Tags
buster keaton, film buster keaton, film komedi 1920an, film komedi sherlock, film terbaik keaton
Buster Keaton
1924
Comedy
Saya habis menonton apa sih?
Sirkus? Sulap? Sihir? Fenomena alam? Mukjizat nabi? Dalam 45 menit, saya terpana tiada jeda. Pertama kalinya saya benar-benar peduli sekaligus kebingungan dengan proses kreatif di balik layar sebuah film.
Seorang pekerja bioskop (Keaton) baru saja kalah telak dari rivalnya dalam persaingan memperebutkan seorang perempuan (Kathryin McGuyre). Pria malang ini diusir dari rumah gebetannya itu karena dicurigai mencuri jam saku milik bapaknya. Mirip dengan cerita Titanic, sebenarnya sang rival (Ward Crane) yang menjebaknya. Sampai di sini, ceritanya tidak terlalu muluk-muluk.
Namun, gabungan antara rasa dongkol, lelah di tengah pekerjaannya sebagai projectionist film, dan hasratnya menjadi seorang detektif kemudian membuat si tokoh utama bermimpi luar biasa dalam tidur. Dari sini, bagian orkestra glissandos yang tersohor dari “ A Day In The Life” milik The Beatles sayup-sayup berkumandang di kepala saya.
Begitu tokoh utama ini tertidur lalu bangkit dalam mimpinya, maka semesta Sherlock Jr berubah. Latar kisahnya masih sama dan berlanjut, namun kita sampai pada logika dunia yang sudah seenaknya dibuat oleh Keaton. Setidaknya ada tiga adegan surealis yang paling memukau:
Pertama, tentu saja adegan Keaton berlari masuk ke layar bioskop di hadapan para penonton. Di dalam layar itu, ia menjadi bagian dari film yang sedang diputar. Ia kebingungan, berulang kali terjerembab dan ketakutan karena dipermainkan oleh latar tempat yang berubah-ubah ke tujuh set berbeda: taman, jalan raya, hutan, gurun, lautan, tebing gunung, dan hamparan salju. Inilah salah satu adegan film within film (film di dalam film) yang paling populer dan paling meledakkan pikiran (mind-blowing, istilah kebarat-baratannya). Konon, memang dari gambaran situasi inilah alasan Sherlock Jr diciptakan oleh Keaton. The New York Times menyebutnya, “one of the best screen tricks ever incorporated in a comedy”. Selain unsur surealisme yang di masa itu cuma pesat di Perancis, adegan ini juga menggunakan teknik cross-cutting yang sebelumnya lebih identik dengan sinema Uni Soviet.
Kedua, adegan Keaton bermain biliar yang sudah diberi jebakan oleh tokoh antagonis dalam semesta mimpinya. Keaton dalam semesta ini sudah menjadi detektif jagoan, dan antek-antek musuhnya menyiapkan bom dalam bentuk bola nomor 13 di atas meja biliar itu, berharap akan meledak ketika Keaton sedang bermain. Kocaknya, Keaton ternyata amat jago. Ia memasukan satu per satu bola sesuai urutan tanpa sedikitpun menyenggol bola nomor 13. Walaupun tidak diambil dalam satu long take, namun kita tetap terkesima melihat kepiawaian Keaton bermain bola sodok.
Ketiga, adegan kejar-kejaran dengan sepeda motor. Bergegas menuju tempat gebetannya diculik, Keaton membonceng (apa ini diksi yang tepat ya?) di bagian setang dari sepeda motor rekannya. Tanpa disadarinya, rekannya yang memegang kemudi sudah jatuh dari motor ketika melewati sebuah genangan. Sementara motornya masih terus melaju, seakan autopilot. Motor ini membawa Keaton melewati kemungkinan tabrakan yang tak habis-habis di rel kereta api atau jembatan patah. Sebuah konsep adegan komedi kejar-kejaran yang kocak sekaligus tetap menyisakan rasa tegang.
Saya sih takjub, imajinasi sejauh apa yang membuat Keaton bisa menemukan ide adegan-adegan ini, terpadu dalam satu film. Oke, kalau sekadar ide mungkin masih bisa beruntung muncul acak sewaktu-waktu, dan ini seharusnya bukan hal aneh bagi seniman. Tetapi, menciptakan gagasan liar yang kemudian terancang untuk dieksekusi adalah kegilaan sebenarnya. Dan Sherlock Jr adalah wujudnya yang bisa kita nikmati.
Apalagi masih ada banyak adegan-adegan kecil lain yang tak kalah mengagumkan. Misalnya, saat Keaton meloncat ke sebuah koper kecil dan lalu menghilang. Atau sebuah trik melarikan diri ketika ia melompat ke jendela, lalu sudah mengenakan pakaian perempuan ketika keluar dari jendela itu. Ia sempat mengatakan pada seorang sejarawan film, Kevin Brownlow, “every cameraman in the business went to see that picture more than once trying to figure out how the hell we did some of that.” Walaupun Keaton dikenal sebagai penggarap film komedi dengan banyak slapstick, tapi siapa berani bilang bahwa tidak ada akal yang dikuras?
