10. Bob Dylan – I’ve Made Up My Mind to Giveup Myself to You
Rough and Rowdy Ways diyakini sebagai salah satu album terbaik Bob Dylan dalam beberapa puluh tahun terakhir. Pemenang Nobel ini menyuguhkan suasana temaram, seperti dalam tiga album sebelumnya yang berisi kover lagu-lagu tradisional Amerika. Namun, kali ini Dylan punya kata-kata sendiri. Salah satunya, nomor “I’ve Made Up My Mind to Giveup Myself to You” melantunkan tentang seseorang yang sudah puas melayari hidup, lalu akhirnya memutuskan untuk menyerahkan diri pada sosok “You”. Lebih banyak yang menganggap lagu ini bersifat spiritual dibanding romansa. “I travelled the long road of despair / I met no other traveller there / A lot of people gone, a lot of people I knew / I’ve made up my mind to give myself to you”.
Lagunya terdengar tua, patut diakui. Tapi alangkah langkanya ada musisi terhitung uzur menciptakan sesuatu yang masih bisa kita nikmati.
9. U.S Girls – 4 American Dollars
“You can do a lot with four American dollars”, ini ungkapan satir semacam “UMR Jogja itu sebenarnya sudah cukup buat hidup, asal hemat”. Ada juga “You gotta have boots / If you wanna lift those bootstraps,” parafrasa dari kutipan Martin Luther King, seakan-akan setiap orang punya privilese dan modal kapital yang sama untuk berkompetisi dalam ekonomi. Lagu pop yang meliak-liuk manja dengan komposisi 70-an ini tak disangka-sangka punya wacana yang subversif.
8. The Weekend – Blinding Lights
Masih okelah album After Hours tidak masuk nominasi Grammy, tapi komitmen Grammy untuk menjadi wajah industri jadi gagap ketika “Blinding Light”, lagu paling laris di Spotify tahun 2020 tidak mendapat tempat. Toh, secara kualitas, saya bisa pinjam mulut penata rekam kenamaan, Serben Ghenea (yang langganan menang Grammy~): “Lagu ini mempertemukan dua dunia untuk membuat sesuatu yang baru yang cocok untuk hari ini. Orang-orang lawas menyukainya karena ini nostalgia, dan anak-anak zaman sekarang menyukainya karena ini hal baru yang belum pernah mereka dengar sebelumnya.”
7. Rina Sawayama – Bad Friend
Lagu ini ditulis Sawayama setelah ia melihat sahabat lamanya memiliki momongan di media sosial. “Bad Friend” mengisahkan sebauh persahabatan yang memudar dalam sebuah perjalanan ke Tokyo. Unsur nu metal yang banyak disoroti di album SAWAYAMA tak dihadirkan di lagu ini. Sawayama lebih menampilkan setelan aransemen dan vokal ala Christina Aguilera dan Madonna. Hasilnya? Mungkin Sawayama adalah seorang kawan yang buruk, tapi pastilah ia penyanyi yang bagus.
6. Haim – Summer Girl
“Aku ingin menjadi harapan ketika ia merasa tak punya harapan”, ujar Danielle (vokal, drum), tentang kekasihnya yang mendapat diagnosis sebagai pengidap kanker. Maka ia menulis lagu ini. Bagian saksofonnya diadaptasi dari lagu “Sing Me a Song That I Know” kepunyaan Blodwyn Pig. Sentuhan jazzy membuat “Summer Girl“ menjadi lain dari lagu-lagu Haim biasanya, ditambah senandung “doo-doo” yang terang-terangan dicuri dari lagu Lou Reed, “Walk On The Wild Side”.
Jarang-jarang ada lagu yang bisa memberikan energi positif sekaligus bersifat meditatif.
5. Caribou – You & I
Yang menjadi perhatian dari album baru Caribou, Suddenly adalah eksplorasi terniatnya di wilayah tata vokal. Dalam “You & I”, kita bisa dengar sendiri keseriusannya mengubek-ubek manipulasi vokal dalam bangunan elektro dan new wave yang memikat. Lagu ini penuh warna, bahkan terlalu kontras dan paradoksal, tapi sumpah, langsung melekat di kepala saya sekali dengar.
4. Phoebe Bridgers – Kyoto
Album Punisher banyak dipuji sebagai karya musik terbaik tahun ini yang membicarakan persoalan mental. Bridgers dinilai sangat terbuka dalam liriknya, terutama seputar pengalamannya bertahan dengan Dissociative Identity Disorder, umumnya dikenal sebagai gangguan kepribadian ganda. “Kyoto” adalah salah satu nomornya, menggambarkan kesulitannya berkoneksi dengan lingkungan sekitarnya. Dituturkan detail dalam narasi sebuah lawatan bersama sang ayah ke Kyoto, kita bisa membaca gagapnya narator mengambil kuasa atas dirinya sendiri.
