Sidney Lumet
1957
Drama, Crime
Tujuh argumen, mengapa 12 Angry Men adalah film terbaik di dekade 50-an.
Argumen pertama, 12 Angry Men adalah salah satu film hitam putih paling populer di era modern. Paling tinggi ratingnya di IMDB. Rating 8,9. ada di peringkat 5 dari daftar film dengan rating tertinggi sepanjang masa. Persis di bawah Dark Knight (2008) dan di atas Schindler List (1993). Film klasik lain yang mendekati di daftar itu adalah Seven Samurai (1954) yang “cuma” bercokol di peringkat 19.
Saya mengawali ketertarikan nonton film lawas model begini juga berawal dari 12 Angry Men. Saya tahu banyak orang pun melakukannya. Ada banyak lagi yang bahkan tidak tertarik dan tidak terbiasa menonton film klasik yang lain, tapi setidaknya ia pernah menonton 12 Angry Men.
Argumen kedua, pesona 12 Angry Men berangkat dari konsep yang sangat minimalis namun begitu kuat. Nyaris seutuhnya kisah film ini terjadi di sebuah ruangan—hanya 3 menit yang terjadi di set lain. Ada 12 orang tak saling kenal yang dikumpulkan di ruang itu, mereka diminta menjadi juri untuk memutuskan bersalah atau tidaknya seorang anak yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan ayahnya menggunakan pisau.
Aturannya, 12 orang itu harus sepakat semua, atau tidak sama sekali. Bila semuanya memutuskan tidak bersalah, anak itu bebas. Bila semuanya memutuskan bersalah, anak itu dihukum mati dengan kursi listrik.
Voting langsung dilakukan karena dirasa ini kasus yang mudah. Hasilnya, 11 orang memutuskan bersalah, 1 orang tidak.
Yak, bermula dari 1 orang yang ambil suara berbeda ini, diskusi penuh tengkar pun dimulai. Masing-masing beradu argumen dan cara pandang terhadap kasus tersebut.
Jadi, film ini isinya cuma orang berdebat. Sama kayak nonton Indonesia Lawyers Club. Lalu kok bisa banyak yang suka? Nah, itu lho.
Argumen ketiga, menonton sekali saja, saya sudah langsung menyadari kejeniusan penulisan naskahnya. Semakin diulang menonton, saya semakin yakin.
Ketakjuban itu masih berlanjut ketika saya tahu bahwa kisah ini awalnya diciptakan untuk teleplay atau program serial televisi berjudul sama di tahun 1954. Baru kemudian digubah ulang menjadi versi film. Pengampu naskahnya sama, Reginald Rose.
Oke, ide dasar ceritanya memang kuat. Tapi bayangkan, jika Anda diberi brief untuk membuat ide cerita tadi bisa berkembang menjadi tontonan menarik selama 90 menit? Pasti puyeng juga—kecuali bisa memasukkan Rocky Gerung di situ.
Saya sih suka membayangkannya. Saya membayangkan proses penulisannya. Rose menulisnya dari mana ya? Ending-nya? Rasanya tidak mungkin bila ditulis mengalir saja. Karena ia harus menyusun dengan sangat rapi satu pengungkapan demi pengungkapan. Ada kronologi kasus, kesaksian terdakwa, pengakuan saksi, barang bukti, argumentasi, pembantahan, dan lain-lain. Seperti apa urutannya, rahasia-rahasia mana yang dibongkar dahulu supaya tampak logis? Ia harus cukup sabar menyingkap tiap fakta yang dikemukakan, tapi juga tidak boleh membiarkan penonton terlalu lama menanti.
Diawali keyakinan total bahwa kasus ini mudah, jelas kasus pembunuhan oleh si terdakwa, sampai satu keraguan demi keraguan muncul. Wujud makhluk bernama “kebenaran” itu mulai tampil dengan wujud berbeda bagi para juri. Dan semua itu dikisahkan hanya melalui percakapan. Bahkan, sosok terdakwa, polisi, saksi, atau korban, tidak diperlihatkan sama sekali. Semua hanya berasal dari omongan.
Makanya, urutan tiap dialog harus pas agar jalan pikiran yang dibangun dalam percakapan itu terdengar masuk akal. Rose harus bisa memastikan pola dan cara tiap kubu berargumentasi, atau berkisah secara tepat dan sesuai nalar. Ia harus menguliti setiap sudut pandang yang mungkin muncul dari para juri.
