Tags
Maklum ya kalau sebagian sama dengan daftar Warning Magazine
10. Jamie T – Tricks
Mendapat julukan dilematis “One Man Arctic Monkeys”, Jamie T memang bernyanyi dan meramu komposisi menyerupai apa yang sudah dilakukan oleh Alex Turner—dan yang baru akan dilakukan jika kelak ego Turner menendang tiga rekannya. (Sedikit info pendukung cocoklogi, Jamie T lahir hanya selisih dua hari setelah Turner) Arahkan sorotan terbaik ke tiga lagu pertama di Tricks: “Tinfoil Boy” yang menghadirkan chorus gilang-gemilang, rap ngebut ala Outkast pada ”Drone Strike”, serta ”Power Over Men” yang juga bisa dipertanggungjawabkan oleh Kasabian. Dan karena Arctic Monkeys pun tak selalu merilis album bagus, agaknya tak ada yang dirugikan jika kita bilang Tricks adalah Suck It And See (2011) yang lebih berwarna dan berdaya tarik.
9. Deftones – Gore
Apa yang diperjuangkan Deftones akhirnya membuahkan sesuatu yang bisa dipetik. “The Radiohead of metal” ini sukses mengulur-ulur usia pesona mereka di saat band-band alternative metal angkatannya kian tak jelas juntrungannya. Perjuangan yang dimaksud adalah dedikasi terhadap upaya eksperimentasi dan progresivitas dalam tiap materi rilisannya. Gore adalah salah satu yang terbaik dengan senyawa cadas yang melayang dalam layer-layer shoegaze. “Phantom Bride” merupakan jagoan sekaligus mungkin lagu metal paling aksesibel di tahun ini. Peletakannya di bagian menjelang akhir tracklist juga menciptakan alur mood album yang sempurna. Konon, penggarapan album ini sedikit tergopoh-gapah diiringi friksi antar personil. Mungkin justru itu salah satu faktor yang membuat gejolak emosi musik Deftones bisa mencapai level serisau ini.
8. Drive-By Truckers – Gore
Selain mengusung titel album yang cocok sebagai label musisi pengiring kampanye Donald Trump, unit country rock ini juga berasal dari Alabama, teritori militan dari pendukung Partai Republik, superioritas kulit putih, dan presiden anyar Amerika Serikat tersebut. Namun, Drive-By Truckers datang membelot bermodal hipotesis bahwa menjadi miskin itu bencana, namun menjadi kulit hitam berarti sedikit lebih buruk. Patterson Hood (vokal) bicara, “Kami sebagai kulit putih ragu untuk bicara tentang perbudakan dan isu rasial karena kami pihak antagonis, maka kami berpura-pura tidak terjadi apa-apa, sampai sesuatu terjadi tepat di depan wajah. Saya merasa jika memulai sebuah dialog akan lebih baik daripada tidak sama sekali, walau dialog itu sedikit panas dan tidak akan mengenakkan.” Persis, American Band memanaskan dan menciptakan hawa tidak enak lewat lirik-lirik lugas anti-segregasi (yang berarti anti-Trump… dan anti Alabama?). Mereka mengutuk bendera konfederasi sebagai simbol rasisme pada “Darkened Flags On The Cusp of Dawn”, dan berlagu “If you say it wasn’t racial / When they shot him in his tracks / Well I guess that means that you ain’t black” pada “What It Means”. Kendati gugur secara politis, namun American Band terbukti lebih nyaring daripada sejumlah musik kampanye Hillary Clinton.
7. Kanye West – The Life of Pablo
Sampai di album ketujuhnya, Kanye West belum sempat merilis album dengan mutu biasa-biasa saja, (oke, kecuali kepicikan lirik-lirik Watch The Trone. Pengaruh buruk Jay-Z!). Apalagi untuk album yang memang tidak digarap dengan biasa ini. The Life of Pablo diproduksi dengan sistem “rilis dan revisi” (jika istilah ini pernah ada) dengan 18 lagu yang tidak terdengar kohesif satu sama lain. Bahkan kita mungkin bisa mengatur ulang sendiri urutan track-nya agar terdengar lebih rapi. Namun, tema besar The Life of Pablo memang perihal proses serta instabilitas. Dan di antara kekacau-balauannya, reputasi West sebagai rapper dengan kemampuan meramu aransemen yang belum ada bandingannya makin menonjol. Tiap lagu punya ornamentasi menawan yang memungkinkannya untuk berdiri sendiri, termasuk melankolia apik: “Real Friends” dan “Wolves”. Dan tepat di tengah kekacau-balauannya lagi, terselip satu nomor freestyle bertajuk “I Love Kanye”: “See, I invented Kanye, it wasn’t any Kanyes / And now I look and look around and there’s so many Kanyes / ….. / And I love you like Kanye loves Kanye” Kejemawaannya masih berstatus sah. Apapun yang ia buat, sulit untuk tidak mencintainya.
