Le Samourai – Definisi Film Keren

Tags

, ,

Jean-Pierre Melville

1967

Crime

Jadi, seperti apa film yang keren?

Dulu, film yang secara spesifik cocok dilabeli diksi “keren”, di kepala saya ya Fight Club (1999). Provokatif, bawa ide-ide progresif, dan lakik.

Tapi itu kan penjelasan yang buruk. Setelah menonton Le Samourai, referensi saya mulai bertambah untuk mengelaborasikan apa itu “keren”.

Le Samourai merupakan salah satu contoh film yang menonjolkan style over substance—gaya bercerita lebih penting dibanding isi cerita—tapi ketika detail-detailnya diseriusi, jadinya tetap memukau.

Ujung-ujungnya, keren.

Film ini ceritanya simpel, apalagi untuk ukuran film noir atau crime yang biasanya rumit. Plotnya bisa dipetakan seperti ini saja:

1) Jef Costello (Alain Delon), seorang pembunuh bayaran, dapat klien yang minta ia membunuh seorang pemilik klub malam.

2) Jef melakukan tugasnya. Satu nyawa melayang.

3) Pembunuhan diusut, Jef dicurigai polisi.

4) Karena takut ketahuan, klien tadi menyewa perantara untuk membunuh Jef. Namun, tidak berhasil.

5) Jef balas menyelidiki kliennya

Gaya film ini mengingatkan saya pada film Drive (2011) yang dibintangi Ryan Gosling. Itu film keren juga. Khidmat dan muram. Si tokoh utama—tanpa nama—merupakan tukang kemudi bayaran yang disewa untuk membantu sebuah aksi perampokan. Ia digambarkan sebagai sosok introver, penyendiri, tanpa kawan. Maka, ketika ia kemudian dikhianati kliennya, seakan-akan seluruh dunia mengejarnya. Me versus the world.

Potret itu dalam Le Samourai sudah dipresentasikan sangat apik sejak adegan-adegan pertama. Le Samourai dibuka dengan kalimat yang dikutip dari Kitab Bushido – kitabnya para prajurit Jepang: “Tidak ada kesendirian yang lebih daripada yang dialami samurai, kecuali oleh seekor harimau di hutan.”

Jef berbaring di tempat tidur sembari merokok—betapa  French New Wave-nya. Meski format gambarnya berwarna, tapi ronanya sangat redup sehingga nyaris seperti film hitam-putih.

Apakah dia sedang berkonsentrasi, bermeditasi, menunggu, atau mungkin hanya membuang-buang waktu? Dua jendela vertikal memungkinkan cahaya menembus ruangan yang gelap, menciptakan glasir di atas asap yang melayang-layang.

Jef lalu duduk. Seekor burung kenari kecil di mengepak-epakkan sayapnya dalam sangkar, menyiratkan emosi yang terkurung. Jef meraih mantel parit dan fedoranya, menerjang jalanan sore hari, hujan turun deras. Semua ornamen noir terungkap dengan lembut dalam pembukaan yang hening.

Berdiri di jalan setapak, ia menunggu sebuah mobil diparkir. Pengemudinya turun dari mobil dan pergi. Melirik diam-diam, Jef perlahan memasuki mobil, mengeluarkan banyak kunci dari mantelnya, meletakkannya di kursi samping. Ia mengambil satu per satu kunci, mencoba mana yang bisa membuat mobil itu menyala. Pekerjaan yang pasti memakan waktu, tetapi wajah Jef sama sekali tidak terlihat panik.

Keheningan awal di Le Samourai menyandingkan visual ala noir dengan karya-karya french new wave yang lebih “cerewet” seperti Breathless (Jean Renoir, 1960) dan Jules and Jim (Francois Traufaut, 1962).

Jef lalu parkir di sebuah garasi rahasia. Seorang montir mengganti pelat nomornya. Mereka bertukar catatan, Jef meminta pistol. Ini seperti bagian dari games Grand Theft Auto, masuk ke sebuah lorong parkir untuk mengubah identitas mobil—biasanya ganti warna cat—supaya tidak ketahuan polisi.

Jef lalu mengetuk pintu apartemen seorang gadis muda (Nathalie Delon) yang sedang tidur. Gadis itu bangun, menjawab dari balik pintu yang masih terkunci, “Jef?”.

Dibuka dengan sunyi dan lamban. Dialog pertama, “Jef?” tadi baru muncul pada menit 9.58. Pembukaan ini menggarisbawahi pendekatan minimalis Jean-Pierre Melville dalam mendongeng dengan kekuatan keheningan.

Ada satu komplain. Untuk premis yang sebegitu menarik, film Le Samourai dinilai terlalu dingin.

Namun, jawab Melville: “Saya suka mengambil risiko. Film saya tidak pernah mengikuti tren saat ini.”

Melville mahsyur karena film noir minimalisnya, seperti Le Doulos (1962), Le Samouraï (1967) dan Le Cercle rouge (1970). Dipengaruhi oleh Hollywood, terutama film-film gangster 1930-an dan 1940-an, ia menggunakan aksesori seperti senjata, jas parit, dan topi fedora, untuk membentuk tampilan yang khas dalam film-filmnya.

Tetapi, kendati film-film Hollywood adalah modelnya, karyanya tetap ala Prancis. Faktanya, banyak yang mengira Melville dipengaruhi oleh Robert Bresson. Melville malah mengira Bresson yang dipengaruhi olehnya. Banyak juga yang sepakat, Melville adalah nenek moyang sebenarnya dari french new wave.

Melville membuat serangkaian film yang tidak seperti film orang lain. Le Samourai merupakan salah satu yang terbaik, dapat dianggap sebagai salah satu film thriller psikologis terbesar.

Malah, bisa dikatakan, Le Samourai adalah filmnya sutradara.

Heh, maksudnya?

Iya, saya ngerti setiap film memang otoritas kekaryaan terbesarnya ada pada genggaman sutradaranya. Tapi, dalam Le Samourai, bekas tangan kerja-kerja sutradara jauh lebih kelihatan dibanding aspek teknis lainnya.

Melville tahu persis bagaimana membingkai shot. Melville juga memilih untuk tidak menggunakan skor film terlalu banyak, lebih mengandalkan kesunyian dan efek suara tipis-tipis yang memberi nuansa meresahkan. Ia pun dikenal juara untuk urusan pengeditan. Dalam sebuah wawancara, Melville mengklaim penyuntingan adalah bagian favoritnya dalam proses pembuatan film—selain menulis.

Anda tidak bisa menjadi keren dengan keinginan untuk menjadi keren. Seperti yang dikemukakan Tom Cochrane dalam The Aesthetic Value of the World, “keren” dulunya adalah sejenis properti estetika aristocrat, terasosiasi dengan kebangsawanan. Sangat sulit untuk mencapai coolness, kombinasi dari kesederhanaan dan keanggunan. Tidak peduli seberapa keras mereka berusaha, kebanyakan orang tidaklah keren.

Jadi, bagaimana Le Samourai mencapai estetika “keren”?

Penulis fiksi di berbagai lokakarya biasanya diajari menciptakan karakter yang dilengkapi cerita latar, motivasi, moralitas yang kuat. Kalian pasti mengira Le Samourai juga membutuhkan itu, terutama karena ending-nya Jef mati secara dramatis. Untuk membuat adegan itu terbayar, kita mungkin berpikir ceritanya membutuhkan banyak latar belakang tentang motif batin Jeff.

Namun, ternyata nihil. Tidak ada pengisahan latar belakang Jef Costello di Le Samourai. Paling-paling, kita hanya bisa menerka-nerka. Persiapannya yang metodis dan ritualistik untuk membunuh—pakai sarung tangan dan fedora—menunjukkan bahwa Jef pernah melakukan aksi-aksi semacam ini sebelumnya.

Melalui gerakan dan tindakannya, kita mempelajari sesuatu tentang karakter ini, tetapi kita tidak tahu motivasinya. Segalanya terungkap sangat lambat.

Adegan Jef bersama burung kenarinya, atau beberapa momen lainnya membuat kita bisa melihat sekilas kemanusiaan di balik penampilan Jef yang tanpa ekspresi. Ini cukup penting untuk mencapai estetika keren: adanya karakter yang tidak pernah gagal atau tidak pernah punya keterlibatan emosional apa pun dengan lingkungannya.

Saya menghafal banyak dialog yang menekankan bila Jeff mau membunuh hanya karena dibayar. Sangat dingin, sampai bikin menggigil:

Valérie: Why Jeff?

Jeff Costello: I’ve been paid to.

atau

Jeff Costello: Why did you say you didn’t recognize me?

Valérie: Why did you kill Martey?

Jeff Costello: I was told I’d be paid.

atau

Valérie: What did he do to you?

Jeff Costello: Nothing at all. I didn’t even know him. The first and last time I saw him was 24 hours ago.

atau

Martey, Nightclub Owner: Who are you?

Jeff Costello: Doesn’t matter.

Martey, Nightclub Owner: What do you want?

Jeff Costello: To kill you.

Dalam semesta neo-noir Le Samourai yang dibangun dengan hati-hati oleh Melville, para karakternya pun lebih suka merokok daripada bercakap-cakap. Inspirasi yang sangat Amerika pastinya.

Rupa fisik para aktor/aktris kian menambah dosis coolness film ini: Alain, Nathalie, atau Cathy Rosier adalah manusia-manusia yang rupawan.

Meskipun profilnya tidak terlalu legendaris, tapi Nathalie Delon sempat jadi ikon seks Eropa di 70-an, dikenal sebagai salah satu perempuan tercantik di dunia pada eranya. Mulanya seorang model, Nathalie berakting di Le Samourai saat masih menjalani pernikahan bersama Alain Delon. Keduanya jadi pasangan yang banyak dibicarakan saat itu. Ia juga pernah mengencani Bobby Keys, saksofon additional The Rolling Stones.

Sementara, Alain Delon lebih populer lagi. Selain jadi versi maskulin dari ikon seks Eropa 60 dan 70an, Delon lebih moncer dalam kiprah akting. Ia merupakan aktor yang definitif dari film-film Melville.

Jeff adalah karakter dengan sedikit kata. Maka, Alain menghidupkan karakter Jeff lewat akting fisik yang lebih jauh. Ia menjadi protagonis yang sempurna di jagat neo-noir yang stylish ini.

Ada trivia menarik. Dalam kariernya, Alain lebih memilih mengambil royalti distribusi film di negara-negara tertentu alih-alih dalam bentuk gaji sekali bayar. Sistem ini belum pernah dilakukan sebelumnya di Prancis, makanya dikenal sebagai “metode Delon”.

Sebenarnya ini pertaruhan bagi Alain. Taruhan itu terbayar dengan baik, karena Alain kemudian menghasilkan uang 10 kali lebih banyak daripada angka gajinya. Namun, pada tahun 1965, Delon mengklaim “tidak ada orang lain yang mencobanya sejak itu yang berhasil menghasilkan uang.”

Bagaimana dengan Rosier? Ia hanya diberi sedikit adegan—berperan sebagai Valerie, pianis yang menjadi saksi aksi keji Jeff—tapi penampilannya lumayan bisa mendominasi di hati penonton. Contoh apik yang menarik ada di akhir film, kala Jeff menodongkan pistol ke Valerie. Perempuan itu terus memainkan organ dan bertanya “Kenapa, Jef?” tanpa kelihatan takut. Rautnya cenderung sedih, atau mungkin kecewa.

Di adegan terakhir itu, kita dapat menyaksikan elemen yang diperingatkan Cochrane sebagai elemen estetika keren: ketidakpedulian terhadap bahaya.