Oiya, jangan lupa tiap jurinya pun punya karakter masing-masing. Penokohan itu harus dijaga, termasuk cara mereka berdalih, membela diri, atau mengeluarkan gagasan. Dan tidak semua dialog dalam film ini hanya menyoal kasus itu. Karena ada banyak dialog yang memang fungsinya membangun atmosfer realistis dari adegan berdebat, seperti basa-basi dan sebagainya, namun sebenarnya tetap berhubungan dengan akhir cerita.
Rose harus benar-benar mengoprak-oprak naskahnya, tiap opini, tiap kalimat, tiap kata-kata, untuk bisa menemukan rangkaian berbalas argumen yang logis sekaligus menarik. Seperti ketika Juri 3 (Lee. J Cobb) kelepasan mengatakan “I’ll kill you..” kepada Juri 8 (Henry Fonda)—selaku protagonis yang menjadi satu-satunya juri yang bilang terdakwa tidak bersalah di awal. Adegan itu tadi berbalik menjadi argumen bagi Juri 8: mudah untuk seseorang berkata “I’ll kill you” sembarangan tanpa bermaksud akan benar-benar melakukannya, termasuk bila terdakwa ketahuan sempat mengatakan kalimat itu kepada ayahnya.
Tentu membangun perbincangan seperti ini susah. Orang-orang yang suka twitwar sekalipun belum tentu bisa menulisnya.
Argumen keempat, kendati isi 12 Angry Men adalah dialog, tapi tidak dibawakan dengan gaya drama teater.
Sidney Lumet, sebelumnya adalah sutradara drama televisi. 12 Angry Men adalah film bioskop pertamanya. Medium film ini membuatnya lebih punya waktu dan modal produksi untuk bermain-main dengan sinematografi, termasuk variasi pengambilan gambar.
Rekan Lumet adalah sinematografer Boris Kaufman, yang sebelumnya memenangkan Academy Award untuk karyanya di On The Waterfront (1954) karya Elia Kazan.
Kaufman memulai film dengan bidikan gambar wide ke arah juri saat mereka memasuki ruangan dan berbasa-basi. Saat emosi dalam film mulai diguncang-guncang karena perdebatan kian panas, kamera itu mulai turut membayangi naik turunnya cerita. Gambar-gambar yang luas menyempit, menjadi banyak close up yang merinci rasa frustrasi para juri.
Perubahan sudut kamera kian agresif saat ketegangan dramatis meningkat. Pada sepertiga akhir film, langit-langit ruangan mulai terlihat, memberi kesan ruangan semakin mengecil. Lumet yang memulai kariernya sebagai pengarah fotografi menyatakan, niatnya menggunakan teknik ini adalah demi menciptakan efek klaustrophobia (fobia pada ruang tertutup).
Upaya Lumet berhasil. Ruangan itu terasa gerah dan menyesakkan. Para juri seakan “disekap” dengan bulir-bulir keringat yang semakin banyak berjatuhan dari dahi mereka.
Argumen kelima, akting para pemerannya bagus. Tentu Henry Fonda (Juri 8) dan Cobb (Juri 3) dapat kredit lebih. Tapi sisanya tidak asal-asalan—meski lagi-lagi, saya yakin ini didukung oleh penulisan tokohnya yang memang sudah solid. Setiap aktor memberikan yang terbaik dan memanfaatkan sepenuhnya peluang yang mereka miliki dalam perannya.
Bila saya sebutkan favorit saya: Martin Balsam (juri 1, pemimpin juri ), E.G Marshall (juri 4, analis stock broker), Jack Klugmann (juri 5, mas-mas yang tersinggung karena mendengar juri lain merendahkan “orang-orang kampung”), Edward Binns (juri 6, tukang cat yang marah kalau ada juri yang kasar kepada juri lain yang lebih tua), Jack Warden (sales, si bangsat yang pengen cepat pulang karena mau nonton baseball).
Konon, sebelum syuting, Sidney Lumet menyuruh semua aktor tinggal di ruangan yang sama selama beberapa jam dan mempraktikkan dialog mereka berulang-ulang tanpa merekamnya. Ini untuk membuat mereka merasakan tidak enaknya terkurung di sebuah ruangan dengan orang yang sama dalam situasi yang penuh konflik.
