10. Wet Leg – Wet Leg
Belum habis stok perempuan memainkan indie rock sejenis ini, kendati sudah bergelimang dalam kisaran sepuluh tahun terakhir: Courtney Barnett, Snail Mail, Horsegirl, Soccer Mommy, bla bla bla. Kali ini dari Isle of Weight, ada Wet Leg, dengan album perdana yang mengentak-entak.
“Chaise Longue”, “Angelica”, “Wet Dream”, semuanya seru. Namun, yang menurut saya paling atraktif adalah segi liriknya, menggambarkan energi terombang-ambing antara sinisme dan amarah. Secara ugal-ugalan, mereka bicara tentang pekerjaan yang menjenuhkan, pengalaman buruk bersama aplikasi kencan, dan situasi memengkalkan lain. Semua ditulis dengan gaya yang terlewatkan oleh band-band pop punk terbaik selama ini.
I was in your wet dream
Driving in my car
Saw you at the side of the road
There’s no one else around
You’re touching yourself, touching yourself
9.Liam Gallagher – C’MON YOU KNOW
Album ini bekal kembalinya Liam manggung di Knebworth, 26 tahun setelah Oasis tampil di sana dalam salah satu konser paling definitif mereka. Dua malam, 160 ribu penonton, konser solo Liam bernuansa reuni itu berbarengan dengan album ini memuncaki tangga album UK.
“More Power” seperti “You Can’t Always Get What You Want”-nya The Rolling Stones, “Better Days” ketukannya mirip sekali dengan “Tomorrow Never Knows”-nya The Beatles. Tapi ini bukan soal, jangan larang kami bernostalgia.
Ini album yang bisa menyadarkan betapa akrab kita dengan suara Liam. Seperti kawan lama. Walau superfisial, tapi perasaan itu hadir sekelebat: “Oasis is baccccccck”.
8.Yeah Yeah Yeahs – Cool It Down
“Coward, here’s the sun / So bow your head”
Dibuka dengan nomor “Spitting Off The Edge of The World”, kita langsung merasa familiar. Lagu yang terinspirasi dari David Bowie ini berkolaborasi dengan Perfume Genius—yang katanya diajak karena doi punya persona artistik mirip Bowie.
Tapi sebenarnya kita tidak dibuat bingung. Semua materinya sesuai dengan yang kita damba dari Karen O, “Maps”, dan Yeah Yeah Yeahs. Konsep lirik yang banyak mengutuk krisis iklim bukan gagasan sulit untuk dipadukan dengan estetika Yeah Yeah Yeahs yang membara.
“Wolf” dan “Burning” misalnya, berderak-derak seperti isi perut bumi yang mau muntah, atau ledakan suar matahari.
7.Alex G – God Save The Animal
Saya mendengarkan Alex G sejak House of Sugar (2019) yang surealis itu. God Save The Animal–meski tetap bercorak fantasi dalam aransemennya–tidaklah menimbulkan ekspresi sedelusif itu. Namun, tetap menyembunyikan daya emosional dalam keseluruhan materi.
Serupa ilustrasi kovernya, mendengarkan album ini membawa ingatan saya di usia bocah, melihat kemasan Faber Castel di Gramedia. Terdorong menumpahkan rangkaian palet dalam vinyet. Memeras keindahan, sembari bergulat dengan kepolosan.
6. Fontaines D.C – Skinty Fia
Kecuali gitaris Conor Curley, band asal Dublin ini pindah ke London dua tahun lalu.
Skinty Fia diterjemahkan dari bahasa Irlandia berarti “kutukan rusa”. Kwintet ini memaknai rusa Irlandia sebagai relasi mereka dengan budaya Irlandia. Bagaimana rasanya tinggal di tempat yang tampaknya “rumah”, nyatanya tidak.
Keresahan itu narasi utama dalam Skinty Fia. Terkonstruksi pula dari aspek musik, post punk yang mengandung banyak harmoni vokal— membekaskan elemen irish.
Tak luput, sisi politiknya pun terkulik. Pada salah satu lagu terkuat, “I Love You”, Chatten (vokal) membedah kekhawatirannya–di bawah muram bassline ala Stone Roses–sebelum seakan bicara kepada kaum muda Irlandia: menulahi kegagalan koalisi Fianna Fáil dan Fine Gael (dua partai utama di pemerintahan Irlandia), isu perumahan, hingga tingginya tingkat bunuh diri remaja.
