Tags

, , , ,

Irma la Douce (1963) - IMDb

Billy Wilder

1963

Romance Comedy

Film bertemakan kehidupan prostitusi itu sudah jamak, termasuk sebelum tahun 1963. Kebanyakan, tokoh utamanya ya pekerja seks itu sendiri. Dan jika genre-nya romantis, biasanya isinya tentang si tokoh yang tengah jatuh cinta atau dicintai seseorang yang berusaha mengeluarkannya dari kubang dunia pelacuran.

Jadi, Irma La Douce tidak menghadirkan kebaruan secara tema, meski topik seperti ini tentu menyimpan keseksian kontroversi sampai kapanpun. Tapi, saya merasa yang satu ini film dengan plot “kesengsem sama kupu-kupu malam” yang paling cantik bermain di wilayah romantic comedy.

Irma La Douce (Shirley MacLaine), seorang pekerja seks komersial yang “buka lapak” di distrik lampu merah Paris. Film dibuka menggambarkan kawasan itu, dipenuhi orang-orang yang mendambakan malam kasih sayang dari perempuan bayaran. Kalau kata band Silampukau di lirik “Dolly”, di sanalah tempat mentari sengaja ditunda, di mana cinta tak musti merana dan banyak biaya.

Perempuan-perempuan ini diizinkan terus menjajakan dirinya karena para pejabat polisi sekitar menjalankan skema korup menerima suap dari industri ini. Yah, sama saja cara kerjanya dengan Sarkem, Saritem, Doli, dan lain-lain.

Lantas, Nester Patou (Jack Lemmon), seorang polisi lugu, baru saja ditempatkan Patroli di sana. Mulanya, ia berusaha menjadi pahlawan yang mendobrak kenormalan itu dengan sok-sokan melakukan penggebrekan, tapi malah berakhir dipecat. Ujung-ujungnya, ia justru berbalik menjadi germonya Irma.

Konflik dimulai setelah Nester betulan baper pada Irma. Ia menjadi cemburu pada tiap pelanggan lain yang menyewa jasa Irma.

Namanya cinta, Nestor lalu menyusun rencana aneh. Ia menyamar sebagai pria kaya, diberi nama “Lord X,” untuk mem-booking Irma di tiap Kamis dengan harga super mahal, supaya Irma tak perlu lagi menjajakan dirinya lagi di hari-hari lain.

Yang pertama saya suka dari Irma La Dolce, tentu saja kembalinya duet brilian Jack Lemmon dan Shirley MacLaine—setelah mahakarya The Apartment (1960).

Tokoh Irma dibentuk sangat bagus, seharusnya cukup ikonik (meski akhirnya kok ya tidak terlalu populer di jagat perfilman). Ia selalu mangkal di pinggir jalan, bersandar di dinding hotel Casanova, mengenakan legging, tanktop, dan bando berwarna hijau terang, menenteng seekor anjing poodle, dan merokok dengan gestur jemawa.

Yang paling saya suka, Wilder tak meromantisasi karakter Irma dengan membuatnya menjadi pelacur yang mengutuki nasib, merasa hina disentuh laki-laki tiap malam, dan lain-lain. Irma bersikap dingin dengan takdirnya, baginya ini tak beda dengan pekerjaan lain. Ia tidak digambarkan genit dan haus seks, serta juga tidak digambarkan merana.

“This is not just a job, it’s a profession,” ujarnya.

Sebagai orang yang sering mengantar teman ke prostitusi (ini terdengar seperti disclaimer yang buruk, tapi percayalah, plis)—saya punya wawasan kecil-kecilan terhadap dunia ini. Dan memang bagi orang awam—termasuk saya di awal-awal punya hobi mengantar teman ini—ada dorongan untuk memandang iba para pekerja seks ini.

Tapi semakin ke sini, saya merasa mereka ya orang cari duit yang biasa-biasa saja. Menawarkan jasanya sama seperti mba-mba guru bimbel, makeup artist, instruktur yoga, dan lain-lain.

Saya bahkan pernah menghadapi mba-mba #AvailJakarta (!) yang bisa dibilang cukup mengingatkan pada karakter Irma. Datang menyambut kami dengan rokok terselip di bibirnya, menuntun masuk ke kamar dengan enteng, mengajak merokok sebat dulu sambil bersila di lantai, lalu bertanya, “kalian pasti mengira saya sama dengan [mereka] yang di [lantai] bawah ya?”

Ia merujuk ke PSK-PSK lain yang sudah lebih berumur, berkeliaran di sekitar apartemen. Secara fisik, mereka memang lebih gemuk, kulitnya sudah mengendur. Yah, mungkin mereka punya segmennya sendiri. Kami memang harus melewati tongkrongan itu dulu, dan kala itu saya pun sempat berpikir pesimis, “duh, salah pilih nih”. Untung saya cuma mengantar.