Argumen keenam, bagian ini mulai panjang ya. Saya pun harus banyak-banyak riset dulu.
Film seperti 12 Angry Men terhitung sangat jarang di era itu—bahkan era sekarang sih. Sebuah karya sinema yang mampu menawarkan gambaran teknis dari sistem hukum Amerika Serikat. Bukan sekadar “kondisi” ya, tapi bahkan “sistem”.
Mungkin ada dari kamu yang bingung, tokoh-tokoh dalam film ini siapa kok bisa jadi juri?
Nah, adanya orang-orang sipil berperan sebagai juri adalah salah satu ciri khas dari sistem hukum Amerika Serikat. Setiap orang yang didakwa melakukan kejahatan yang ancaman pidananya lebih dari 6 bulan memiliki hak konstitusi untuk disidang oleh juri. Hak ini didasarkan pada Pasal III Ayat (2) Konstitusi yang menyatakan bahwa “The Trial of all Crimes…shall be by Jury; and such Trial shall be held in the State where the said Crimes shall have been committed.” (Pengadilan untuk semua bentuk kejahatan…akan dilakukan oleh juri, dan pengadilan akan dilaksanakan di negara bagian tempat kejahatan dilakukan).
Hak ini telah diperluas melalui Amandemen keenam, “In all criminal prosecutions, the accused shall enjoy the right to a speedy and public trial, by an impartial jury of the state and district wherein the crime shall have been committed.” (Dalam semua tuntutan atas kejahatan, terdakwa memiliki hak untuk mendapat pengadilan yang cepat dan terbuka, dilakukan oleh suatu juri yang tidak memihak di negara bagian dan distrik di mana kejahatan dilakukan).
Menjadi juri adalah kewajiban warga negara dalam demokrasi Amerika Serikat. Ketika juri memutuskan suatu kasus, mereka dianggap mewakili masyarakat secara keseluruhan. Dengan menjadi juri, warga negara telah membantu untuk memastikan bahwa sistem pengadilan berjalan adil.
Nah, bagaimana juri dipilih? Kenapa bisa ada orang-orang random dalam film 12 Angry Men? Loh, ya memang random. Juri dipilih secara acak dari daftar pemilih yang terdaftar atau daftar pemilik SIM, serta di antara warga yang mengajukan pengembalian pajak penghasilan negara. Yang penting, ia memenuhi kualifikasi berupa:
- Warga negara AS
- Minimal berusia 18 tahun
- Bisa berbahasa Inggris
Mereka yang terpilih akan dikirimi surat dari pengadilan untuk datang sebagai calon juri. Mereka wajib untuk datang, sanksinya adalah penjara jika tidak memenuhi panggilan. Seseorang baru dapat lepas dari kewajiban ini jika ada alasan-alasan yang bisa diterima seperti alasan darurat, keuangan, atau kesehatan. Bagi sebagian warga Amerika Serikat, menjadi juri malah adalah kehormatan.
Hakim, jaksa dan pengacara lalu akan menyeleksi orang-orang yang akan menjadi juri. Sebagai langkah seleksinya, diajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memastikan bahwa yang akan menjadi juri bersifat independen, tidak ada hubungan atau relasi dengan terdakwa, pun hubungan dengan hakim, jaksa dan pengacara. Proses ini akan memilih 14 orang, terdiri 12 orang sebagai juri dan 2 orang sebagai cadangan.
Namun, apakah semua kasus pidana disidangkan oleh juri? Dalam sistem peradilan di Amerika Serikat, ada istilah circuit court. Bergantung pada si terdakwa, apakah dia mau menempuh Pengadilan Juri (jury trial) atau tidak. Jury trial adalah salah satu alternatif pilihan yang bisa dipilih terdakwa jika pengadilan dengan hakim sebagai pengambil keputusan satu-satunya dianggap kurang strategis.