“I’m gonna kill you / If you don’t beat me to it / Dreaming through Tokyo skies /I wanted to see the world /Then I flew over the ocean /And I changed my mind (Ooh)”, disajikan dengan musik upbeat yang langka di Punisher. Nuansa lagunya riang dan ekspresif, tapi ternyata bisa tetap terasa depresif, bahkan seperti mati rasa.
3. Soccer Mommy – Circle The Drain
Bersama “Kyoto” dari Phoebe Bridgers, lagu ini begitu kuat menuturkan pengalaman berjibaku dengan isu mental. Bila “Kyoto” terdengar seperti curhatan blak-blakan kepada kawan terdekat, maka “Circle The Drain” seperti curhatan setengah hati. Bercerita tanpa terlalu percaya bahwa sang pendengar akan memahami apa yang ia rasakan. Sebetulnya, ia hanya ingin bicara.
Lagu ini tak menawarkan satu dimensi emosi. Berlatar komposisi rock 90-an ala The Smashing Pumpkins yang lumayan kasar, ia bisa menggambarkan kondisi yang selalu sulit dipahami oleh mereka yang tak seasam garam: “Things feel that low sometimes / Even when everything is fine”
Dunia berjalan sebagaimana mestinya, tapi kecamuk itu tak mau henti.
2. Taylor Swift – Exile (feat Bon Iver)
Salah satu lagu favorit saya dari Taylor Swift adalah “Safe and Sound”, soundtrack untuk film The Hunger Games. Balada folk yang menghantui. Membabarkan karakter musik itu menjadi sebuah album bernama Folklore menimbulkan harapan besar untuk terciptanya lagi lagu seapik itu.
Ekspektasinya lunas. “Exile” menawarkan komposisi yang mirip. Tak tanggung-tanggung, berkolaborasi dengan sosok superior dalam ranah musik sejenis itu, Bon Iver (Justin Vernon). Keduanya berhasil menciptakan lanskap sinematik yang kuat dalam musik dan liriknya. Seakan lagu ini punya hawa dan panorama.
Kemampuan baru Swift mengelola empati dalam narasi lirik di Folklore telah sahih di “Exile”. Dikisahkan sepasang mantan kekasih kembali bersua, lantas saling mengorek luka, sambil berdalih atas konflik yang memisahkan mereka. Vernon dan Swift saling mengalamatkan liriknya satu sama lain dengan nada argumentatif, berbalas saut, bertukar larik dan emosi.
Meski puitis, tapi isi dialog dari lirik itu rasional dan terdengar hidup. Mereka dinamis sekaligus harmonis. Melihat orang bertengkar tak pernah seindah ini.
1.Christine and The Queens – People, I’ve Been Sad
Bila dunia punya wajah, pasti rautnya tak lagi tersenyum. Tahun 2020, semuanya berpilu. Semua juga tahu bahwa orang lain punya masalah, tanpa harus saling mengatakan, ”hai warga, aku sedang bersedih”.
Logikanya begitu. tapi faktanya “mengumumkan kesedihan personal” dilakukan oleh setiap orang, termasuk aku dan kamu, termasuk ngetwit dengan kutipan gundah atau mengunggah stories hitam kosong.
Christine and The Queens, dipanggil Chris, adalah salah satu seniman jenius dari Perancis. Dan ia turut melakukan tindakan tak terpuji itu: mengabarkan pada dunia, bahwa dirinya sedang sedih.
Chris menggarap lagu yang bisa menampung kolektivitas kemurungan insan-insan karantina. Betapa pandemi membuat kebersamaan bersifat elusif, ketika kita berupaya mencari kawan dalam kesendirian itu sendiri. Dari layar dan linimasa yang disimak sambil rebahan sebatang kara.
Maka hadirlah “People, I’ve Been Sad”. Sebuah komposisi art pop yang janggal dan canggung, tapi seperti mampu mempersatukan. Sesuatu yang rasanya bakal dilakukan oleh David Bowie bila tidak keduluan ajal.
“If you (You) / Disappear, then I’m (Higher) / Disappearing too / You know the feeling (You know the feeling) / You know the feeling”
“Kupikir koneksi itu hadir justru dari rasa kesepian yang saling berkumpul,” ujar Chris. Bukankah ini salah satu bentuk distopia? “Bukan kamu saja yang punya masalah,” adalah kalimat puk puk yang paling acap terlontar dalam masyarakat kita. Padahal, faktanya “orang lain punya masalah” semestinya pun adalah masalah. “People, I’ve Been Sad” mungkin bisa jadi semacam pelukan hangat, tapi ia tak luput menangkap sisi gelap masyarakat itu.
“People, I’ve Been Sad” dengan premis sederhana itu bisa merespons banyak hal yang menjulang di tahun ini: kesepian, isu mental, kehilangan, spiritual, dll. Musik memang sudah saatnya punya bentuk baru untuk mendeklarasikan duka.