Sherlock Jr membuat saya mulai memberikan atensi pada sisi estetika film bisu. Kreativitas seringkali muncul dari keterbatasan, dan Keaton memanfaatkannya hingga melampaui apa-apa yang mungkin lahir dari modal kreatif yang lebih siap. Trik-trik kamera dan efek optik yang dahsyat itu tentu tidak lahir dari buku teks sinema. Dan lebih bisa kita terima rasanya ketika konsep-konsep mengerikan ini memang lahir dari satu kepala jenius. Karya yang hanya bisa lahir dari pola kerja auteur. Lantas, ketika bicara era film klasik, cuma Charlie Chaplin dan Keaton yang punya kapasitas dan talenta itu. Ya, ini sebelum kariernya dipadamkan oleh Metro-Goldwyn-Mayer yang tidak sadar bahwa mencabut independensi seorang auteur adalah langkah gagal yang besar.
Saya punya satu asumsi yang sudah sejak lama bercokol di kepala. Makin terkotak-kotakan dan tersegmentasi budaya populer, cenderung makin remeh pula hasilnya. Saya merasa karya-karya legendaris seringkali lahir dari kolaborasi berbagai ragam wilayah seni. Tak usah bicara jauh-jauh di era abad-abad kuno, di akhir 90-an saja ada Kantata Takwa sebagai salah satu entitas puncak seni musik Indonesia. Di dalamnya adalah pergaulan antara Iwan Fals dengan Eross Djarot, Sawung Jabo, Setyawan Djody, lalu Rendra. Sebuah proyek multi ranah seni. Kolaborasi semegah ini bisa muncul mungkin karena waktu itu memang ada medan sehari-hari atau kultur yang mempertemukan musik, lukis, teater, sastra, dan sinema. Hari ini bukannya tidak ada, kita punya Teater Garasi misalnya. Namun, tentu itu hanya serpihan-serpihan sisa dari apa yang kita sebut industri musik, industri film, atau seni rupa. Sekarang, banyak sekali karya-karya film atau musik yang basi karena seperti dibuat oleh mereka yang tidak mengenal sastra atau bahkan malas membaca buku.
Justru mungkin karena dulu sinema masih belum mapan industrinya, sehingga para penggeraknya bukan jebolan sekolah film, melainkan para seniman dari bidang lain. Keaton sendiri lahir di keluarga yang kental dengan vaudeville, sebuah seni pertunjukan pusparagam. Di sana bisa melibatkan akrobat, sulap, komedi, pantonim, dan lain-lain. Keaton mulai menjadi pemain vaudeville sejak usia tiga tahun. Selain komedi, pelajaran sejak dini yang ia bawa ke sinema adalah kemampuannya mempraktikan adegan berisiko.
Salah satu adegan pertunjukan vaudeville yang paling rutin ia mainkan di masa kecil adalah adegan ketika ayahnya marah dan melemparkan Keaton ke kerumunan audiens. Tentu saja ada triknya agar ia tak sakit dan mengalami cedera, sehingga Keaton sampai mendapat julukan sebagai “The Little Boy Who Can’t Be Damaged”. Tapi seringkali orang-orang menganggap atraksi itu sebagai bentuk kekerasan terhadap anak, hingga berulangkali ayahnya ditahan. Untungnya Keaton selalu bisa meyakinkan aparat bahwa ia tak mengalami luka sama sekali dan atraksi ini memang sudah disiapkan secara sangat matang. “The secret is in landing limp and breaking the fall with a foot or a hand. It’s a knack. I started so young that landing right is second nature with me. Several times I’d have been killed if I hadn’t been able to land like a cat. Imitators of our act don’t last long, because they can’t stand the treatment,” ujar Keaton pada Detroit News. Itu kenapa kemudian Keaton bisa begitu percaya diri menampilkan adegan berbahaya dalam filmnya, tanpa pemeran pengganti pula. Seorang Jackie Chan sempat mengatakan bahwa Keaton adalah salah satu sosok yang menginspirasinya untuk menolak menggunakan pemeran pengganti.
Selain itu, dari vaudeille pula Keaton menemukan deadpan atau teknik muka datar. Apapun yang menimpanya, ekspresinya memang selalu tidak berubah. Brengsek. Di zaman sekarang, kita memang sering terbahak melihat kawan yang mukanya bisa anyep meski ia sedang dalam situasi jenaka. Tapi Keaton adalah yang mulanya sadar bahwa itu bisa dikembangkan sebagai sebuah teknik komedi. Hanya melalui tatapan mata, ia bisa menyalurkan rentang emosi yang sedemikian luas, mulai dari buncah, syak wasangka, hingga sengsara.
Teknik deadpan ini kemudian memberikan pendekatan yang lain tapi mirip dengan Chaplin yang penuh eksplorasi penderitaaan dari sudut pandang yang lebih emosional dan cenderung marxis. Muka datar yang diusung Keaton merupakan respons tersendiri bagi kedudukan ketertindasan. Dalam hal ini sering disebut juga dengan istilah ekspresi stoic yang diambil dari sebuah mahzab pemikiran Yunani Kuno bernama stoikisme. Didirikan di abad ketiga sebelum masehi, mazhab ini termasuk yang paling berpengaruh dan mempunyai sejarah panjang. Bersama dengan Platonisme dan mazhab Peripatetik, berbagai ajaran Stoik mewarnai dunia pemikiran Barat, terutama 500 abad setelah masehi di kekaisaran Romawi.