Baik Valerie dan Costello menampilkan ketidakpedulian terhadap bahaya, meskipun ekspresi emosi halus ketika keduanya melakukan kontak mata menunjukkan mereka bukanlah robot. Reaksi mereka yang diredam amat kontras dengan reaksi bartender dan pengunjung lain yang terkejut.

Le Samourai adalah film perihal profesionalisme, juga tentang detail. Jef berfokus pada detail alibinya, mulai dari saat harus meninggalkan kediaman pacarnya, hingga saat harus secara tepat waktu berada di tempat bermain kartu. Ia selalu melakukan perhitungan.

Jeff nyaman dengan pola. Maka, ketika pola itu rusak, hidupnya perlahan terurai. Ia terpergok oleh Valeria, lalu ditangkap dan diinterogasi polisi. Ini di luar strateginya, tapi namanya profesional, Jeff mampu menjawab setiap pertanyaan.

Le Samourai punya banyak keunggulan noir Hollywood, ditambah kepekaan Eropa yang bisa tampak melodramatis. Adegan Jeff berbaring di tempat tidurnya dalam cahaya redup saja sudah membangkitkan firasat buruk. Adanya dialog bisa menganggu, dan Melvin tahu itu.

Le Samourai membuat perbedaan antara film luhur dengan nilai artistik abadi dan sekadar tiruan yang mereduksi gaya noir menjadi stereotip. Ada banyak film tentang pria tangguh, tetapi tidak ada yang membawa lebih banyak puisi dan style ke genre ini daripada Le Samourai.

Le Samourai agaknya memang mengejar estetika keren. Melville berhasil membuat karakter-karakternya mencapainya. Ini akhirnya sangat berpengaruh bagi film-film setelahnya. Wajar, banyak sekali film-film yang kita sadari membawa warisan-warisan sinematografi dan pengemasan dari Le Samourai.

Siapa saja pewarisnya? Martin Scorsese, Quentin Tarantino, Francis Ford Coppola, John Woo, David Fincher, Aki Kaurismäki, Takeshi Kitano, Georges Lautner, Nicolas Winding Refn, Luc Besson, Joel Coen, Ethan Coen dan lainnya.

Mereka semua tahu film yang keren.

Best Lines:

Martey, Nightclub Owner: Who are you?

Jeff Costello: Doesn’t matter.

Martey, Nightclub Owner: What do you want?

Jeff Costello: To kill you.

After Watch, I Listen:

Arctic Monkeys – There’d Better Be a Mirrorball

Le Trou – Kabur dari Penjara Tidak Sesimpel Shawsank Redemption

Tags

,

Jacques Becker

1960

Crime

Rajin menonton film-film klasik ternyata punya efek samping.

Saya jadi mengalami penurunan rasa kagum pada film-film 90-an ke atas yang dulu saya anggap sangat bagus. Saya juga jadi agak susah terpesona pada film-film baru. Soalnya, saya kadung tahu banyak pesona di karya-karya baru yang dianggap spektakuler ternyata sudah didahului film-film klasik.

Satu contoh ideal, siapa yang tidak suka Shawsank Redemption (1994)? Ini urutan pertama dalam lis film dengan rating terbaik IMDB. Saya dulu juga terkesima menonton film ini. Nah, sekarang pun masih suka. Tapi, efek takjubnya sudah merosot beberapa derajat.

Ini gara-gara banyak nonton film klasik, saya jadi sadar ada banyak film lama yang duluan menceritakan kisah-kisah kabur dari penjara. Escape movie, kira-kira istilahnya. Apalagi di dekade 50-an dan 60-an, tema kehidupan tahanan dalam jeruji besi—lalu memikirkan cara untuk bisa bebas—itu melimpah: A Man Escaped (1956), The Great Escape (1969), Cool Hand Luke (1967), dll. Adegan klimaks dalam The Shawsank Redemption (1994), berupa terungkapnya lubang dinding besar di balik poster Rita Hayworth, tak lagi sekeren dulu.

Saya cukup yakin, kebanyakan orang-orang yang memberi rating maksimal pada Shawsank Redemption di IMDB belum banyak—atau belum sama sekali—menonton film-film escape movie lama.

Termasuk, belum nonton Le Trou.

Bahkan di kalangan sinefil, nama Jacques Becker rasanya tak terlalu kondang. Ia kadang lebih diingat sebagai asisten Jean Renoir dalam La Grande Illusion (1938) dan The Rules of the Game (1939).

Dulu, Becker ditawan selama pendudukan Jerman di Prancis pada Perang Dunia II, sebelum kemudian sukses menjadi sutradara filmnya sendiri. Ia lalu membuat sederet film bagus yang berpengaruh bagi aliran French New Wave.

Reputasi yang dimiliki Becker berangkat dari kasih sayang para pegiat French New Wave.  François Truffaut dan teman-temannya mengagumi Jean Renoir, tapi mereka sering mengidentifikasi dirinya mirip dengan Becker. Memang, masa Becker jadi asisten Renoir berfungsi sebagai penghubung antara zaman keemasan sinema klasik Prancis dan kebangkitan new wave.

Becker juga dianggap sebagai auteur, menulis skenario dan menyutradarainya sendiri. Beberapa kritikus mengapresiasi perhatian Becker pada detail, tidak hanya untuk menciptakan suasana tetapi sebagai kunci eksplorasi karakter. Prioritas karakter di atas plot adalah kebiasaan berulang Becker. Ia punya kesediaan untuk menyimpang dari dorongan utama narasi mengikuti momen-momen yang tampaknya tidak penting dalam kehidupan karakternya.

Kariernya sebagai sutradara relatif singkat, hanya 13 film panjang sebelum mati di usia 53. Karya-karya Becker terdiri dari kelompok genre yang agak eklektik, mulai dari film gangster seperti Touchez pas au Grisbi (1954) hingga komedi romantis ringan seperti Antoine et Antoinette (1947). Becker bergerak melintasi berbagai genre dengan sangat mudah.

Le Trou—versi Amriknya berjudul The Hole—adalah film terakhirnya, mungkin yang paling sempurna. Le Trou dipuja oleh François Truffaut, sementara Jean-Pierre Melville berpikir apakah jangan-jangan film tersebut adalah film Prancis terhebat sepanjang masa.

Padahal, Le Trou digarap sambil sekarat. Dua-tiga minggu setelah film ini beres, Becker meninggal dunia.

Diadaptasi dari novel, plot cerita dalam Le Trou berlangsung selama sekitar enam hari, ketika lima penghuni satu sel penjara, masing-masing menunggu hukuman, berusaha menggali sebuah jalur kabur.

Ini kisah nyata dari rencana pelarian oleh penulis novelnya sendiri, José Giovanni. Dan Becker menulis naskah filmnya bersama Giovanni. Supaya lebih realis lagi, Le Trou menggunakan aktor nonprofesional. Salah satunya, Jean Keraudy (Roland), betulan seorang napi yang pernah kabur, memainkan peran yang sama dengan kehidupan nyatanya. Beberapa aktor lain malah kemudian jadi beneran sukses berkarier profesional di dunia akting: Philippe Leroy [Manu] dan Michel Constantin [Géo].

Penggunaan aktor nonprofesional hanyalah salah satu cara membuat kita makin tenggelam dalam dunia Le Trou. Becker percaya, jika kita masih mengenali seorang aktor sebagai ”aktor’’, maka kita tidak akan lagi melihat film itu sebagai sebuah peristiwa nyata. Keakraban kita dengan jejak rekam karya aktor itu akan memaksa kita untuk semakin menjauh dari lingkungan imersif yang ingin diciptakan Becker.

Ya, masuk akal.

Yang pasti, para non-aktor ini tampil bagus. Ketidaknyamanan mereka yang alami di depan kamera meningkatkan rasa gelisah yang bisa kita bayangkan di dalam penjara. Rasanya, ini adalah cerita pelarian yang paling tidak sombong dalam film, sekaligus paling simpatik. Ekspresi ngeri itu nyata dalam layar.

Oiya, selain itu, penjara La Sante sendiri direplikasi hingga detail terkecil, berkat bantuan dari tiga anggota sebenarnya dari pelarian yang disewa Becker untuk membantu sebagai konsultan produksi.

Ada sesuatu yang sangat memuaskan bila escape movie digarap dengan baik. Le Trou merupakan escape movie yang seolah ada di bawah mikroskop, dianalisis hingga ke unsur-unsur terdasarnya.

Banyak film sejenis menyulam arketipe plot utama dengan bumbu-bumbu pelengkap, misalnya cerita latar yang merinci bagaimana para napi akhirnya dipenjara, penderitaan dalam bui, bahkan mungkin kehidupan setelah mereka kabur.

Sementara, Le Trou menghindari semua itu. Meskipun Becker menceritakan sedikit tentang hubungan Claude Gaspard (Marc Michel) dengan dunia luar, informasi ini penting sekadar dalam fungsinya menunjukkan bahwa Gaspard, sebagai penghuni sel baru, punya potensi ’’berkhianat’’ dalam rencana pelarian dari penghuni lainnya.

Sebagian besar isi Le Trou fokus pada aksi pelarian itu sendiri: detail para napi menusuk-nusuk melubangi lantai penjara, mencari-cari jalan keluar yang pas di selokan bawah tanah sambil menghindari jaga malam, dan ada banyak lagi kerja lainnya. Kita terus saja duduk dan melihat mereka memotong beton, berkeringat, bergantian tugas.

Plot seperti itu kadangkala jadi monoton, tetapi tidak untuk Le Trou. Becker bisa membuai penonton ke dalam semacam lamunan meditatif – setiap serpihan beton yang terkelupas,  setiap lorong gelap, berubah menjadi semacam doa hening bagi penonton, sebuah ritus suci. Selain Gaspard, kita tidak diberi tahu apa kesalahan yang membuat karakter-karakter lainnya dipenjara. Tapi rasanya kita tetap ingin melihat mereka berhasil bebas dari kurungan.

Karl Marx, dalam pembahasannya tentang dialektika budak/tuan, menyatakan, di satu sisi, budak beruntung karena bisa belajar bahwa melalui kerja maka seseorang dapat mengubah lingkungannya. Manusia dapat meninggalkan jejak dalam pekerjaannya. Sesuatu dari gagasan ini tampaknya menyusup ke dalam konsep Becker tentang Le Trou.

Sebagian besar isi Le Trou berkonsentrasi pada sifat monumental dari upaya manusia yang disalurkan dalam tindakan yang didorong rasa lapar akan kebebasan. Tetapi, dalam usaha itu sendiri, dalam tindakan kerja itu, kebebasan berada. Dalam upaya yang begitu keras untuk menghasilkan pembebasan mereka, dalam upaya dan tekanan itu, mereka bisa lebih bebas daripada yang pernah mereka lakukan di dunia luar.

Perhatikan wajah para penjaga di adegan awal saat Gaspard berbicara dengan sipir. Kemudian perhatikan wajah rekan-rekan selnya saat melaksanakan aksi pelarian. Para penjaga mungkin di dalam penjara menjadi tuan, tetapi wajah mereka menunjukkan kematian. Para pelarian, digerakkan oleh kerja keras dan keinginan, benar-benar hidup.

Aspek nyentrik lain dari Le Trou adalah perihal suara.

Soundtrack film ini sepenuhnya diegetic (elemen suara yang muncul hanya yang sumbernya berasal dari cerita, bukan musik ect.). Tidak ada skor musik babarblas, kecuali pada kredit akhir. Itu mungkin juga alasan film ini tidak punya kredit pembuka. Langsung saja masuk adegan pertama. Tanpa musik sama sekali.

Le Trou memainkan penonton di antara suara dan keheningan, menyuapi dan menahan kebutuhan aural kita. Le Trou membuat kita penuh perhatian dalam kewaspadaan indrawi.

