan Jeff berbaring di tempat tidurnya dalam cahaya redup saja sudah membangkitkan firasat buruk. Adanya dialog bisa menganggu, dan Melvin tahu itu.

Le Samourai membuat perbedaan antara film luhur dengan nilai artistik abadi dan sekadar tiruan yang mereduksi gaya noir menjadi stereotip. Ada banyak film tentang pria tangguh, tetapi tidak ada yang membawa lebih banyak puisi dan style ke genre ini daripada Le Samourai.

Le Samourai agaknya memang mengejar estetika keren. Melville berhasil membuat karakter-karakternya mencapainya. Ini akhirnya sangat berpengaruh bagi film-film setelahnya. Wajar, banyak sekali film-film yang kita sadari membawa warisan-warisan sinematografi dan pengemasan dari Le Samourai.

Siapa saja pewarisnya? Martin Scorsese, Quentin Tarantino, Francis Ford Coppola, John Woo, David Fincher, Aki Kaurismäki, Takeshi Kitano, Georges Lautner, Nicolas Winding Refn, Luc Besson, Joel Coen, Ethan Coen dan lainnya.

Mereka semua tahu film yang keren.

Best Lines:

Martey, Nightclub Owner: Who are you?

Jeff Costello: Doesn’t matter.

Martey, Nightclub Owner: What do you want?

Jeff Costello: To kill you.

After Watch, I Listen:

Arctic Monkeys – There’d Better Be a Mirrorball