About the gall of Fine Gael and the fail of Fianna Fáil
And now the flowers read like broadsheets, every young man wants to die
5. Kendrick Lamar – Mr Morale & The Big Steppers
Sorry I didn’t save the world, my friend
I was too busy buildin’ mine again
Secara konsep, Mr Morale & The Big Steppers menganalisis pengalaman hidup Lamar sendiri selama ia menjalani terapi dan healing. Di dalamnya, masuk nyaris segala problem individu kiwari: toxic masculinity, cancel culture, daddy issue, fake news, homofobia, performative activism, dan lain-lain.
Jangan khawatir para SJW, album ini tetap laik dikategorikan conscious rap. Beberapa lagu, seperti “N95” masih cukup lantang bicara ketidakberesan sistem. Walau tak seberingas DAMN (2017) atau To Pimp A Butterfly (2015).
Penulisan lirik Lamar di album ini juga dipandang lebih semrawut, menolak keanggunan struktur lagu-lagu lamanya yang solid. Ide-idenya berkeliaran seperti anak ayam tak disangkar.
Namun, Mr Morale & The Big Steppers disanjung sebagai karya terjujur rapper (dan sepertinya musisi arus utama) pertama yang pernah menerima Pulitzer Prize itu. Masih kaya perspektif, tidak merendahkan statusnya sebagai storyteller terbaik dalam jagat hip hop.
4. Arctic Monkeys – The Car
Alih-alih putar balik, Arctic Monkeys justru membablaskan bentuk artistik Tranquility Base Hotel and Casino (2018) yang kian jauh dari kuping pemadat rock & roll. Tidak seaneh bicara hotel di luar angkasa memang, tapi musiknya tetap di jangkauan yang antik: pop tradisional campur jazz ala masa jaya Tin Pan Alley, soundtrack film-film spy Perang Dingin—Bondesque, kebayang adegan Sean Connery ditodong pistol selepas wleowleowleo di ranjang.
The Car berisi sesuatu yang tidak kita dengar sehari-hari, kecuali Anda masih tinggal bareng kakek yang suka memutar Sinatra atau Nat King Cole. Konsekuensinya, ini album pertama Arctic Monkeys yang gagal memuncaki tangga album UK (kepentok Midnight-nya Taylor Swift).
Dalam benak hati, kita sebenarnya selalu ingin Arctic Monkeys kembali ke era-era lantai dansa klab malam—bukan lounge hotel, cocktail bar, atau Toyota Corolla 60-an. Tapi entah, setiap memberi kesempatan lebih, akhirnya tetap jatuh cinta juga pada apa saja yang mereka ciptakan.
3. Harry Styles – Harry’s House
Pertama kali dengar album ini, saya merasa materinya kurang pejal. Terlalu warna-warni, colak-caling—meski tetap enak saja dinikmati.
Namun, saya mulai punya perspektif lain setelah mempelajari inspirasi album ini, city pop: genre musik Jepang-kebarat-baratan yang tumbuh di 70-an. Bersamaan dengan ledakan ekonomi dan teknologi Jepang, genre ini identik dengan kemunculan Walkman, stereo FM. synthesizer Yamaha CS-80, atau mesin drum Roland TR-808 di negeri itu.
Yutaka Kimura, peneliti city pop, mendefinisikan genre ini sebagai “musik pop urban untuk mereka yang memiliki gaya hidup urban”. Warna-warni itu merupakan salah satu sifat city pop, memeriahkan R&B dengan banyak olahan synthesizer. Produksinya yang bercorak “riang” memberikan kompleksitas menarik, “sepi dalam keriuhan kota” bisa tersampaikan.
Harry bisa menerjemahkan genre ini dalam salah satu album tahun ini yang paling “rumahan”, mudah didengar dengan telinga yang pasif.
2. Beyonce – Renaissance
Kilas sejarah: musik house diciptakan para produser dan DJ kulit hitam di Chicago pada dekade 70 dan 80-an. Lirik-liriknya banyak berisi pesan yang menguatkan mereka yang dianggap sebagai kaum liyan, terutama kulit hitam, Latin, dan gay. Itu kenapa skena musik dance dan house adalah salah satu ruang paling progresif di era 80-an, karena dihidupi minoritas yang menemukan perasaan kolektifnya dalam lantai dansa.