Jarang ada orang yang mengamati permainan suara di Le Trou. Bila dianalisis, mungkin soundtrack-nya hanya terdiri dari beberapa rangkaian suara utama. Pertama, suara batu dan semen yang pecah. Suara ini mendominasi adegan para pria menerobos lantai sel, mencapai labirin koridor di bawah penjara yang menghubungkan berbagai sisi sayap penjara, dan kemudian mulai menggedor lagi, kali ini pada dinding semen untuk membawa mereka ke selokan. Ketika aksi itu harus disetop dulu karena takut ketahuan sipir, tiba-tiba suasananya senyap.

Elemen aural penting lainnya adalah dialog yang diucapkan dengan lembut dan jarang. Semua suara ini muncul secara close up. Seolah-olah, kita mendengar – dan menonton – film ini melalui headphone. Suara dan keheningan dipompa langsung ke telinga kita. Salah satu mitos yang paling memikat tentang film tersebut adalah bahwa Becker, yang sedang sakit parah, kehilangan sebagian besar pendengarannya gara-gara mengedit film ini.

Mendengarkan adalah hak istimewa di Le Trou. Suara-suara ini—batu  dan semen yang pecah, tubuh yang bernapas dengan tenang – adalah suara-suara yang ditandai dengan pengulangan dan tidak mengenal arah. Sejak pertama kalinya para karakter ini mulai menggedori lantai sel mereka dengan sepotong logam, gambar-gambar itu berubah menjadi suara.

Frame tetap terpaku pada permukaan batu dan tangan yang memukulnya, sebelum pindah ke orang lain yang menatap tak bergerak ke lantai seolah ingin membukanya, dan kemudian kembali lagi ke permukaan batu. Ini adalah salah satu adegan film yang memukau, ketika para pria bangkrut, bertaruh pada harapan bahwa keberanian yang mereka buat akan menjadi jalan keluar kebebasan.

Secara umum, jujur saja, Shawsank Redemption masih lebih bagus dari segi drama—saya juga tidak mau bertengkar dengan banyak orang. Tapi, pendekatan Becker dalam Le Trou justru terasa lebih baru, padahal ini dibuat 20 tahun lebih dulu.

Yang pasti, orang-orang perlu menonton lebih banyak escape movie, supaya sekadar tahu cara kabur itu tidak harus menyembunyikan lubang dinding di balik poster selebriti.

Best Lines:

Roland Darban: Poor Gaspard.

After Watch, I Listen:

The Velvet Underground – Here She Comes Now

The Graduate – Kisah tentang Bajingan dan MILF

Tags

, , ,

Mike Nichols

1967

Romance

Berapa orang yang seperti Ben (Dustin Hoffman) di usia 20-an awal? Tidak tahu apa yang akan dilakukan selepas lulus kuliah. Didera kecemasan tentang bagaimana mengejar kehidupan yang bermakna. Apa yang ia inginkan? Mereka yang ingin masa depannya berbeda, tapi tidak tahu harus bagaimana?

Suatu hari di tahun 1963, seorang produser film bernama Larry Turman menemukan novel debut berjudul The Graduate. “Buku itu lucu, tapi pada saat yang sama membuatmu gugup,” katanya.

Pembelian impulsif Turman menghasilkan salah satu film penting. Keberhasilannya menggapai pendapatan tertinggi ketiga dalam sejarah film pada saat itu, merevolusi pengambilan keputusan Hollywood tentang film mana yang dibuat, bagaimana film tersebut dibuat, dan kepada siapa film tersebut dipasarkan.

Tadinya, film itu hampir tidak dibuat. “Tidak ada yang menyukai novel itu.” Setiap studio menolak memfilmkannya. ”Mereka membaca, lalu membencinya, dan tidak ada yang menganggapnya lucu.”

Setelah dapat modal dari produser Joseph E. Levine, Turman mempercayakan film itu pada Mike Nichols, yang meski punya nama sebagai sutradara Broadway yang sukses, masih belum terlalu terkenal di Hollywood.

Selama periode setengah tahun pada 1967, Nichols menghasilkan empat drama hit yang ditayangkan secara bersamaan di Broadway. Namanya baru meroket ketika film Hollywood pertamanya, Who’s Afraid of Virginia Woolf? (1966) tayang dan diapresiasi besar-besaran. Dikombinasikan dengan film keduanya ini, The Graduate, diraih total 20 nominasi Oscar, termasuk dua untuk kategori Sutradara Terbaik, dan Nichols memenangkan salah satunya ya di The Graduate.

Jadi, apa isi cerita The Graduate?

Alkisah, Benjamin Braddock—dipanggil Ben—yang baru saja lulus sarjana, malah menemukan hidup baru dengan jadi selingkuhan teman orangtuanya. Ia jadi brondong gelapnya Nyonya Robinson (Anne Bancroft)–tentu jauh lebih tua dari Ben.

Bukan, ini bukan sinopsis film-film porno ber-genre MILF. Tapi topiknya memang sangat tabu, bahkan untuk ukuran zaman sekarang sekalipun.

Konfliknya makin meruncing ketika Ben dijodoh-jodohkan orangtuanya dengan putri Nyonya Robinson, bernama Elaine (Katharine Ross). Celakanya, Ben betulan jatuh cinta dengan Elaine. Nah, sekarang alurnya mulai mirip ke film-film porno ber-genre threesome dengan format featuring ibu-anak. Astagfir…

Salah satunya lewat film ini, Nichols mengembangkan citra sebagai seorang auteur yang suka bekerja secara dekat dengan aktor dan penulisnya, menggunakan mereka berulang kali dalam film yang berbeda. Hanya sedikit sutradara yang memiliki bakat sekuat Nichols dalam kemampuan menampilkan kelihaian para aktor.

Nichols bisa menarik keluar performa terbaik dari para aktor, terlepas seberapa jauh pengalaman akting mereka—baik yang tidak dikenal seperti Dustin Hoffman atau bintang besar seperti Richard Burton. Untuk film pertamanya, Who’s Afraid of Virginia Woolf?, masing-masing dari empat aktor penting di film itu bisa dinominasikan untuk Oscar, dengan pemenang Elizabeth Taylor dan Sandy Dennis.

Burton berkata, “Saya tidak berpikir saya bisa belajar apa pun tentang komedi. Tapi dari Nichols, saya (tetap) belajar,” menambahkan, “Dia berkonspirasi dengan Anda untuk mendapatkan yang terbaik.”

Gaya penyutradaraan yang sama digunakan untuk The Graduate. Nichols bisa menciptakan lingkungan yang sangat protektif di antara para aktor. Ia bisa membuatmu merasa ia hanya ada untukmu. “Apa yang luar biasa tentang Mike adalah bahwa ia membuat Anda merasa seolah-olah Anda yang memunculkan ide, padahal itu sebenarnya miliknya,” ujar Ann Margret, aktrisnya di film Carnal Knowledge (1971).

Keajaiban Nichols ya menemukan Hoffman, yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman film, bahkan menempatkannya sebagai pemeran utama–padahal orang lain terus menyarankan untuk pakai bintang terkenal seperti Robert Redford. Hoffman mengapresiasi Nichols karena telah mengambil risiko besar itu: “Saya tidak tahu contoh lain dari seorang sutradara di puncak kekuasaannya yang akan mengambil kesempatan dan memasukkan seseorang seperti saya di bagian itu. Butuh keberanian yang luar biasa.”

Nichols mengaku kasihan pada Hoffman yang sifat aslinya memang lembut dan sangat pemalu. Ia langsung jadi selebriti setelah The Graduate tayang. Nichols melihat ketidaknyamanan Hoffman saat diwawancarai di televisi. “Ia tampak persis seperti anak laki-laki [Ben] di film itu,’’ujarnya.

Tadinya, Hoffman berperan sebagai Liebkind dalam film Mel Brooks, The Producers (1967). Tetapi sebelum syuting dimulai,ia memohon kepada Brooks untuk mengizinkannya mengikuti audisi The Graduate. Dalam audisi itu—usianya sebenarnya sudah 30 tahun saat itu—Hoffman diminta untuk melakukan adegan seks dengan Katharine Ross. Padahal, sebelumnya Hoffman tidak pernah melakukan adegan semacam itu di pendidikan aktingnya. Secara rendah diri, ia juga merasa “seorang gadis seperti [Ross] tidak akan pernah mau dengan pria seperti saya dalam sejuta tahun.”

Ross sendiri setuju, menganggap Hoffman “terlihat hanya setinggi sekitar 3 kaki … sangat tidak terawat. Ini akan menjadi bencana.” Namun, memang kecanggungan Hoffman yang konon membuat Nichols memilihnya. Menurut Nichols, aktor seperti Redford tak punya karakter underdog yang dibutuhkan peran Ben.

Majalah Life pernah bercanda, “jika wajah Dustin Hoffman adalah kekayaannya, ia akan hidup dalam kemiskinan”. Hoffman sukses membuat ketampanan konvensional tidak lagi diperlukan di layar. Seluruh generasi mengubah ide tentang seperti apa pria itu seharusnya. Fisik Hoffman membawa semacam perubahan sosial dan selera visual, dengan cara yang sama orang pertama kali memikirkan Humprey Bogart.

Time menyebut Hoffman sebagai simbol yang mewakili aktor generasi baru. Ia berhasil menggeser pakem bintang film tradisional, membawakan peran yang lebih kompleks, bahkan tidak disukai.

Sementara, pilihan pertama Nichols untuk pemeran Nyonya Robinson tadinya adalah aktris Prancis Jeanne Moreau. Nichols percaya klise budaya Prancis: wanita lebih tua cenderung cocok melatih pria lebih muda dalam masalah seksual.

Banyak aktris yang dipertimbangkan. Turman sempat menginginkan Doris Day karena citranya yang serba Amerika. Namun, Day menolak tawaran tersebut karena adegan telanjang yang menganggunya. Sisanya, opsi itu sempat hinggap ke Shelley Winters, Ingrid Bergman, Eva Marie Saint, Ava Gardner, Patricia Neal, Susan Hayward, Deborah Kerr, Rita Hayworth, Lana Turner dan Geraldine Page. Sampai akhirnya, ya Anne Bancroft yang mendapatkannya. Padahal, meski berperan sebagai ibu dan anak, usia Bancroft dan Katharine Ross aslinya hanya terpaut delapan tahun.

Selain sisi akting, The Graduate amat didukung pukau aspek musik. Berawal dari pilihan Nichols menggunakan musik dari duo folk, Simon & Garfunkel. Nichols sedang terobsesi, mendengarkan karya mereka secara nonstop sebelum dan sesudah syuting. Ia lalu bertemu dengan pimpinan Columbia Records, Clive Davis untuk meminta izin lisensi musik Simon & Garfunkel. Duo ini memang tengah mencapai ketenaran nasional di Amerika Serikat pada tahun 1965–66.

Simon tidak segera menerima tawaran itu, tapi setuju untuk menulis setidaknya satu atau dua lagu baru untuk The Graduate setelah terkesan dengan kecerdasan Nichols dan naskahnya. Maka lahirlah dua lagu baru, “Punky’s Dilemma” dan “Overs”. Eh, tapi dua-duanya tidak disukai Nichols.

Nichols lalu bertanya, apakah ada lagu lain untuk ditawarkan? Simon kemudian mengajukan versi awal “Mrs. Robinson”—tadinya berjudul “Mrs. Roosevelt” (dari sosok Eleanor Roosevelt). Nichols sangat gembira mendengar lagu tersebut, kemudian berkomentar, “Mereka mengisinya dengan dee de dee dee de dee dee dee karena belum ada bait liriknya, tapi saya bahkan menyukainya.”