6. Car Seat Headrest – Teens Of Denial
Sejatinya tak ada yang baru dari karakter musik yang dibawakan Teens of Denial. Kita belum terlalu lama kehilangan gaung indie rock merisaukan semacam The Libertines, The Strokes, atau juga intro “Vincent” yang mengingatkan pada “Marque Moon” dari Television. Tapi musik seperti ini memang rasanya tak boleh sekalipun absen, dan tahun ini Car Seat Headrest mewakilinya dengan sangat baik. Lirik-lirik resah besutan Will Toledo (vokal) merangkum optimisme dan pesimisme yang saling berunding dalam gaya tutur sempoyongan dan penuh metafora cerdas, seperti racaunya: “And then I saw Jesus/ And he said ‘Who are you to go against the word of my father? And Who are you? the scum of the earth’” dalam “(Joe Gets Kicked Out Of School For Using) Drugs With Friends (But Says This Isn’t A Problem)”. Jika sesuatu yang memabukkan belum mampu menjawab kebutuhan remaja gelisah, Teens of Denial bisa jadi pelarian kedua.
5. Nick Cave and the Bad Seeds – Skeleton Tree
Nick Cave biasa bicara tentang ajal. Namun, kali ini bukan imajinasinya yang memancingnya bicara, melainkan emosi. Lirik di album ini diubah dalam sesi rekaman pasca putranya tewas jatuh dari tebing. “All the things we love, we lose,” ucapnya dalam dengung noise yang getir di “Anthrocene”. Alasan Skeleton Tree menjadi album duka yang luar biasa adalah karena gelegak nestapa yang siap tertumpah tidak membengkalaikan sisi artistiknya, tapi justru berkelindan. Sejak “With my voice / I am calling you” melantun dari “Jesus Alone”, suara Cave yang menggigil terus muncul dalam ruang minimalis berlatarkan disonansi dan ambience yang garau, seakan ia melagukannya di hadapan makam yang berlumpur. Bahkan beberapa melodi vokal sengaja tidak selaras dengan time signature-nya. Kendati juga Cave memilih menggunakan alegori dibanding narasi dalam mengisahkan elegi-elegi itu, kita tetap mahfum benar seberapa berkabung suasana hatinya.
4. David Bowie – Blackstar
Blackstar mengangkasa di tangga lagu Inggris sebelum kabar duka Bowie diumumkan. Artinya, bukan semata momentum kehilangan yang membuat album ini begitu dirayakan tahun ini. Seakan mendamba keabadian, ada unsur klasik sekaligus futuristik di dalamnya. Komposisi art rock yang dipengaruhi oleh album terbaik tahun lalu, To Pimp a Butterfly dari Kendrick Lamar. Beberapa legenda hidup mengalami demistifikasi sosok dan karya yang dilucuti usia (sebut saja Robert Plant), tapi Bowie adalah lain. Dahulu, ia menguasai dunia dengan undangan memasuki dimensi-dimensi terasingnya, dan kini ia meninggalkan kita semua dengan tinggalan yang tetap mirakel. Bahkan di tiap ketukan drum di Blackstar, terdapat atmosfer elusif yang membuat kita merasa makin tersesat. Kian kemari tanpa ujung, lagi cahaya.