Ajarannya cukup sederhana, soal menjalani hidup. Stoic dalam bahasa Inggris berarti “orang yang pandai menahan hawa nafsu”. Kaum stoic percaya akan adanya ketetapan semesta. Kadang-kadang seseorang harus berusaha untuk mengubah, namun adakalanya ia harus mau menerima yang dihadapkan padanya. Berusahalah membenahi, tapi jika tidak bisa lagi dibenahi, maka terimalah. Kata kuncinya adalah legawa. Bahkan, ini sampai pada kemampuan menerima kematian. Muka datar mungkin adalah respons visual yang paling kental dari ajaran ini.
Selain percaya pada ketetapan semesta, manajemen emosi agaknya merupakan konsep yang cukup dekat dengan filsafat stoic. Agar bahagia, kita mesti memahami keduanya. Hawa nafsu adalah sumber dari ketidakbahagiaan, apalagi jika kita menginginkan sesuatu yang berlebihan. Jangan sampai keinginan memperbudakmu. Ambisi bukan hal yang baik, karena rentan mengantarkan emosi negatif. Orang-orang Stoik percaya bahwa mereka yang memiliki kesempurnaan moral dan intelektual tidak akan pernah mengalami emosi-emosi berlebih yang berpotensi merusak kebahagiaan. Salah satu contoh penganut tenarnya adalah Aurelius, kaisar Romawi yang sangat disiplin dengan filsafat stoic. Meski punya kuasa, ia tidak serta merta memanfaatkannya untuk foya-foya sampai teler. “Take care that thou art not made into a Caesar, that thou art not dyed with this dye; for such things happen. Keep thyself then simple, good, pure, serious, free from affectation, a friend of justice, a worshipper of the gods . . . Short is life. There is only one fruit of this terrene life, a pious disposition and social acts.”
Menjadi menarik apakah filsafat ini berlanjut pada nilai-nilai marxisme dan sosialisme, karena ada semangat “hidup cukup” di sana. Stoic menganjurkan untuk memperjuangkan hak dasar, seperti kemakmuran dan kesehatan, sedangkan yang berseberangan dari itu tidak disarankan.[4] Kepemilikan pribadi misalnya, mending diabaikan saja. Seseorang yang terobsesi untuk mengejar harta bisa jadi tidak akan menemukan rasa cukup yang membahagiakan. Deadpan mengekspresikan manajemen emosi dan gaya hidup yang lumrah-lumrah saja itu.
Namun, di sisi lain bisa jadi stoik malah oposisi dari marxisme, terutama terkait kepercayaan pada apa yang sudah ditetapkan semesta. Seorang Stoik, seperti kata Epictetus, hendaknya tidak banyak bicara tentang ide-ide besar, apalagi kepada orang-orang awam. Dalam taraf tertentu, ini bisa kontraproduktif dengan semangat marxisme dalam menggalang kekuatan jalur rakyat.
Surealisme yang dibangun pada Sherlock Jr juga menjadi ekspresi satir akan perjuangan yang berhenti dalam lamunan. Mimpi dan film punya relasi keselarasan, di mana film bisa jadi adalah sebuah glamorisasi mimpi, atau bisa dikatakan film menawarkan mimpi-mimpi. Tokoh Keaton yang selalu berayal menjadi detektif lalu benar-benar bisa menjadi detektif dalam mimpinya yang terhubung pada medium film. Sementara tokoh-tokoh lain dibuat amat stereotipikal. Ward menjadi benar-benar jahat, sampai tega menggunakan jebakan-jebakan yang mematikan. Lalu perempuan gebetannya dalam mimpi itu menjelma wanita kaya yang mengenakan gaun mewah. Semua serba pranata drama. Angan-angan mengatas ini yang sebenarnya coba dilawan oleh stoisme itu sendiri.
Ah, tapi saya merasa tulisan ini juga mengada-ada. Interpretasi saya saja yang terlalu jalang ke mana-mana, padahal bisa saja Keaton tidak memaknai karyanya sejauh itu. Sering terjadi bukan? Interpretasinya saja yang hebat.
Yang pasti, Sherlock Jr sudah juara secara artistik. Di film ini, saya harus menyisikan sejenak tato “Politik Adalah Panglima” saya, dan mengakui Sherlock Jr harus dihormati dalam konteks capaian estetisnya.
Masa bodoh dengan film-film arthouse yang egois dan cuma bisa dimengerti sutradaranya sendiri itu. Di sini ada film yang bisa membuat kita tercengang, namun tetap bisa dinikmati sembari makan bakso sambil terkekek-kekek.
Best Lines:
Theatre Manager: Say Mr. Detective, before you clean up any mysteries, clean up this theater!
After Watch, I Listen:
The Beatles : Day In The Life