Belum ada nama di dalam lirik itu (untuk bagian penyebutan ‘’..Robinson..’’), dan mereka pokoknya hanya akan mengisinya dengan nama yang terdiri dari tiga suku kata. Karena kebutuhan karakter di film itulah akhirnya mereka mulai memakai nama ”Mrs. Robinson”.

Perihal elemen musiknya, versi film menggunakan ketukan Bo Diddley–beda dengan versi studio. Dimasukkannya frasa “coo-coo-ca-choo” oleh Simon adalah sebuah penghormatan terhadap lirik dalam lagu The Beatles, “I Am the Walrus”.

Jadilah salah satu lagu terbesar Simon & Garfunkel: ”Mrs Robinson”. Lagu itu dianugerahi dua Grammy Awards pada tahun 1969.

Apalagi kebaruan dari The Graduate?

Sebelum The Graduate, Hollywood percaya sebuah film harus menarik bagi semua orang supaya bisa sukses. Namun, The Graduate yang memenuhi bioskop selama dua tahun ternyata hampir separuh penontonnya hanya berusia di bawah 24 tahun.

Jadi, sebuah film yang punya segmen tertentu ternyata tetap bisa sukses besar. Melalui film itupun karakter wanita berumur yang menggoda ala Nyonya Robinson telah menemukan ceruk permanen dalam sejarah budaya Amerika. Dibuktikan lagi, The Graduate lalu memenangkan Oscar untuk kategori Best Director, meskipun reaksi kritis sangat beragam.

The Graduate cukup kaya untuk dibaca secara berbeda sepanjang waktu. Dulunya, film ini dilihat sebagai film “serius” pertama yang ditargetkan ke baby boomer yang baru saja beranjak dewasa. Pada saat itu, banyak kritikus dan penonton memahami The Graduate sebagai potret masyarakat kaya dan kolot, lewat karakter orang-orang dewasa di sekitar Ben.

Namun, 50 tahun kemudian, atau hari ini, The Graduate bisa kita maknai dengan sangat berbeda.

Saya pinjam dulu analisis dari kritikus Roger Ebert—saya bukan penggemarnya, tapi rasanya ini salah satu tulisan terbaiknya. Dalam resensinya tentang The Graduate di tahun 1967, Ebert mengaku berempati pada karakter Benjamin.

Tetapi, 30 tahun kemudian, di tahun 1997, ketika menulis lagi tentang film ini, Ebert berubah sudut pandang. Ia menilai, protagonis sebenarnya dari The Graduate adalah Nyonya Robinson:

“Nah, ini untuk Anda, Nyonya Robinson,” ia memulai tulisan versi 1997-nya. “Kamu telah selamat dari kekalahanmu di tangan bajingan yang tak terperi itu, Benjamin, dan muncul sebagai karakter paling simpatik dan cerdas di The Graduate.”

Dalam penilaian ulangnya, Ebert menyatakan bahwa The Graduate memang muncul di akhir 1960-an ketika orang tua mendukung nilai-nilai kelas menengah yang kolot. Dan anak-anak adalah pemberontak yang gembira di ujung revolusi seksual dan politik.

Nah, Ebert mengakui bahwa “hari ini, menonton The Graduate, saya melihat Benjamin bukan lagi sebagai pemberontak yang mengagumkan, tetapi sebagai bajingan egois yang meremehkan orang dewasa.”

Apa yang benar-benar berani, dan karenanya menyegarkan untuk era itu, adalah sikap moral film tersebut. Penerimaan terhadap fakta bahwa seorang pria muda dibenarkan berselingkuh dengan seorang wanita dan masih menikahi putrinya.

Ingat, dalam adegan awal yang tak terlupakan, Nyonya Robinson meminta Benjamin mengantarnya pulang, lalu membujuknya ke kamar dan melepas pakaian.

Benjamin lalu berubah pikiran—dari tadinya menolak godaan itu, jadi mengundang Nyonya Robinson ke Hotel, lalu memulai perselingkuhan. Tidak ada yang naksir karena romansa, tetapi pada titik tertentu menjadi jelas bahwa Benjamin berada di atas angin hanya karena siapa dia: bebas, muda, kaya, dengan seluruh optimisme di depannya.

Saya pun sebenarnya terganggu dengan kelakuan Ben. Ia memaksakan untuk tetap mengejar Elaine. Helloooo motherfucker, kamu baru saja ngewe dengan ibunya. Bayangkan, perasaan Nyonya Robinson. Lebih buruk lagi, bayangkan perasaan Tuan Robinson (William Daniels), bagaimana mungkin rela anaknya dinikahi orang yang pernah uwuwuwuuw dengan istrinya. Tidak masuk akal.

Apalagi, hari ini, kita tidak bisa lagi menonton film seperti The Graduate dengan cara yang sama. Hoffmann misalnya, yang membintangi The Meyerowitz Stories awal tahun 2017, sudah dituduh oleh setidaknya tujuh wanita melakukan pelecehan dan penyerangan seksual.

Hoffman sempat merilis permintaan maaf kepada pekerja magang berusia 17 tahun yang mengaku jadi korban pelecehan juga, tetapi membantah bersalah, dengan mengatakan, “Saya sangat menghormati wanita dan merasa tidak enak bahwa apa pun yang saya lakukan dapat menempatkannya dalam situasi yang tidak nyaman”, melanjutkan, “Saya minta maaf. Ini tidak mencerminkan siapa saya.”

Cukup sulit membayangkan sekarang ada orang yang melihat Benjamin sebagai pemberontak yang keren. Ia sebenarnya tampak mirip dengan banyak pria bajingan redflag – serakah dan ceroboh. Ia tidak berhasil mengendalikan minat cabulnya pada wanita yang lebih tua,

Apa yang membuat Ebert menjadi kritikus yang patut dibaca sekali-kali adalah karena ia merupakan seseorang yang antusias. Dan di ulasan-ulasannya soal The Graduate, antusiasmenya menjadi-jadi.

Jelas bukan The Graduate yang berubah. Yang berubah ya Ebert, saya, atau kamu.

Saat menulis ini, usia saya tepat di tengah-tengah antara usia Nyonya Robinson dan Ben: 30 tahun. Saya mulai yakin tidak akan berpihak pada seseorang yang ingin mengencani seorang perempuan setelah berselingkuh dengan ibunya.

Bagi saya, The Graduate tetap sebuah mahakarya, karena berhasil menangkap kecemasan eksistensial Ben dan Nyonya Robinson. Bahkan, jika penonton yang lebih muda mungkin lebih menghargai perspektif Nichols yang membela Ben, ya tidak apa-apa.

Era itu, 1967, memang Summer of Love. Anak-anak muda membuat suara mereka didengar dalam politik dan mengungkapkan jurang yang semakin lebar antara mereka dan generasi orang tuanya.

Sepanjang film, orang dewasa di sekitar Ben bersikap seperti vampir. Seolah-olah mereka bisa mendapatkan kembali masa mudanya dengan mencuri milik Ben. Nyonya Robinson termasuk di dalamnya.

Seiring berjalannya film, tema perang generasi menjadi semakin mencolok. Di tengah kencan mereka, Nyonya Robinson memberi tahu Ben, “Saya rasa kita tidak punya banyak hal untuk dikatakan satu sama lain.”

Elaine benar-benar satu-satunya orang seusia Ben yang di menit itu bisa kita temukan dari seluruh film. Ben tampaknya tidak punya teman sebaya. Ia kesasar seperti Charlton Heston dalam Planet of The Apes.

Mengingat Nichols saat membuat film ini masih relatif muda–berusia 35 tahun, sementara penulis skenario Buck Henry berusia 36 tahun – kepekaan ini masuk akal. Dari sudut pandang mereka yang berusia tiga puluhan, sama seperti saya sekarang, mereka dapat dengan jelas melihat kedua sisi generasi.

Mungkin perasaan kita tentang The Graduate mencerminkan tahapan yang telah kita capai dalam hidup saat menontonnya. Untuk penonton yang lebih tua, ini adalah pengingat bahwa Anda juga pernah muda. Bagi yang muda, ini adalah pengingat bahwa Anda juga akan segera menjadi tua. Jika pernah ada film untuk menyatukan generasi yang bertikai dalam saling mengasihani diri sendiri, ya inilah…

Best Lines:

Benjamin: Mrs. Robinson, I can’t do this anymore.

Mrs. Robinson: You what?

Benjamin: This is all terribly wrong.

Mrs. Robinson: Do you find me undesirable?

Benjamin: Oh no, Mrs. Robinson. I think, I think you’re the most attractive of all my parents’ friends. I mean that.

After Watch, I Listen:

Simon & Garfunkel – Mrs Robinson

Cool Hand Luke – Ikon Pembangkang 60-an

Tags

, ,

Cool Hand Luke - Wikipedia

Stuart Rosenberg

1967

Drama

Yang pertama kali menarik perhatian saya dari film ini adalah bagian dialog:

What we’ve got here is… failure to communicate. Some men you just can’t reach. So you get what we had here last week, which is the way he wants it… well, he gets it. I don’t like it any more than you men.

Saya dulu pertama kali mendengar isi dialog itu justru dari intro lagu “Civil War” milik Guns N’ Roses. Sebagai penggemar berat band itu (setidaknya dulu), saya mendengarkan lagu tersebut berulang-ulang. Cukup jenius, Axl Rose (vokalis) menaruh potongan dialog tersebut pada konteks lain di sebuah lagu tentang perang sipil.

Baru beberapa tahun setelahnya, saya tahu kalau ternyata larik itu sendiri sudah berstatus legendaris dalam jagat sinema. Menjadi harta berharga dalam Cool Hand Luke, film yang menampilkan pembangkangan dari seorang narapidana bernama Luke (Paul Newman) terhadap sistem sosial. Dan caranya memberontak itu dipandang keren oleh teman-temannya.

Cool Hand Luke adalah adaptasi novel karangan Donn Pearce yang berjudul sama pada 1965. Pearce mengembangkan cerita itu dari pengalaman pribadinya saat dipenjara bareng geng narapidana Florida—geng semacam itu biasanya dinamakan chain gang.

Setiap malam, Pearce menuliskan beberapa cerita dari apa yang dilihat dan didengarnya di sekeliling penjara—meski belum tahu akan dijadikan apa. Ia juga mulai membaca beberapa buku dengan lebih serius, seperti Faulkner’s Sanctuary. Menurut Pearce, sekitar sepertiga dari Cool Hand Luke adalah ceritanya sendiri, sepertiga bersandar pada kabar burung yang tersiar di lingkungan penjara, dan sepertiga sisanya adalah fiksi murni.

Penjara mengajarkan Pearce bahwa kerja keras bisa menghabiskan waktu, bisa memberi kepuasan yang lebih dalam dari yang dikenalnya sebelumnya. “Ketika saya keluar dari chain gang,” kenangnya, “bos berjalan berkata kepada saya, ‘Donn, Kamu telah melakukan lebih banyak pekerjaan untuk saya daripada pria mana pun yang pernah saya miliki.’

Dan saya berkata, ‘Terima kasih, bos, terima kasih banyak’–karena saya tidak yakin apakah saya masih harus memanggilnya bos, dan karena itu adalah pujian termanis yang pernah saya dapatkan.”

Pada tahun 1959, setelah bebas, Pearce mengalami patah kaki karena kecelakaan sepeda motor. Tidak bisa banyak beraktivitas fisik, Pearce memutuskan untuk mulai menulis novel berdasarkan catatan dan ingatannya di penjara. Ia menulis, dan menulis ulang enam kali selama periode enam tahun.

Ketekunannya ini ternyata didukung dari sebuah quote penulisan yang menarik—dan saya mungkin akan meminjamnya buat ngisi kelas penulisan ~

“Ada seorang wartawan tua pemabuk. Dan dia berkata, ‘Kamu akan menulis sejuta kata sebelum bisa menerbitkan seribu kata pertama’. Itu selalu melekat di kepala saya,” kata Pearce.