Kenapa sistem juri ini tidak ada di Indonesia? Hmm, Indonesia butuh perubahan besar di aspek hukum bila mau menerapkan sistem ini. Pengadilan kita masih menggunakan sistem hukum yang kaku dan sarat prosedural formal. Hakim seakan punya legitimasi sebagai wakil Tuhan, menjadi corong UU. Padahal persoalan masyarakat semakin luas dan dinamis, akibatnya hukum tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakatnya. Hakim seolah-olah selalu steril, imparsial dan objektif. Tak mengherankan, kerap lahir keputusan-keputusan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Dan kalau sejak awal memang sudah bobrok, mungkin sistem ala 12 Angry Men ini malah bisa menciptakan ruang suap-suap baru di masyarakat. Kebayang kan, nanti malah ada yang bikin jasa calo untuk urusan-urusan beginian. Koyo karo sopo wae~
Lagipula, bayangkan juga andaikan menyatakan seseorang bersalah dan menjatuhkan hukuman pidana dilakukan dengan cara polling di kalangan sipil, akan begitu mudah memenjarakan orang. Apalagi kita sering melihat komentar-komentar orang Indonesia yang asal-asalan, “penjarakan saja seumur hidup!”, “penggal saja”, “spill aja yuk di-spill…!”, dll.
Padahal ada asas-asas yang harus ditaati. Seorang terdakwa misalnya, berhak atas kesempatan membela diri, serta dianggap tidak bersalah sampai palu hukum diketok.
Penuntutan dalam masalah pidana biasanya menanggung beban pembuktian yang ketat dan tanpa keraguan. Agar seorang terdakwa dinyatakan bersalah, kasus yang diajukan oleh penuntut harus cukup untuk menghilangkan keraguan yang masuk akal dalam pikiran juri.
Harus berangkat dari rasio Blackstone bahwa “lebih baik sepuluh orang yang bersalah melarikan diri daripada satu orang yang tidak bersalah menderita. ” Jikalau masih ada keraguan apakah seseorang benar-benar bersalah, lebih baik dibebaskan daripada mengambil risiko menghukum orang yang tidak bersalah.
Guna membuktikan seseorang bersalah melakukan tindak pidana, jaksa harus membuktikan bahwa seluruh dakwaannya terbukti dengan standar Beyond Reasonable Doubt. Ini merupakan prinsip hukum pidana yang sangat fundamental dan berlaku hampir di seluruh negara di dunia.
Singkatnya, Beyond Reasonable Doubt berarti seorang hanya dapat dikatakan bersalah bila memang sudah tak ada keraguan sedikitpun akan kebenaran dakwaan. Apabila ada keraguan yang tidak bisa dijawab oleh jaksa, orang tersebut harus dibebaskan, terlepas dia pelakunya atau tidak. Mengutip kata-kata kata Juri 8 pada film 12 Angry Men:
“Kita mungkin mencoba membebaskan orang yang bersalah, saya tidak tahu. Tidak ada yang benar-benar bisa tahu. Tetapi kita punya reasonable doubt, dan itu adalah sesuatu yang sangat berharga dalam sistem kita. Tidak ada juri yang bisa menyatakan seseorang bersalah kecuali itu sudah pasti”.
Oleh karenanya, pada setiap putusan yang menghukum terdakwa, hakim selalu mengatakan “terbukti secara sah dan meyakinkan”, sebagai tanda putusan tersebut lahir dari proses pembuktian tanpa keraguan.
Juri dalam 12 Angry Men memulai musyawarahnya dengan suara 11-1 mendukung “bersalah” dan berakhir 12-0 mendukung “tidak bersalah”. Perundingan itu begitu ketat, sampai bisa mengubah konsensus secara ekstrem. Namun, pada dasarnya juri tidak pernah dapat tahu apakah terdakwa sebenarnya-benarnya bersalah atau tidak. Mereka tak bisa menemukan kepastian, melainkan hanya merasa bahwa buktinya tidak cukup untuk menghukum terdakwa “tanpa keraguan.”
Mereka semua tidak bisa memastikan bahwa anak itu tidak bersalah. Mereka hanya menyadari bahwa kasusnya meragukan. Namun, kembali ke rasio Blackstone, lebih baik penjahat lolos daripada mencabut nyawa anak-anak tak bersalah.
Argumen Ketujuh, 12 Angry Men mengundang perdebatan yang substansial. Apakah yang dilakukan oleh Juri 8, selaku protagonis, ini benar-benar “protagonis”? Atau jangan-jangan ia manipulatif? Kita, sebagaimana 11 juri lain, ternyata ikut dimanipulasi, dan benar kata Juri 7, bahwa ia punya bakat jadi sales yang hebat.
Tindakan Juri 8 saat mencoba membuat juri lain untuk membebaskan terdakwa dilukiskan heroik dan bijaksana dalam film. Tetapi jika kita periksa metode persuasinya, ada yang perlu didiskusikan lagi.