DJ Amerika, Frankie Knuckles pernah berkata, klab di Chicago seperti “gereja untuk orang-orang yang gagal mendapatkan karunia”. Sayangnya, kepemilikan atas musik ini perlahan direbut maruknya industri. Depolitisasi terjadi, minoritas mulai kehilangan kendali.
Maka, Beyonce turun tangan. Renaissance didedikasikannya kepada sepupu gaynya yang mengenalkan Beyonce kecil pada musik dance dan kultur klub disko. Ini karya yang berupaya mengingatkan dunia bahwa kulit hitam dan queer adalah pionir disko. Dengan target semuluk-muluk itu, rasanya hanya Beyonce yang sanggup mengemban beban.
Beyonce di album ini betul-betul mengerjakan musik dance. tidak ada balada atau lagu putus cinta, hanya lagu-lagu enerjik. Kata SZA, Renaissance adalah risiko terbesar yang diambil artis arus utama dalam beberapa tahun terakhir.
Renaissance dinikmati seperti DJ set. Transisi tiap lagu adalah pencocokan ketukan, mengingatkan pada DJ mix yang rumusnya menyesuaikan mood lantai dansa. Contoh paling “pecah” adalah transisi dari “Energy” ke “Break My Soul”.
Impaknya, Renaissance sukses memicu percakapan dan ulasan perihal sejarah musik dance, dan akarnya dalam kultur kaum African-America. Memperkenalkan kembali musik house ke radio, dan semoga mendorong musisi lain mengikuti jejak Beyoncé. Harus diperingati, sebuah keputusan artistik yang politis dari penyanyi terbesar dunia.
1. Rosalia – Motomami
Playlist Top 40 kian ke sini kian kebanjiran lagu-lagu Latin—serasa kita dipaksa harus mendengar seluruh lagu baru Bad Bunny. Setelah tak terpuaskan—bahkan, kadang merasa terganggu—dengan lagu-lagu itu yang semuanya seperti ingin jadi “Despacito”, akhirnya datang masanya, saya menemukan karya yang tepat.
Tibalah karya pop Latin yang lebih kompleks, lebih serius, lebih brilian.
Sebenarnya, Rosalia, kelahiran Barcelona, sudah banyak disanjung sebelumnya, Billboard menyebutnya “changing the sound of today’s mainstream music with her fresh flamenco-influenced pop”. Gara-garanya, tahun 2018, albumnya yang bertajuk El Mal Querer secara fenomenal memadukan musik tradisional Spanyol, flamenco dengan elemen pop dan hip hop. Kesuksesannya secara global meningkatkan ketertarikan publik pada musik flamenco, juga penjualan novel feminis abad 13, Flamenca.
Tapi di album berikutnya ini, Motomami, Rosalia lebih jauh menunjukan kejeniusan musikal. Kiprah global memungkinkannya merangkai lebih banyak aliran musik, termasuk nama-nama yang baru saya pelajari: bachata (asal Dominika), bolero dan mambo (asal Kuba), funk carioca (asal Brazil), dan sebagainya, kendati masih reggaeton yang paling dominan (gaya musik asal Panama 80-an akhir, menjadi populer di Amerika Latin, biasanya rap, contoh populernya ya “Despacito”).
Dua lagu pertama, “Saoko” dan “Candy” adalah contoh reggaeton yang dibawakan dalam aransemen amat lain, bukti kecerdasannya. Yang disebut kedua, memamerkan kualitas vokalnya yang di atas rata-rata. Sopranonya bagus, tapi daya tarik ada pada gaya bernyanyi yang berakar dari traditional pop lokal, misalnya melisma–teknik menyanyikan beberapa not dalam satu nada, biasa di R&B–yang kental nuansa Timur Tengah.
Bahkan di versi deluxe album ini, Motomami+, Rosalia menambahkan satu lagu yang bagus: “Despecha” yang menggabungkan electropop dan merengue—aliran musik lantai dansa yang tumbuh di Republik Dominika, identik dengan instrumen senar.
Alhasil, Motomami seperti koleksi perbendaharaan aliran musik Latin yang dianyam secara modern. Konsekuensinya, ini membuatnya berhadapan dengan hujan tudingan cultural appropriation. Tapi secara personal, saya tidak pernah mau ambil pusing dengan isu ini.
Keseriusan dan interpretasinya terhadap kekayaan bentuk seni yang berabad-abad terpisah jarak dan kultur, Motomami boleh jadi langkah artistik paling berpengaruh untuk tahun-tahun ke depan.