Pearce akhirnya akhirnya menyelesaikan Cool Hand Luke di usia 36.

Sebagai sinema, Cool Hand Luke kerap dikomparasikan dengan The Shawshank Redemption (1994). Keduanya sama-sama dikenal sebagai film yang mampu menggambarkan kehidupan penjara dengan baik. Kendati, artikel Life berjudul “Sheer Beauty in the Wrong Place” mengkritik pengaruh gaya visual yang menggambarkan kamp penjara di Cool Hand Luke. Majalah itu berargumen, kita justru dipertontonkan penjara yang seperti hotel: “kamp istirahat [di mana] para napi mendapat cukup waktu tidur, makanan, dan olahraga luar ruangan yang sehat”.

Namun, Stuart Rosenberg, sang sutradara, sudah menuntut para pemeran untuk menginternalisasi kehidupan di penjara. Salah satunya, melarang istri mereka datang di lokasi syuting.

Yah, lantaran dipaksa tidak bersenggama berhari-hari, para pemeran chain gang ini jadi seperti abang-abangan porno, penuh obrolan jorok. Terlihat natural, apalagi dalam adegan mereka cuci mata melihat penuh nafsu seorang perempuan (Joy Harmon) yang tengah mencuci mobil sambil diseksi-seksikan.

Saya jadi ingat sinetron Montir-Montir Cantik yang dulu dibintangi Jeremy Thomas dan Sarah Azhari—lagunya “Rahasia Perempuan”-nya Ari Lasso. Ada yang masih ingat? Itu betulan kayak Brazzers tapi minus adegan ngewe aja.

Lanjut.

Menjadi “beda” itu butuh keberanian, kemauan keras, dan keyakinan diri yang luar biasa. Tidak semua orang mau terjun dalam pertempuran semacam itu. Meski seringkali kita menemukan orang caper di media sosial, tapi jauh lebih banyak orang merasa nyaman menjadi biasa-biasa saja.

Luke, yang diperankan dengan mengagumkan oleh Paul Newman, mengadopsi garis anti-otoriter sepanjang hidupnya. Ia terus-menerus menentang otoritas penjara, coba melarikan diri berkali-kali. Bahkan, ini diawali sedari aksi vandalisme sia-sia—merusak meteran parkir—yang membuatnya dipenjara dalam adegan pembuka Cool Hand Luke.

Bukan hanya otoritas para penjaga penjara yang ditentang Luke. Ia awalnya juga menolak bersantun-santun kepada pentolan chain gang itu, Dragline (George Kennedy). Di momen ini, kita mulai menebak-nebak apakah alurnya akan berakhir klise: Luke bakal dimusuhi dan dirundung—atau disodomi—oleh Dragline dan gerombolan napi lain.

Untungnya, bukan. Tak butuh banyak waktu, Dragline menerima sosok Luke. Bahkan, ia mulai menjadi “pengagum”, memposisikan Luke sebagai inspirator. Luke di mata Dragline—dan napi lainnya—ialah underdog yang selalu mengejutkan, meski tidak punya apa-apa di tangannya. Julukan cool hand luke pun tersemat.

Bobby Rivers TV: On COOL HAND LUKE (1967)

Balik ke dialog legendaris itu, “What we’ve got here is… failure to communicate“. Ternyata kutipan ini aslinya tidak ada di novelnya. Dialog itu secara orisinil ditulis oleh penulis naskah film Cool Hand Luke, Frank Pierson. Tadinya, Pearce mengkritik. Baginya, para pengawal penjara di kisah itu “100% redneck“, tidak teredukasi, sehingga tidak realistis untuk bisa mengucapkan frasa yang cerdas seperti itu.

Beberapa penulis percaya, kutipan itu merupakan metafora untuk Perang Vietnam yang sedang berlangsung selama pembuatan film. Namun, bisa juga diinterpretasikan dalam konteks pengelolaan perusahaan hingga penanganan kenakalan remaja.

Mari kita fokus pada peran dialog itu dalam cerita Cool Hand Luke sendiri. Digambarkan, sosok yang mengatakannya, Kapten (Strother Martin) memang suka membual tentang dirinya—sebagai orang yang berakal sehat—tetapi selalu hanya bicara satu arah. Ia mengajukan argumen “gagal berkomunikasi”, tapi sebenarnya dirinya sendiri tidak tertarik untuk menjalin dialog dengan para napi. Ia hanya menghukum siapa pun yang tidak mematuhi aturannya secara tertulis. Menegakkan mitos otoritas sebagai pihak yang ditakuti.

Jika sang Kapten berbicara seperti politisi standar, mewakili pemerintah, maka Godfrey (Morgan Woodward) mewakili polisi, yang kebrutalannya membantu memicu banyak kerusuhan rasial di tahun 60-an. Pembunuhan figur public cukup marak pada saat itu, seperti pembunuhan JFK, Martin Luther King, atau Malcolm X. Dalam konteks ini, Luke mewakili suara perbedaan pendapat yang dibungkam dengan peluru.

Pada adegan terakhir di gereja, Kapten dan anak buahnya tidak mau lagi ada komunikasi, tidak ada negosiasi. Tindakan pembangkangan terakhir Luke, mengejek Kapten, menjumpai tembakan fatal dari senapan Godfrey, mengakhiri percakapan sepihak.

Akting Newman sangat bersinar di film ini. Kehadiran fisik Paul Newman adalah salah satu alasan kunci film ini berhasil: senyuman, mata biru yang polos, ketenangannya. Untuk mengembangkan karakternya, Newman sengaja pergi ke West Virginia, merekam aksen lokal dan menyurvei perilaku orang-orang di sana.

Atas performanya sebagai Luke, Newman merengkuh nominasi Oscar keempatnya untuk kategori Aktor Terbaik—setelah  Cat on a Hot Tin Roof (1958), Hud (1961), dan The Hustler (1963). Luke di tangannya menjadi salah satu karakter anti-otoriter Hollywood yang setara di samping Randall Patrick McMurphy dari Jack Nicholson dalam One Flew Over the Cuckoo’s Nest (1975).

Padahal, Pearce awalnya ragu dalam penilaiannya memilih Newman. Menurut Pearce, fisik Newman terlalu kecil untuk berperan sebagai pria setangguh Luke.

“Sekarang, seluruh dunia berpikir bahwa Paul Newman adalah Cool Hand Luke.”

Yang tidak kalah kemilaunya, George Kennedy yang memenangkan kategori Best Supporting Actor dalam Oscar. Ia berhasil menampilkan secara subtil transformasi Dragline dari mulanya pemimpin geng yang bossy, beranjak menerima Luke, lalu berakhir memujanya.

Lucunya, selama proses nominasi Oscar, Kennedy sempat khawatir kalah dari kesuksesan box-office Camelot dan Bonnie and Clyde. Ia rela menghabiskan $5.000 untuk mengiklankan dirinya sendiri. Untungnya, berkat penghargaan tersebut, gajinya “dikalikan sepuluh saat [dia] menang”, katanya sendiri. “Bagian yang paling membahagiakan adalah saya tidak lagi harus bermain jadi penjahat terus.”

Penafsiran lain soal Cool Hand Luke adalah alegori Yesus. Dalam ikonografi visual, tematik, dan alur cerita, Luke dinilai mempesona sebagai seorang martir seperti Kristus.

Penolakan yang terus dilakukannya tak terpadamkan, hampir tidak ada kata menyerah. Pemberontak dengan tujuan.

Luke bertarung dalam pertempuran yang kalah, pertempuran yang diam-diam diketahuinya akan kalah, bahkan sebelum mulai melawan. Tetapi, ia tidak harus menerimanya, dan karena itu menolak. Momen terakhirnya datang ketika ia mengucapkan “kegagalan untuk berkomunikasi…” sebelum tertembus peluru.

Luke merupakan seorang pria yang tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, kecuali martabat dan kepemilikan atas dirinya sendiri. Ia memainkan satu kartu yang tersisa: pembangkangan. Sayangnya, kartu itu kalah.

Bahkan, saya menemukan satu situs yang khusus mencari simbolisme dan cocoklogi antara adegan-adegan Luke dengan ritual dan kepercayaan dari Nasrani.

Saya kutip beberapa:

ANAK-ANAK: Ibu Luke, Arletta (Jo Van Fleet) yakin Luke akan tumbuh menjadi orang yang spesial, dianugerahi kehidupan yang memuaskan. Setelah Luke lahir, ayahnya pergi dan tidak pernah terdengar lagi. Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecil Luke, sama seperti Yesus.

PEMBAPTISAN: Pembaptisan Luke terjadi setelah para narapidana selesai mengaspal jalan. Saat hujan turun, semua orang kecuali Luke melarikan diri untuk berlindung. Luke meminta Tuhan untuk memberinya pertanda, dan Tuhan memberi tahu bahwa dia ada di atas sana.

Ada banyak lagi sebenarnya. Tapi karena saya bukan Nasrani, lebih baik kalian cari sendiri. Saya takut pindah.

Best Lines:

Dragline: Nothin’! A handful of nothin’. You stupid mullet head, he beat you with nothin’, just like today when he kept comin’ back at me, with nothin’.

Luke: Yeah, well… sometimes nothin’ can be a real cool hand.

After Watch, I Listen: Guns N’ Roses – Civil War

 

Irma La Douce – Balada Manis Pekerja Seks Komersial

Tags

, , , ,

Irma la Douce (1963) - IMDb

Billy Wilder

1963

Romance Comedy

Film bertemakan kehidupan prostitusi itu sudah jamak, termasuk sebelum tahun 1963. Kebanyakan, tokoh utamanya ya pekerja seks itu sendiri. Dan jika genre-nya romantis, biasanya isinya tentang si tokoh yang tengah jatuh cinta atau dicintai seseorang yang berusaha mengeluarkannya dari kubang dunia pelacuran.

Jadi, Irma La Douce tidak menghadirkan kebaruan secara tema, meski topik seperti ini tentu menyimpan keseksian kontroversi sampai kapanpun. Tapi, saya merasa yang satu ini film dengan plot “kesengsem sama kupu-kupu malam” yang paling cantik bermain di wilayah romantic comedy.

Irma La Douce (Shirley MacLaine), seorang pekerja seks komersial yang “buka lapak” di distrik lampu merah Paris. Film dibuka menggambarkan kawasan itu, dipenuhi orang-orang yang mendambakan malam kasih sayang dari perempuan bayaran. Kalau kata band Silampukau di lirik “Dolly”, di sanalah tempat mentari sengaja ditunda, di mana cinta tak musti merana dan banyak biaya.

Perempuan-perempuan ini diizinkan terus menjajakan dirinya karena para pejabat polisi sekitar menjalankan skema korup menerima suap dari industri ini. Yah, sama saja cara kerjanya dengan Sarkem, Saritem, Doli, dan lain-lain.

Lantas, Nester Patou (Jack Lemmon), seorang polisi lugu, baru saja ditempatkan Patroli di sana. Mulanya, ia berusaha menjadi pahlawan yang mendobrak kenormalan itu dengan sok-sokan melakukan penggebrekan, tapi malah berakhir dipecat. Ujung-ujungnya, ia justru berbalik menjadi germonya Irma.

Konflik dimulai setelah Nester betulan baper pada Irma. Ia menjadi cemburu pada tiap pelanggan lain yang menyewa jasa Irma.

Namanya cinta, Nestor lalu menyusun rencana aneh. Ia menyamar sebagai pria kaya, diberi nama “Lord X,” untuk mem-booking Irma di tiap Kamis dengan harga super mahal, supaya Irma tak perlu lagi menjajakan dirinya lagi di hari-hari lain.