Sebenarnya, jika kesalahan terdakwa cukup jelas, sementara persidangan dilakukan sesuai dengan standar, tidak banyak yang dapat Anda lakukan untuk berdebat dengan juri lain. Nah, apa yang dilakukan juri 8 sebenarnya memang problematik.
Ia memulai dari meragukan mekanisme persidangan oleh juri. Persidangan Juri adalah konsep yang cukup baru dalam sejarah hukum. Sebelum ada Persidangan Juri, benar-benar tidak ada langkah-langkah yang logis untuk memutuskan siapa yang bersalah dalam suatu kejahatan.
Dalam beberapa kasus, seperti Pengadilan Penyihir Salem misalnya, ketika orang-orang dituduh sebagai penyihir lalu dibantai begitu saja di Amerika Serikat pada abad 17, yang dibutuhkan hanyalah tuduhan palsu dari kelompok yang kuat. Untungnya, sistem Persidangan Juri mengubah semua itu. Sejumlah konsep hukum penting dan checks and balances diberlakukan untuk mencegah beberapa jiwa yang malang dihukum mati tanpa alasan.
Sekarang, meskipun Persidangan Juri menjadi sistem hukum yang lebih baik, itu juga bukan sistem yang sempurna. Terkadang kesalahan terjadi. Terkadang prasangka dapat mengirim orang yang salah ke penjara. Isu ini merupakan salah satu pendorong di balik perjuangan juri 8 di 12 Angry Men. Senjatanya ya reasonable doubt tadi.
Namun, cara argumen ini diterapkan di 12 Angry Men bukan tanpa cacat juga. Juri 8 mendasarkan pada premis yang tidak logis, bahwa karena suatu proses bukanlah ilmu pasti, kita harus secara otomatis meragukan proses itu sendiri, bahkan ketika semua tanda-tanda sudah bekerja dengan benar.
Ini seperti argumen kaum-kaum yang meragukan penemuan ilmiah terkait pandemi Covid-19: “Bagaimana Anda bisa tahu pasti itu covid-19? Tes bisa salah. Dokter adalah manusia dan bisa membuat kesalahan?”
Bila logika ini diikuti, sama seperti orang mabuk berdebat soal Tuhan di jam setengah 2 pagi, tidak akan ada akhirnya.
Dalam kasus 12 Angry Men itu, sama sekali tidak ada yang aneh tentang cara penyelidikan kasus pembunuhan itu ditangani. Jaksa melakukan tugasnya. Pengacara pembela melakukan tugasnya. Bukti dibawa masuk.
Bagaimana dengan reasonable doubt tadi? Masalahnya, Juri 8 menganggap reasonable doubt berarti Anda harus menebak-nebak semua yang Anda dengar dan lihat selama persidangan, bahkan ketika tidak ada pondasi yang kokoh untuk bersikap skeptis. Misalnya, jika Nyonya Johnson bersaksi bahwa ia mendengar suara tembakan pada pukul 3 sore, ya sudah. Kita tidak perlu lagi mencari-cari kesalahan, seperti, “Bagaimana kita tahu dia mendengar suara tembakan? Mungkin ia mendengar suara pesawat lewat. Mungkin tetangga sebelahnya sedang menyetel lagu-lagu Pantera. Mungkin ia tertidur dan bermimpi tentang perampokan bank, dan lain-lain”
Bukanlah menepati asas reasonable doubt untuk mengatakan, “Saya harus menebak-nebak semua yang saya dengar karena ada beberapa kemungkinan yang tidak pernah dipertimbangkan oleh siapa pun.”
12 Angry Men menyajikan Juri 8 sebagai orang yang sangat berhati-hati. Ia berusaha keras untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, bahkan sampai membeli pisau lipat dan mereka ulang skenario kejadian. Ia melampaui panggilan tugas untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan juri.
Lihat adegan pisau lipat yang dimiliki terdakwa, dihadirkan sebagai barang bukti di persidangan, dengan penjelasan bahwa ini membuktikan terdakwa membunuh ayahnya karena pisau itu punya desain yang langka. Bukan pisau yang umum. Namun, kemudian Juri 8 menolak bukti penting ini dengan menunjukan bahwa ia bisa saja membeli pisau lipat seperti itu dengan mudah. Ia sengaja menjadikannya sebagai “bukti” bahwa terdakwa berpotensi tidak bersalah.