3. Bon Iver – 22, A Million
Suara-suara itu menyerupai nyala api yang bergelayut di atas lilin, berjuang melawan angin untuk tetap hidup. Meredup, menerang, Kadang terasa menjauh, mendekat. Bon Iver bukan menggunakan mesin untuk menghidupkan musiknya, melainkan malah menggunakan musiknya untuk memberikan kehidupan pada mesin. Dalam 22, A Million, kita seakan bisa mendengar robot yang bernafas, bahkan mungkin menangis di “29 # Strafford APTS” atau menggeligis di “21 M♢♢N WATER”. Ternyata kita bisa seintim itu dengan sampling, loops, autotune atau manipulasi-manipulasi lain. Seperti rapalan lirik Justin Vernon (vokal) yang acap mengarungi ketidaktahuan atas apa yang akan datang, perkawinan folk yang organik dengan perangkat keras-perangkat lunak ini pun adalah pertanyaan untuk masa depan. Seberapa jauh lagi telusur artistik bisa memanusiakan musik elektronik?
2. Beyonce – Lemonade
Beyonce tidak lagi hanya melibatkan setimbun elemen musik, namun juga kehidupan pribadinya dalam pendekatan eksperimen di album teranyarnya. “You can taste the dishonesty, it’s all over your breath”, lantunnya pilu membuka Lemonade. Jay-Z selingkuh dengan oknum yang disebut dengan nama samaran “Becky with the good hair“, dan Beyonce menyanyikan semuanya secara cukup detail sebagai reportase maupun curahan emosi. Nomor “Hold Up” sukses menggunakan interpolasi chorus Yeah Yeah Yeahs, “They don’t love you like i love you” untuk membahasakan perasaan di fase ternaifnya. Tak ada ampun bagi Jay-Z, “Who the fuck do you think I am? / You ain’t married to no average bitch boy…… And keep your money, I’ve got my own” dari “Don’t Hurt yourself” berkembang hingga “Me and my baby we gone be alright / We gon’ live a good life / Big homie better grow up” dari “Sorry” sebagai puncak paruh awal album ini yang jika dilakukan oleh musisi Indonesia mungkin akan jadi makanan empuk Kapanlagi.com atau akun Lambeturah. Memang tidak ada single yang terbilang sukses besar, “Formation” mentok hanya bercokol di 10 besar Billboard 100. Lemonade adalah terobosan, sebuah album pop arus utama yang tidak cocok didengar terpisah per lagu (kecuali “Formation” itu sendiri). “All Night” misalnya, hanya akan membuat hati berderai-derai jika didengarkan tepat setelah 10 lagu sebelumnya. Selebritas Beyonce (dan Jay-Z) adalah sebuah trofi kemenangan industri, dan Lemonade berhasil mereproduksinya menjadi karya yang juga menang secara artistik. Baik dalam perpektif seni paling adiluhung atau komodifikasi paling jahat, Lemonade adalah inovasi yang cemerlang.
1. White Lung – Paradise
Cuma butuh 13 detik pertama untuk menumbuhkan prasangka bahwa Paradise akan jadi album terhebat tahun ini. “Dead Weight” menubruk gendang telinga dengan dahsyat, sebuah peringatan bahwa melakukan aktivitas lain pada 28 menit ke depan hanya akan berakhir dengan kacau balau. Hampir seluruh lagu di Paradise seperti rudal yang melesat dari jet-jet pembunuh massal. Unsur melodik menjadi pembeda utama dibanding tiga album pertama unit punk rock asal Kanada ini. Jelas, melodik yang ini tak terasosiasi dengan istilah lemah apapun. Laksana membungkus tornado dengan angin pusar. Punk rock megah tanpa perlu didukung iringan opera ala American Idiot atau 21st Century Breakdown. Jika Anda masih bebal, silahkan hadapi Mish-Way Barber (vokal): “Ada sikap sangat bodoh yang hanya dimiliki oleh para penganut punk, karena entah bagaimana menjadi seorang penulis lagu yang lebih baik malah dianggap tidak keren.” Sikap alotnya juga terukur dari lirik-lirik yang sengit namun genial. Feminis juga perlu cinta! “Kiss Me When I Bleed” berkisah tentang wanita kaya yang jatuh cinta dengan tukang sampah, pahit tapi mencecar (“I will give birth in a trailer / Huffing the gas in the air / Baby is born in molasses / Like I would even care”). Bersamaan dengan semangat feminisme yang makin dirayakan, suara-suara perempuan telah banyak mengokupasi ranah music rock hari ini seperti Warpaint, St. Vincent, atau Courtney Barnett. Dan Paradise membuat fenomena itu berdengung lebih ribut dari sebelumnya. Valid, 13 detik yang paling bisa dipercaya tahun ini.