Yang pertama saya suka dari Irma La Dolce, tentu saja kembalinya duet brilian Jack Lemmon dan Shirley MacLaine—setelah mahakarya The Apartment (1960).

Tokoh Irma dibentuk sangat bagus, seharusnya cukup ikonik (meski akhirnya kok ya tidak terlalu populer di jagat perfilman). Ia selalu mangkal di pinggir jalan, bersandar di dinding hotel Casanova, mengenakan legging, tanktop, dan bando berwarna hijau terang, menenteng seekor anjing poodle, dan merokok dengan gestur jemawa.

Yang paling saya suka, Wilder tak meromantisasi karakter Irma dengan membuatnya menjadi pelacur yang mengutuki nasib, merasa hina disentuh laki-laki tiap malam, dan lain-lain. Irma bersikap dingin dengan takdirnya, baginya ini tak beda dengan pekerjaan lain. Ia tidak digambarkan genit dan haus seks, serta juga tidak digambarkan merana.

“This is not just a job, it’s a profession,” ujarnya.

Sebagai orang yang sering mengantar teman ke prostitusi (ini terdengar seperti disclaimer yang buruk, tapi percayalah, plis)—saya punya wawasan kecil-kecilan terhadap dunia ini. Dan memang bagi orang awam—termasuk saya di awal-awal punya hobi mengantar teman ini—ada dorongan untuk memandang iba para pekerja seks ini.

Tapi semakin ke sini, saya merasa mereka ya orang cari duit yang biasa-biasa saja. Menawarkan jasanya sama seperti mba-mba guru bimbel, makeup artist, instruktur yoga, dan lain-lain.

Saya bahkan pernah menghadapi mba-mba #AvailJakarta (!) yang bisa dibilang cukup mengingatkan pada karakter Irma. Datang menyambut kami dengan rokok terselip di bibirnya, menuntun masuk ke kamar dengan enteng, mengajak merokok sebat dulu sambil bersila di lantai, lalu bertanya, “kalian pasti mengira saya sama dengan [mereka] yang di [lantai] bawah ya?”

Ia merujuk ke PSK-PSK lain yang sudah lebih berumur, berkeliaran di sekitar apartemen. Secara fisik, mereka memang lebih gemuk, kulitnya sudah mengendur. Yah, mungkin mereka punya segmennya sendiri. Kami memang harus melewati tongkrongan itu dulu, dan kala itu saya pun sempat berpikir pesimis, “duh, salah pilih nih”. Untung saya cuma mengantar.

“Beda, aku lebih highclass,” katanya, sambil mengembuskan asap rokok secara pongah. Anjay. Keren kamu, Mbak.

Agar bisa memerankan Irma sebaik mungkin, Shirley MacLaine pergi ke Paris untuk melihat seperti apa realitas pekerja seks di sana. Para pekerja seks yang jadi objek risetnya bersemangat menceritakan diri sangat bersedia menjawab pertanyaan apa pun. MacLaine awalnya malah yang merasa tidak nyaman, ia menolak dengan sopan tawaran menyaksikan langsung bagaimana mereka “melayani” pelanggannya (baca: ngewe). Mereka kemudian marah, memaksa MacLaine mengintip salah satu pelanggan mingguan mereka sedang di-gangbang bersama tiga gadis melalui jendela kecil di pintu hotel. Lumayan, bokep gratis.

Tadinya sih, Wilder menginginkan Marilyn Monroe yang mengisi peran Irma, mengulang kesuksesan Some Like It Hot (1959). Tapi kita tahu, Monroe keburu meninggal. Begitu juga Wilder menginginkan Charles Laughton berperan sebagai Moustache—pelayan di bar seberang hotel Casanova—mengulang kesuksesan Witness for Prosecution (1957). Tapi sama, ia keburu meninggal sebelum syuting dimulai. Kutukan kayaknya ajakan Wilder ini.

TV-Tipp: Das Mädchen Irma la Douce | Filmdienst

Banyak orang percaya bahwa perempuan mengambil pekerjaan sebagai pelacur karena titik rendah dalam hidup. Situasi buruk menjungkalkan mereka ke dalam industri gongli itu. Meskipun narasi ini benar untuk beberapa kasus, prostitusi pada dasarnya memang menawarkan dukungan keuangan cukup besar bagi perempuan.

Alasan mengapa perempuan bekerja sebagai pekerja seks adalah sesuatu yang menarik diperbincangkan banyak orang – yang juga dieksplorasi dalam Irma La Douce. Adegan pembuka Irma La Douce sangat menarik. Digambarkan dengan cepat, setiap pelanggan Irma bertanya kurang lebih, “Kenapa akhirnya kamu jatuh ke dunia seperti ini?” Ini pertanyaan yang nyaris selalu jadi rasa penasaran bagi pelanggan prostitusi, kadang-kadang berhasil ditanyakan, kadang tidak.

Saya juga tentu memendam pertanyaan yang sama tiap mengantar teman. Tapi tidak pernah pertanyaan itu terlontar. Takut menyinggung, atau takut dibalas pakai dalil-dalil filsafatnya Schopenhauer.

Lucunya, Irma justru memanfaatkan pertanyaan seperti ini dari pelanggannya. Ia menjual kisah-kisah sedih palsu untuk menarik para pelanggan memberikan uang lebih. Mulai dari terpaksa menjadi pelacur karena “tiga jarinya patah, dan pupus mimpinya sebagai pianis profesional,”, “merupakan seorang putri misionaris di Kongo,”, atau “anak panti asuhan yang jadi korban d-day perang dunia.”

Tentu saja ketiga cerita itu berbeda, masing-masing bohong, dan lebih menyedihkan daripada yang berikutnya untuk menghasilkan lebih banyak uang dari pelanggannya. Itu membuat pelanggannya merasa diberdayakan atau bersimpati.

Perempuan memainkan peran berat dalam masyarakat Amerika abad ke-19. Mereka diharapkan menjadi mercusuar kebajikan, memastikan tiap suami dan anak-anak menjalani kehidupan yang lurus. Pekerja seks komersial jelas tidak ideal untuk itu. Organisasi reformasi seperti Magdalen Society dan Rosine Association berusaha untuk mereformasi pelacur. Mereka mengajari keterampilan yang dapat digunakan untuk mencapai pekerjaan “tepat moral” dan menjadi wanita yang terhormat.

Dalam Irma La Douce, Irma memberi tahu Nestor bahwa 9 dari 10 pria pernah mencoba mereformasinya, atau mengembalikannya ke jalan pertobatan. Kisah sedih dan kepribadian Irma yang manis membuat para pria melihat “potensi”-nya sebagai wanita berbudi luhur yang telah jatuh pada masa-masa sulit. Para pria merasa terpantik untuk menjadi penyelamatnya.

Dalam sudut pandang tradisional, laki-laki adalah pencari nafkah dan perempuan adalah penjaga rumah tangga. Ini terbalik di dunia prostitusi. Wanita adalah pencari nafkah – menghasilkan uang untuk pria mereka atau menghidupi diri mereka sendiri secara mandiri. Terminologi seperti yang kita kenal sekarang sebagai “germo” mulai digunakan pada tahun 1830-an, ketika laki-laki dipekerjakan sebagai pengawal pelacur dan rumah bordil.

Terbaliknya peran ekonomi tradisional antara gender laki-laki dan perempuan juga ada dalam film tersebut. Dalam sebuah adegan, Nestor sedang mencoba pakaian resmi untuk mencari pekerjaan tetap. Irma yang mendengar rencana itu malah menangis, “Apakah kamu mencoba membuatku merasa murahan? Apa yang akan dipikirkan gadis-gadis lain jika aku tidak mampu menghidupi priaku?”

Irma lalu berjanji, akan bekerja paling keras untuk Nestor. Mendandaninya lebih baik daripada pria lain dan memastikan bahwa kantungnya selalu terisi uang. Punya germo yang bekerja merupakan penghinaan bagi Irma. Ini tentu terbalik dari konstruksi gender hari ini, kesuksesan laki-laki terkait dengan kemampuannya untuk mendukung pasangan perempuannya.

Konflik utama sepanjang film ini bermula dari kecemburuan Nestor. Pada relasi internal dalam prostitusi, banyak pekerja seks komersial memang mengharapkan pelanggan tertentu menjadi “setengah setia” kepada mereka. Seperti Irma yang mengharapkan kesetiaan dari Nestor, sementara tiap malam ia sendiri harus tidur dengan beragam pria lain. Irma membela pekerjaannya, terus-menerus menegaskan bahwa tidur dengan laki-laki adalah kewajiban profesionalnya. Bagi Irma, profesinya tidak memengaruhi kesetiaannya dengan Nestor.

Perempuan meninggalkan prostitusi karena berbagai alasan. Bisa pertobatan religius, atau kebanyakan memang karena sudah menikah dan memulai keluarga. Dalam Irma La Douce, Irma menghakimi ibunya karena pernah meninggalkan prostitusi demi seorang pria. Sementara Irma sepertinya punya keyakinan dengan sikap tidak menginginkan sebuah keluarga. Pekerjaan dan karier baginya lebih dari itu. Seorang pria bukan mesiah yang akan datang dan membawanya pergi.

Irma menolak upaya reformasi apa pun. Hidup tidaklah mesti jatuh cinta, hamil, dan dilamar.

Dosakah yang dia kerjakan?

Sucikah mereka yang datang?

Kadang dia tersenyum dalam tangis

Kadang dia menangis di dalam senyuman

Wo-oh, apa yang terjadi, terjadilah

Sementara bagaimana dengan tokoh Nestor? Film ini berhasil menegaskan julukan The Guardian kepada Lemmon sebagai “The Most Succesful tragic-comedian on his age”. Memang ada rasa yang sama melihat duet ini di The Apartment. Meski perannya berubah, tapi tragisnya karakter Nestor dalam dinamikanya mencintai Irma begitu mirip dengan tokoh Bud Baxter dan Fran Kubelik.

Dalam The Apartment, Bud (Lemmon) menyalurkan ketulusan hatinya dengan membantu karakter Kubelik (MacLaine) memperbaiki hubungan romantikanya dengan bosnya. Sementara pada Irma La Douce, tokoh Irma begitu jatuh hati pada kesehariannya mencari uang, mencapai kemandirian ekonominya. Nestor hanya bisa mendukung dari belakang. Pengorbanannya selalu membuat trenyuh, termasuk banting tulang menjadi kuli dari pagi, lalu menyamar di malam hari menjadi Mr X.

Lema “kamu terlalu baik buat aku” itu cocok sekali untuk tokoh-tokoh yang diperankan Lemmon.

Pertanyaannya, apakah mungkin jatuh cinta pada seorang pekerja seks komersial?

Sangat mungkin. Saya punya seorang teman yang mengaku baper pada penyedia jasa cuddle care, bahkan ia sempat berencana serius mencarikannya profesi lain. Klise? Bisa jadi. Tapi salah besar, bila mengira itu hanya ada di film dan novel-novel.

Setahun kemudian, teman saya ini mengaku sampai berpacaran dengan seorang pemandu karaoke yang ditemuinya di kawasan plus-plus. Hidup ini memang menarik, memang romantic comedy.

But that’s another story…

Best Lines:

Moustache: Shows you the kind of world we live in. Love is illegal – but not hate. That you can do anywhere, anytime, to anybody. But if you want a little warmth, a little tenderness, a shoulder to cry on, a smile to cuddle up with, you have to hide in dark corners, like a criminal. Pfui.