Lalu ada adegan ketika salah satu saksi—seorang pria tua pincang—yang bersaksi bahwa ia mendengar pembunuhan itu, lalu bergegas ke pintu depan, melihat terdakwa keluar dari TKP dengan mencurigakan. Juri 8 meragukannya. Ia mereka ulang adegan, bermain peran sebagai saksi untuk membuktikan pria pincang itu salah atau berbohong dengan tambahan asumsi ini dan itu. Seolah-olah, Juri 8 lebih teliti daripada detektif yang sudah bekerja di kasus ini.
Bahkan, juri 8 sempat mempraktikkan bagaimana seharusnya pisau lipat itu digunakan ketika menikam seseorang. Ia bertindak sangat jauh.
Sebenarnya logika keraguan juga bisa dilempar balik ke setiap asumsi Juri 8. Mungkin memang pisau yang dibeli Juri 8 dan yang digunakan pembunuh itu modelnya sama. Lah, mungkin saja toko-toko lokal mulai menimbun pisau semacam itu setelah terdakwa ditangkap. Sebagai juri, ia tidak akan pernah tahu pasti. Ia hanya bisa berspekulasi.
Hanya karena tidak memiliki bukti yang kuat, bukan berarti hukum tidak bisa menarik kesimpulan yang masuk akal tentang apakah sesuatu terjadi atau tidak. Selain menggunakan akal sehat dan logika, ada prinsip-prinsip tertentu yang dapat digunakan untuk membimbing penyelidikan. Salah satunya disebut Occam’s Razor, yakni prinsip bahwa penjelasan atau solusi paling sederhana atau paling lugas adalah yang paling mungkin. Ini berarti satu yang paling tidak berbelit-belit, tidak membawa banyak detail yang tidak relevan, adalah yang paling diperlukan dalam menjelaskan apa yang terjadi.
Ada banyak prinsip penting yang harus diikuti untuk menarik kesimpulan yang masuk akal secara logis dalam perdebatan. Misalnya, kekeliruan formal dalam menarik kesimpulan. Jika Anda mengatakan, “jokowi itu makan nasi,” dan, “rakyat itu makan nasi ,” akan menjadi kekeliruan formal untuk menyimpulkan, “Rakyat adalah Jokowi.”
Ada juga kekeliruan informal, ketika mekanisme argumen masuk akal, tetapi ada yang salah dengan alasan lain. Salah satu yang paling sering terlontar adalah ad hominem. Ini adalah tindakan mendiskreditkan sudut pandang seseorang dengan menyerangnya secara pribadi, bukan mempermasalahkan isi pendapatnya. Misalnya, jika Anda berkata, “Pendapat Jokowi salah tentang pemberantasan korupsi. Soalnya ia orang Jawa.”
Kekeliruan informal lain yang dilakukan Juri 8 adalah analogi yang salah. Ia menggunakan teknik ini untuk melawan argumen Juri 4. Terdakwa beralasan sedang menonton film di bioskop ketika kasus pembunuhan terjadi. Anehnya, ia gagap dan tidak bisa menyebutkan judul film yang ditontonnya ketika diinterogasi polisi. Juri 8 lalu balik menginterogasi Juri 4 dengan pertanyaan-pertanyaan detail soal aktivitas yang dilakukannya beberapa hari sebelumnya. Seakan-akan, bila Juri 4 tidak bisa menjawab dengan baik, berarti beralasan bagi terdakwa untuk melakukannya juga.
Ada banyak lagi sebenarnya kejanggalan dari analisis dan argumen sang protagonis kita ini. Namun, ini adalah istimewanya 12 Angry Men. Perdebatan tak akan sudah, karena di film ini kita tak diberi tahu beneran, apakah anak itu sesungguhnya bersalah atau tidak. Semuanya spekulasi dan asumsi. Pertanyaan dan keraguan itu selamanya kekal dalam 12 Angry Men.
Namun, ada satu yang sudah bisa diketok palunya: 12 Angry Men adalah film terbaik di 50-an.
Reasonable doubt tidak berlaku.
Best Lines:
Juror #3:
You’re talkin’ about a matter of seconds! Nobody can be that accurate!
Juror #8:
Well, I think testimony that can put a boy into the electric chair *should* be that accurate.
After Watch, I Listen:
The Rolling Stones – Sympathy For The Devil