“Beda, aku lebih highclass,” katanya, sambil mengembuskan asap rokok secara pongah. Anjay. Keren kamu, Mbak.

Agar bisa memerankan Irma sebaik mungkin, Shirley MacLaine pergi ke Paris untuk melihat seperti apa realitas pekerja seks di sana. Para pekerja seks yang jadi objek risetnya bersemangat menceritakan diri sangat bersedia menjawab pertanyaan apa pun. MacLaine awalnya malah yang merasa tidak nyaman, ia menolak dengan sopan tawaran menyaksikan langsung bagaimana mereka “melayani” pelanggannya (baca: ngewe). Mereka kemudian marah, memaksa MacLaine mengintip salah satu pelanggan mingguan mereka sedang di-gangbang bersama tiga gadis melalui jendela kecil di pintu hotel. Lumayan, bokep gratis.

Tadinya sih, Wilder menginginkan Marilyn Monroe yang mengisi peran Irma, mengulang kesuksesan Some Like It Hot (1959). Tapi kita tahu, Monroe keburu meninggal. Begitu juga Wilder menginginkan Charles Laughton berperan sebagai Moustache—pelayan di bar seberang hotel Casanova—mengulang kesuksesan Witness for Prosecution (1957). Tapi sama, ia keburu meninggal sebelum syuting dimulai. Kutukan kayaknya ajakan Wilder ini.

TV-Tipp: Das Mädchen Irma la Douce | Filmdienst

Banyak orang percaya bahwa perempuan mengambil pekerjaan sebagai pelacur karena titik rendah dalam hidup. Situasi buruk menjungkalkan mereka ke dalam industri gongli itu. Meskipun narasi ini benar untuk beberapa kasus, prostitusi pada dasarnya memang menawarkan dukungan keuangan cukup besar bagi perempuan.

Alasan mengapa perempuan bekerja sebagai pekerja seks adalah sesuatu yang menarik diperbincangkan banyak orang – yang juga dieksplorasi dalam Irma La Douce. Adegan pembuka Irma La Douce sangat menarik. Digambarkan dengan cepat, setiap pelanggan Irma bertanya kurang lebih, “Kenapa akhirnya kamu jatuh ke dunia seperti ini?” Ini pertanyaan yang nyaris selalu jadi rasa penasaran bagi pelanggan prostitusi, kadang-kadang berhasil ditanyakan, kadang tidak.

Saya juga tentu memendam pertanyaan yang sama tiap mengantar teman. Tapi tidak pernah pertanyaan itu terlontar. Takut menyinggung, atau takut dibalas pakai dalil-dalil filsafatnya Schopenhauer.

Lucunya, Irma justru memanfaatkan pertanyaan seperti ini dari pelanggannya. Ia menjual kisah-kisah sedih palsu untuk menarik para pelanggan memberikan uang lebih. Mulai dari terpaksa menjadi pelacur karena “tiga jarinya patah, dan pupus mimpinya sebagai pianis profesional,”, “merupakan seorang putri misionaris di Kongo,”, atau “anak panti asuhan yang jadi korban d-day perang dunia.”

Tentu saja ketiga cerita itu berbeda, masing-masing bohong, dan lebih menyedihkan daripada yang berikutnya untuk menghasilkan lebih banyak uang dari pelanggannya. Itu membuat pelanggannya merasa diberdayakan atau bersimpati.

Perempuan memainkan peran berat dalam masyarakat Amerika abad ke-19. Mereka diharapkan menjadi mercusuar kebajikan, memastikan tiap suami dan anak-anak menjalani kehidupan yang lurus. Pekerja seks komersial jelas tidak ideal untuk itu. Organisasi reformasi seperti Magdalen Society dan Rosine Association berusaha untuk mereformasi pelacur. Mereka mengajari keterampilan yang dapat digunakan untuk mencapai pekerjaan “tepat moral” dan menjadi wanita yang terhormat.

Dalam Irma La Douce, Irma memberi tahu Nestor bahwa 9 dari 10 pria pernah mencoba mereformasinya, atau mengembalikannya ke jalan pertobatan. Kisah sedih dan kepribadian Irma yang manis membuat para pria melihat “potensi”-nya sebagai wanita berbudi luhur yang telah jatuh pada masa-masa sulit. Para pria merasa terpantik untuk menjadi penyelamatnya.