After Watch, I Listen: The Beatles – Ticket To Ride

 

 

Planet of The Apes – Gengsi pada Teori Evolusi

Tags

, , ,

Planet of the Apes (1968) Original One-Sheet Movie Poster - Original Film Art - Vintage Movie Posters

Franklin J. Schaffner

1968

Sains Fiksi

Charlton Heston berlutut di pantai, tinjunya menghantam pasir, mengutuk umat manusia di depan Patung Liberty yang setengah rontok. Ini adalah klimaks dari Planet of The Apes, salah satu shot adegan penutup paling berdaya takjub dalam sejarah perfilman.

Sejak tayangnya Planet of the Apes, sudah ada empat sekuel: sebuah reboot gagal yang dikerjakan Tim Burton, dan reboot lain yang kemudian lebih sukses sampai menghasilkan tiga sekuel. Belum lagi beberapa spin-off di media lain, termasuk komik, video game, dan serial televisi (baik live action maupun animasi), dan tentu saja parodi Simpsons.

Planet of The Apes merupakan salah satu film pertama yang menghasilkan bisnis merchandise berskala besar. Ini termasuk mainan dan barang koleksi, action figure, buku gambar dan cerita, komik, dan serangkaian novel grafis.

Yak, sebelum ada Star Wars ya, film ini sudah menciptakan semacam cerita penuh imajinasi yang betul-betul dirayakan di jagat sinema.

Harus diakui, kini pamornya tidak seawet Star Wars memang. Memori publik terhadap film ini agak lumer. Selain adegan ending-nya, detail film secara keseluruhan tak menjadi sesuatu yang betul-betul dikenang orang. Padahal, Planet of The Apes merupakan sci-fi yang cukup menegangkan dengan aspek satir cerdik mengungkap dan mengeksplorasi kecemasan sosial pada masanya.

Dirilis pada tahun 1968, Planet of the Apes adalah bagian dari gelombang film segar yang cenderung eksperimental, kemudian dikenal sebagai gelombang New Hollywood. Berbagai ciri khas zaman itu dapat ditemukan di sini. Soundtrack dari Jerry Goldsmith misalnya, menolak konvensionalitas demi menciptakan nada-nada meresahkan melalui skor berorientasi perkusi yang penuh dengan suara disonan dan ritme tidak teratur.

Sebagian besar adegan film ini pun diambil secara on-loc di Arizona daripada di studio, lanskapnya yang berdebu bisa membangkitkan perasaaan keterpencilan dalam sebuah planet asing.

Planet of The Apes berasal dari novel buatan Pierre Boulle yang pendiam. Ia merupakan seorang insinyur sebelum banting profesi jadi penulis. Di antara dua pekerjaan itu, diam-diam menyelinap pekerjaan ketiga yang sangat cocok untuk para pendiam: mata-mata. Jadi, Boulle bekerja sebagai insinyur di perkebunan karet di Malaysia selama Perang Dunia II, lalu beroperasi sebagai agen rahasia dengan paspor Inggris palsu.

Setelah menekuni karier sebagai penulis setelah perang—selalu menulis dengan tangan—pengalaman itu mengilhami karya pertama dari dua karyanya yang paling terkenal: The Bridge Over the River Kwai (1952). Ini buku terlaris internasional yang oleh David Lean dibawa ke layar lebar lima tahun kemudian. Versi film adaptasinya kemudian memenangkan tujuh Oscar, termasuk Skenario Adaptasi Terbaik untuk Boulle sendiri, terlepas dari kenyataan bahwa bukan ia yang mengembangkan naskah filmnya (penulis aslinya masuk daftar hitam karena dinilai terlibat komunisme).

Jadi, ketika Boulle menulis The Planet of The Apes (1963), ia sudah tidak asing dengan kesuksesan. Novel ini berlatar tahun 2500, ketika tiga astronot terdampar di sebuah planet. Ada manusia di sana, tapi anehnya mereka hidup di alam liar seperti binatang, sementara justru ada spesies seperti kera yang hidup lebih beradab dan berkuasa. Kondisinya terbalik dengan apa yang mereka alami di bumi.

Sepanjang plot novel, Boulle menunjukkan pengetahuannya tentang sains. Ia selalu mengamati sesuatu dari sudut pandang ilmiah. Sangat kuat dalam matematika, fisika, astronomi. Pesawat ruang angkasa dalam kisahnya melakukan perjalanan dengan tingkat kecepatan cahaya yang memungkinkannya mempraktikkan prinsip pelebaran waktu menurut relativitas Einstein. Novel ini juga mengkaji konsep-konsep seperti layar matahari yang didorong oleh radiasi bintang, hingga humanisasi kera.

Ruwet pokoknya, saya juga tidak paham.

Ide sentral dari novel ini memang fiksi ilmiah murni, eksplorasi spekulatif dari konsep ilmiah saat Boulle mengamati kawanan kera saat mengunjungi kebun binatang. Dan menurut ahli primata dari Universitas St. Andrews Josep Call, isi novel itu cukup akurat: “Anatomi kera bukanlah halangan untuk mengembangkan fungsi kognitif superior yang mencakup, antara lain, perencanaan masa depan, penggunaan dan pembuatan instrumen, berbagai jenis memori, dan penalaran inferensial,”katanya.

Namun, Call mengklarifikasi, kita tidak boleh jatuh ke dalam kesalahan berpikir bahwa kera berevolusi menjadi manusia: “Gagasan tentang evolusi terarah adalah salah.”

Salah-benar terserah sajalah, saya pusing.

Produser Arthur P. Jacobs membeli hak memfilmkan naskah tersebut bahkan sebelum novelnya dirilis—meskipun perlu beberapa tahun lagi sebelum syuting dimulai. Sepanjang persiapan, dua penulis naskah Hollywood, Rod Serling dan Michael Wilson, bekerja merestrukturisasi cerita Boulle untuk membentuk susunan naskah yang bisa mempertahankan dasar latar belakang narasinya tetapi berbeda secara bentuk.

Awalnya, yang menulis adalah Serling—pencipta The Twilight Zone, tapi hasilnya sempat ditolak karena sejumlah alasan. Yang utama ya soal biaya, karena masyarakat kera berteknologi maju yang digambarkan oleh naskah Serling harus melibatkan set, properti, dan efek khusus yang mahal.

Maka, bergabunglah Michael Wilson—yang sempat masuk daftar hitam juga karena keterlibatan politik kiri—untuk menulis ulang naskah Serling. Selain menggubah dialog-dialognya, seperti yang disarankan oleh sutradara Schaffner, masyarakat kera di naskah itu dibuat lebih primitif–sebagai cara untuk mengurangi biaya produksi. Dalam novel, masyarakat kera memang secara teknologi sebanding dengan manusia tahun 1950-an atau 1960-an, dengan kota, mobil, televisi, dan teknologi lain yang tersisa dari populasi manusia di planet itu. Namun, anggaran mereka tidak dapat mengakomodasi gambaran cerita tersebut.

Film sains fiksi bergaya kolosal seperti ini memang masih belum terlalu terbayangkan di dekade 70-an. Masih rentan jadi aneh atau wagu. Makanya, pertimbangan untuk mendanainya pun panjang, proposalnya harus bekerja keras. Untuk meyakinkan Fox Studio bahwa film Planet of the Apes memungkinkan dikerjakan, produser pun harus merekam dulu adegan singkat dari draf naskah Serling.

Tidak usah bicara set. Tim make-up-nya saja harus terdiri dari lebih dari 80 make-up artist. Bila disesuaikan dengan inflasi, film itu memegang rekor dunia untuk anggaran make-up tertinggi, melahap sekitar 17% dari total anggaran.

Semua aktor kera dan figuran diharuskan memakai topeng mereka, bahkan saat istirahat dan di sela-sela pengambilan gambar karena butuh banyak waktu untuk meriasnya. Makanya, mereka cuma bisa makan makanan yang dicairkan dan diminum melalui sedotan.

Lucunya, selama jeda syuting, para aktor yang dirias sebagai kera cenderung berkumpul bersama sesuai spesies karakternya. Gorila dengan gorila, orangutan dengan orangutan, simpanse dengan simpanse. Itu tidak diatur atau disuruh, melainkan terjadi begitu saja. Natural. Apakah mereka kesurupan monyet Ragunan? Entah. Tapi ini patut diteliti.

Pokoknya, versi filmnya sedikit lebih banyak menampilkan sisi action, menyimpang dalam banyak hal dari novel, termasuk penambahan ending yang berbeda.

Planet of the Apes: 1968 Original Worried About Audiences Laughing

Sebenarnya, ada tiga ending lain yang diusulkan. Tetapi, yang paling disukai Heston–pemeran karakter utama, George Taylor–yang akhirnya menang. Dan itu adalah ending yang ditulis sendiri oleh Serling, yang kemudian jadi salah satu ending film yang legendaris

Meski, ada beberapa perubahan. Konon, tadinya versi ending itu mau menampilkan si patung Liberty terkubur sampai ke hidungnya di tengah hutan. Ada juga rencana menggambarkan patung itu hancur  berkeping-keping. Yah, mungkin takut disemprit sama “polisi nasionalis”-nya AS ya.

Ada upaya sensor juga untuk mengedit adegan terakhir karena kata-kata kotor yang keluar dari mulut karakter Taylor. Tetapi, Heston dapat berargumen bahwa karakternya itu sebenarnya meminta Tuhan untuk mengutuk mereka yang bertanggung jawab atas kehancuran dunia, supaya nama Tuhan tidak digunakan sia-sia.

Gimana dengan Boulle? Rumornya, ia sempat kecewa dengan ending aslinya yang diubah, tetapi belakangan bisa menerimanya, bahkan lebih menyukai ending ini dibanding yang ia bikin sendiri di novel.

Planet of The Apes dapat diidentifikasi sebagai produk konteks sosial kontrakulturalisme yang lebih luas. Estetika apokaliptik film tersebut melukiskan planet ‘tidak dikenal’ ini sebagai bumi pasca-perang nuklir, diliputi refleksi ketakutan akan bom oleh masyarakat yang hidup melalui perlombaan senjata berbahaya yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Masyarakat kocar-kacir yang Heston temukan di planet ini, di mana spesies kera canggih bisa berbicara memerintah sementara insan manusia justru bisu dan buas, berfungsi sebagai alegori subversif untuk relasi antar ras, dan karenanya mencerminkan ketegangan di AS saat perjuangan Hak Sipil sedang berlangsung.

Pergolakan sosial di akhir tahun 60-an membuat alegori ini memang dapat diperluas untuk mencerminkan lanskap sosial secara umum. Kelompok generasi muda yang kurang mampu membantu akhirnya membentuk kembali dinamika tradisional dalam masyarakat. Bagi generasi yang lebih tua yang terbiasa dengan konservatisme tahun 1950-an, pasti terasa seolah-olah masyarakat dirusak oleh spesies hippies, feminis, dan bintang rock yang benar-benar baru dan aneh. Dalam pengertian ini, Planet of the Apes adalah ekspresi ketakutan yang dirasakan oleh tatanan istimewa yang mapan dari generasi baru ini, dan keinginan mereka untuk mengenyahkan segalanya.

Performa Heston sangat penting di film ini. Ia sukses membangun persona bintang dalam prototip laki-laki alfa putih macho tradisional ala epos seperti Ben Hur (1959) dan Ten Commandments (1956). Kembali ke jenis pahlawan dahulu kala. Yah, dari daftar film yang dibintanginya, sedikit menjelaskan kenapa saya tidak terlalu suka Heston. Film-filmnya jauh dari genre kesukaan saya.

Tapi, banyak orang suka. Dalam berita kematiannya untuk aktor tersebut, kritikus film Roger Ebert mencatat, “Heston membuat setidaknya tiga film yang akhirnya ditonton hampir semua orang: Ben-Hur, Ten Commandments dan Planet of The Apes.”

