5. Efek Rumah Kaca – Seperti Rahim Ibu (OST Mata Najwa)
Menemukan “rahim ibu” sebagai metafora “negara yang ideal” adalah jenius, “merawat kehidupan / menguatkan yang rapuh”–kendati faktanya sejauh ini lebih patut diumpamakan sebagai “kanker”. Sebagai soundtrack untuk program televisi yang paling waras saat ini, “Seperti Rahim Ibu” memang tidak fokus pada isu tertentu, melainkan mengerucutkannya kepada apa yang sebenarnya layak menjadi kiblat dari tiap persoalan di negeri ini: kemanusiaan. Tiap kali dentingan gitar di intro lagu ini tiba menyambut sesi Najwa Shihab membacakan sajak dari isu yang diulasnya di Mata Najwa, kita seperti diajak untuk melakukan sesuatu yang lebih daripada sekadar tidak menonton TV One.
4. Umar Haen – Kisah Kampungku
Tidak salah untuk menyerukan “padi milik rakyat” berulang-ulang, namun faktanya tak sesimpel slogan poster pergerakan agraria. Sudah tentu, memang seharusnya padi milik rakyat, tapi kenapa faktanya banyak rakyat, termasuk petani yang terasingkan dari hasil produksi mereka sendiri? Jika ditelisik jauh melewati berlapis-lapis sebab-akibat–yang tidak termasuk “jok kiri mobil pemberian ayahmu mungkin milik rakyat”–maka akan sampai pada jumlah petani berusia di bawah 35 tahun yang kini tersisa tak lebih dari 12 persen. Umar Haen lebih jauh “curhat” perihal teman-teman sebaya di kampungnya di Temanggung, mengamini bahwa mereka lebih memilih merantau dibanding bertungkus lumus dengan sawah. Sesuai data Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), penyebabnya adalah kecilnya pendapatan serta minimnya akses berbentuk lahan yang dapat dikelola. “Kisah Kampungku” membawa pesan bahwa desa adalah ruang sosial yang kompleks, tak melulu pemandangan asri yang cocok jadi lauk pauk lirik-iirik musik folk.
3. Navicula – Saat Semua Semakin Cepat, Bali Berani Berhenti
Sepintas sekadar lagu akustik biasa, bahkan mungkin tak punya kejutan artistik untuk menyabet label “folk”. Namun, makna yang berundak-undak bersemayam dalam lirik lagu terakhir di album Earthship ini. “Berhenti” memang butuh keberanian di dunia yang terobsesi dengan kecepatan seperti sekarang. Kemajuan teknologi yang ditunggangi industrialisasi dan kapitalisasi di sana-sini membuat kita terkurung dalam agenda-agenda serba cepat dan menuntut, melebihi kapasitas kita untuk memenuhinya selama 24 jam. Time poverty atau fakir waktu melanda masyarakat. Bahkan, sibuk kini sering dianggap sukses. Padahal mereka yang benar-benar sukses sekalipun belum tentu bahagia. Sebagian dari kita yang sadar sempat memunculkan pergerakan slow life, falsafah hidup lambat yang melakukan sesuatu tanpa buru-buru demi mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan bahagia. Dalam konteks Bali, filosofi yang agaknya selaras dengan ibadah Nyepi ini adalah kritik bagi pemerintahan Jokowi belakangan yang begitu bangga pada pembangunan.
2. Kunto Aji – Jakarta, Jakarta
Merespons konsep isu psikis dari album Mantra-Mantra, tentu saja lingkungan hidup adalah faktor yang turut andil. Atau mungkin lagu ini hanya untuk metafora itu: sebuah kota yang pondasinya adalah kontradiksi. “Beranjak pergi” namun “membuatku tegak berdiri”, dan “hingar binger” namun “membuatku merasa sepi”. Bagi kita orang luar Jakarta, pertanyaan “kota tidak enak seperti itu kenapa banyak yang ngotot tinggal di sana?” muncul sewaktu-waktu. Semua orang Jakarta sebenarnya tahu itu, mereka menitip banyak mimpi meski terseok-seok di sana –sini. Ada romantisme yang berhasil diungkit oleh Kunto Aji di nomor kontemplatif ini. Lalu diakhiri dengan bagian yang kemungkinan dicomot dari kutipan Tan Malaka yang belakangan makin populer, “benturkan, bentuklah”. Sejenak melepas konteks gelapnya, lagu ini mampu memotret sisi romantis dari Jakarta.
1. Pangalo! – Menghidupi Hidup Sepenuhnya
Tidak usah berpikir caranya untuk berumur panjang, yang penting menghidupi hidup yang seadanya ini. Menolak mati yang sebenarnya adalah dengan cara merayakan setiap detik yang dimiliki. Dalam lagu ini, Pangalo! berhasil mengelaborasikan pandangannya soal “Fatum brutum amor fati”, atau yang artinya ‘mencintai takdir walau itu buruk’ dari Nietsche. Mereka yang “melampaui diri sendiri dengan amor fati” adalah insan-insan yang spektakuler. Hidup tak selalu sesuai resolusi tahun barumu bukan? “Hari berganti, apakah mimpimu juga berganti / mencoba kompromi dengan belukar hidup / yang teramat sulit tuk dimengerti / yang kerap kali melukai hati setiap pemimpi yang menjalani” Perjuangan menjadi ada karena adanya tuntutan untuk menyerah. Meski tulus terhadap takdir, namun mereka bukanlah orang-orang fatalis. Petani yang mempertahankan lahan leluhurnya, aktivis yang mengisi hidup dengan keringat-keringat kemanusiaan, seniman yang terus menjembatani satu imajinasi ke imajinasi yang lain, hingga pedagang obat yang mempertahankan takdirnya sebagai pedagang obat. Beat dari “Come Around” milik band funk asal California bernama Orgone yang nikmat, dan flow yang lincah serta trengginas membuat jantung berdegup-degup. Baris-baris seperti “sampaikan kepada kawan” membuat lagu ini laksana surat kaleng bagi jutaan orang yang memiliki prinsip hidup yang sama. Semangat dalam “Menghidupi Hidup Sepenuhnya” mungkin sebelas dua belas dengan kisah seorang office boy menjadi tenar, dan ini bukan hal baru sebagai tema hip hop, namun Pangalo! membuatnya seakan benar-benar milik semua orang, di luar segala tentang hip hop itu sendiri. Lagu ini berhasil menghidupi tahun 2018 seutuhnya.