Dalam sudut pandang tradisional, laki-laki adalah pencari nafkah dan perempuan adalah penjaga rumah tangga. Ini terbalik di dunia prostitusi. Wanita adalah pencari nafkah – menghasilkan uang untuk pria mereka atau menghidupi diri mereka sendiri secara mandiri. Terminologi seperti yang kita kenal sekarang sebagai “germo” mulai digunakan pada tahun 1830-an, ketika laki-laki dipekerjakan sebagai pengawal pelacur dan rumah bordil.

Terbaliknya peran ekonomi tradisional antara gender laki-laki dan perempuan juga ada dalam film tersebut. Dalam sebuah adegan, Nestor sedang mencoba pakaian resmi untuk mencari pekerjaan tetap. Irma yang mendengar rencana itu malah menangis, “Apakah kamu mencoba membuatku merasa murahan? Apa yang akan dipikirkan gadis-gadis lain jika aku tidak mampu menghidupi priaku?”

Irma lalu berjanji, akan bekerja paling keras untuk Nestor. Mendandaninya lebih baik daripada pria lain dan memastikan bahwa kantungnya selalu terisi uang. Punya germo yang bekerja merupakan penghinaan bagi Irma. Ini tentu terbalik dari konstruksi gender hari ini, kesuksesan laki-laki terkait dengan kemampuannya untuk mendukung pasangan perempuannya.

Konflik utama sepanjang film ini bermula dari kecemburuan Nestor. Pada relasi internal dalam prostitusi, banyak pekerja seks komersial memang mengharapkan pelanggan tertentu menjadi “setengah setia” kepada mereka. Seperti Irma yang mengharapkan kesetiaan dari Nestor, sementara tiap malam ia sendiri harus tidur dengan beragam pria lain. Irma membela pekerjaannya, terus-menerus menegaskan bahwa tidur dengan laki-laki adalah kewajiban profesionalnya. Bagi Irma, profesinya tidak memengaruhi kesetiaannya dengan Nestor.

Perempuan meninggalkan prostitusi karena berbagai alasan. Bisa pertobatan religius, atau kebanyakan memang karena sudah menikah dan memulai keluarga. Dalam Irma La Douce, Irma menghakimi ibunya karena pernah meninggalkan prostitusi demi seorang pria. Sementara Irma sepertinya punya keyakinan dengan sikap tidak menginginkan sebuah keluarga. Pekerjaan dan karier baginya lebih dari itu. Seorang pria bukan mesiah yang akan datang dan membawanya pergi.

Irma menolak upaya reformasi apa pun. Hidup tidaklah mesti jatuh cinta, hamil, dan dilamar.

Dosakah yang dia kerjakan?

Sucikah mereka yang datang?

Kadang dia tersenyum dalam tangis

Kadang dia menangis di dalam senyuman

Wo-oh, apa yang terjadi, terjadilah

Sementara bagaimana dengan tokoh Nestor? Film ini berhasil menegaskan julukan The Guardian kepada Lemmon sebagai “The Most Succesful tragic-comedian on his age”. Memang ada rasa yang sama melihat duet ini di The Apartment. Meski perannya berubah, tapi tragisnya karakter Nestor dalam dinamikanya mencintai Irma begitu mirip dengan tokoh Bud Baxter dan Fran Kubelik.

Dalam The Apartment, Bud (Lemmon) menyalurkan ketulusan hatinya dengan membantu karakter Kubelik (MacLaine) memperbaiki hubungan romantikanya dengan bosnya. Sementara pada Irma La Douce, tokoh Irma begitu jatuh hati pada kesehariannya mencari uang, mencapai kemandirian ekonominya. Nestor hanya bisa mendukung dari belakang. Pengorbanannya selalu membuat trenyuh, termasuk banting tulang menjadi kuli dari pagi, lalu menyamar di malam hari menjadi Mr X.

Lema “kamu terlalu baik buat aku” itu cocok sekali untuk tokoh-tokoh yang diperankan Lemmon.

Pertanyaannya, apakah mungkin jatuh cinta pada seorang pekerja seks komersial?

Sangat mungkin. Saya punya seorang teman yang mengaku baper pada penyedia jasa cuddle care, bahkan ia sempat berencana serius mencarikannya profesi lain. Klise? Bisa jadi. Tapi salah besar, bila mengira itu hanya ada di film dan novel-novel.

Setahun kemudian, teman saya ini mengaku sampai berpacaran dengan seorang pemandu karaoke yang ditemuinya di kawasan plus-plus. Hidup ini memang menarik, memang romantic comedy.

But that’s another story…

Best Lines:

Moustache: Shows you the kind of world we live in. Love is illegal – but not hate. That you can do anywhere, anytime, to anybody. But if you want a little warmth, a little tenderness, a shoulder to cry on, a smile to cuddle up with, you have to hide in dark corners, like a criminal. Pfui.

After Watch, I Listen: The Beatles – Ticket To Ride