Richard Corliss menulis di majalah Time, “Dari awal hingga akhir, Heston adalah anakronisme yang agung dan kasar, simbol zaman ketika Hollywood menganggap dirinya serius, ketika para pahlawan berasal dari buku sejarah, bukan buku komik. Epos seperti Ben-Hur atau El Cid tidak dapat diciptakan hari ini, sebagian karena budaya populer telah berubah. Juga, terutama karena tidak ada orang yang seperti Charlton Heston untuk mewujudkan perawakan, semangat, dan keberaniannya.”

Terlepas dari sentuhan New Hollywood, plot dan gaya penceritaan Planet of The Apes umumnya masih mengikuti model studio lama, terutama garis cerita petualangannya, dengan banyak adegan pengejaran, perkelahian, dan bahkan romansa.

Ini tidak berarti Planet of The Apes hanya semacam konservatisme reaksioner, justru sebaliknya. Sekali lagi, ending-nya masih mencengangkan meskipun sudah familiar. Keputusan brilian untuk mengiringi pengungkapan dalam cerita ini dengan keheningan yang mencengangkan. Ending-nya mengundang kita mempertanyakan semua yang baru saja kita lihat.

Meskipun kera-kera di film ini digambarkan sebagai antagonis bagi Heston dan manusia. tetapi ending-nya menjelaskan bahwa manusia sebenarnya adalah arsitek kejatuhannya sendiri. Tiba-tiba status manusia sebagai pahlawan justru direndahkan, dan nilai-nilai dari apa yang mereka dan Heston wakili dipertanyakan. Planet of the Apes memunculkan pertanyaan yang menggugah pikiran tentang budaya umat manusia.

Film ini banyak menyinggung Teori Evolusi. Itu lho, teori yang bilang manusia itu berasal dari kera—simplifikasi, tapi biar cepet. Teori Evolusi ini memang saya dapati agak marak diungkit di Hollywood 60-an. Salah satunya yang secara khusus bahas itu adalah film Inherit The Wind (1960), terinspirasi sebauh persidangan tahun 1925 yang terkenal, di mana seorang guru sekolah menengah– dibintangi Spencer Tracy –ditangkap  dan dituntut karena mengajarkan teori evolusi Charles Darwin.

Dari yang saya pelajari, Teori Evolusi dan Seleksi Alamnya Darwin ini memang mulai diperbincangkan lagi secara universal di dekade 50-an, bahkan diajarkan di sekolah beberapa negara. Boleh percaya atau tidak dengan ajarannya, tapi ini salah satu teori paling populer sekaligus berpengaruh di dunia.

Darwin bukan orang pertama yang mengemukakan pemikiran tentang evolusi spesies (salah satu yang mendahuluinya adalah kakeknya sendiri). Namun, hipotesis-hipotesis sebelumnya tak pernah diterima secara luas karena tak ada penjelasan memuaskan soal proses terjadinya evolusi. Sumbangan besar Darwin adalah bahwa dia tak hanya menyajikan mekanismenya—seleksi alam—melainkan juga sejumlah besar bukti meyakinkan.

Pengaruh Darwin pada pemikiran manusia sungguh mendalam. Ia mengubah nyaris seluruh bidang biologi. Seleksi alam merupakan prinsip yang berlaku luas dan telah diterapkan pada bidang lain seperti antropologi, sosiologi, politik, dan ekonomi. Lebih penting, teori Darwin juga menyasar pada pemikiran religius. Banyak orang Nasrani percaya bahwa menerima teorinya akan menggerogoti kepercayaan pada agama. Darwin sendiri adalah seorang agnostik.

Bahkan, di tingkat sekuler, teori Darwin mengakibatkan perubahan besar dalam cara manusia memandang dunianya. Ras manusia sebagai satu keseluruhan tak lagi menempati posisi sentral dalam skema alami dunia ini. Mereka hanyalah satu spesies diantara spesies lain, dan ada kemungkinan suatu saat akan tersisih.

Nah, cara pandang baru ini yang menjadi fondasi dari kisah Planet of The Apes.

Pada 2017, aktor-komedian Tim Allen men-tweet sebuah pertanyaan yang dijadikan bahan tertawaan ilmuwan, tapi cukup menarik bagi orang awam: “Jika kita berevolusi dari kera, mengapa masih ada kera?”

Jawaban singkatnya, “Kita tidak berevolusi dari hewan mana pun yang hidup saat ini,” kata Zach Cofran, seorang antropolog. Artinya, manusia tidak berevolusi dari gorila yang kita lihat di masa lalu. kebun binatang atau simpanse yang kita jepret saat bersafari. “Kesalahpahaman yang umum terjadi adalah melihat kera tinggal selangkah lagi untuk menjadi manusia.”

Darwin menggambarkan evolusi adalah ’keturunan dengan modifikasi’”. Itu berarti manusia adalah keturunan dari nenek moyang kera biasa (dan sekarang sudah punah) yang hidup jutaan tahun lalu. Meskipun kita berbagi nenek moyang dengan hewan ini, selama jutaan tahun, kita semuanya berubah. Perbedaan manusia dari garis keturunan kera terjadi antara 9,3 dan 6,5 juta tahun yang lalu.

Intinya, tetap semua manusia adalah kera, dan semua manusia berkerabat dengan kera lainnya. Konsep keterkaitan universal ini sebenarnya sangat rendah hati, karena jika dipikir-pikir, kita berbagi nenek moyang dengan hampir semua yang hidup di bumi. Dengan kata lain, kita semua adalah keturunan dari satu spesies yang hidup berjuta-juta tahun yang lalu. Itu juga berarti manusia berkerabat dengan kuda laut, bajing lompat, keledai, dan bakteri.

Cofran menyebut kesalahpahaman umum lainnya, yaitu bahwa manusia tidak lagi berevolusi. Semua hewan di Bumi terus berevolusi, termasuk manusia. Masalahnya, kita cenderung melihat evolusi berpusat pada manusia. Padahal, tujuan evolusi bukanlah untuk menjadi manusia, dan makhluk yang terlihat lebih “primitif” juga tidak berada di jalur untuk menjadi manusia.

“[Kita bukan] puncak evolusi,” kata Cofran. “Adalah kesalahpahaman untuk percaya bahwa segala sesuatu berkembang menuju manusia.” Faktanya, katanya, evolusi sebenarnya tidak memiliki tujuan. “Sebagai masyarakat, kita telah menanamkan istilah evolusi dengan banyak beban sosial, di mana kita menganggap evolusi sebagai semacam peningkatan.”

Padahal, tidak.

Di sisi lain, banyak orang, termasuk ilmuwan, menolak teori evolusi, “Saya tidak berasal dari monyet.” Tentu saja, sebagian berangkat dari kesalahpahaman, karena kita memang tidak diturunkan dari primata modern. Sebenarnya, lebih seperti sepupu jauh, namun masih dalam keluarga yang sama.

Planet of The Apes menunjukkan gengsi mendalam orang-orang untuk melihat diri mereka sebagai bagian dari rumpun satwa. Berkat prevalensi pandangan ini, tunduk pada gorila mungkin merupakan masa depan yang paling distopia yang bisa dibayangkan.

Elemen distopia lain adalah kesepian mendalam yang dialami karakter Heston dalam film tersebut. Itu lahir dari isolasi yang kejam. Ia dikelilingi manusia, tetapi hampir tidak bisa berkomunikasi dengan mereka karena mereka telah berpindah ke keadaan keberadaan non-verbal. Jadi Heston tidak hanya tunduk pada sekelompok kera yang naik kuda, membawa senjata, berpakaian norak, yang bisa berbicara. Ia juga dikelilingi umatnya sendiri yang tidak berdaya.

Pertanyaan lebih menarik: ‘Apakah manusia benar-benar spesies yang baik untuk planet kita?’

Seni dan film tidak pernah bisa menggantikan atau setara dengan sains, tapi Planet of The Apes membuktikan bahwa sinema bisa melengkapi sains.

Best Lines:

George Taylor: There’s your Minister of Science; honor-bound to expand the frontiers of knowledge…

Dr. Zira: Taylor, please!

George Taylor: …except that he’s also chief Defender of the Faith!

After Watch, I Listen:

Pink Floyd – The Great Gig on The Sky

In Cold Blood – Perampokan Berdarah dalam Novel Non-Fiksi

Tags

, , ,

In Cold Blood (1967) Original Thirty by Forty Movie Poster - Original Film Art - Vintage Movie Posters

Richard Brooks

1967

Crime

Apa yang kalian pikirkan setiap membaca berita perampokan yang sadis? Harta dikuras, penghuni rumah dibunuh secara biadab, mungkin ada yang diperkosa dahulu, lantas ditinggal kabur. Ini jenis berita yang membuat kita pesimis terhadap manusia. Dunia terasa tak layak lagi ditinggali, bukan karena faktor eksternal seperti bencana alam atau krisis iklim, tapi karena manusia seakan tidak lagi bisa membedakan batasan hitam-putih moralitas paling mendasar. Kita menjadi lebih mudah curiga dengan tetangga, masyarakat, sesama.

Di Amerika Serikat, seorang penulis bernama Truman Capote pernah melakukannya. Bukan “merampok”-nya ya, tapi pernah berhasil membuat warga negaranya ketakutan setiap hari. Biangnya adalah novelnya berjudul In Cold Blood.

In Cold Blood menceritakan sebuah kisah nyata: perampokan keji dan berdarah dingin yang dilakukan duet bandit, bernama Richard Eugene “Dick” Hickock dan Perry Edward Smith. Mereka merampok rumah keluarga tani kaya Herbert Clutter dengan rancangan rencana yang tampaknya serba matang.

Setelah berkendara lebih dari 400 mil melintasi Kansas pada 1959, Dick dan Smith menemukan rumah keluarga Clutter, lalu masuk melalui pintu yang tidak terkunci saat keluarga itu tidur. Semuanya berjalan baik bagi rencana perampokan itu, tidak ada sheriff, hansip, satpam, anjing bulldog, alarm, CCTV yang punya fitur tersambar halilintar, dll. Semua terkendali, semua sesuai rencana…

… kecuali satu hal.

Clutter ternyata tidak punya brankas uang, karena ia selalu mentransaksikan semua urusan bisnisnya menggunakan gopay  cek. Artinya, tidak ada harta yang bisa diambil.

Setelah membangunkan keluarga Clutter dan menyadari tidak ada brankas, Dick dan Smith mengikat para anggota keluarga itu. Mereka terus mencari apa saja yang bisa diambil, tetapi hanya menemukan sedikit barang berharga. Karena kecewa dan panik, mereka akhirnya malah berdebat. Smith, yang mentalnya kurang stabil, menggorok leher dan menembak kepala Herbert Clutter.

Dalam pengakuannya di sekuens belakang, “Saya tidak ingin menyakiti pria itu. Saya pikir dia pria yang sangat baik. Bicaranya lembut. Saya berpikir begitu sampai saya (betul-betul) menggorok lehernya.”

Kadung panik, Dick dan Smith lalu sekalian membunuh seisi keluarga itu: istri dan dua anak. Kedua pendosa itu lalu kabur meninggalkan TKP hanya dengan membawa pulang radio portabel kecil, sepasang teropong, dan uang tunai kurang dari 50 dolar AS. Hasil rampokan kelas copet terminal itu sangat tidak sebanding dengan direnggutnya empat nyawa tidak bersalah.

Singkat cerita, berkat “aduan” mantan kenalan Dick di penjara, kedua perampok itu diidentifikasi sebagai tersangka dan ditangkap di Las Vegas. Dan mereka akhirnya mengakui segalanya setelah diinterogasi.

Dick dan Smith dibawa kembali ke Kansas, diadili bersama di gedung pengadilan pada tahun 1960. Mereka berdua sempat mengaku gila di persidangan, tetapi dokter umum setempat mengevaluasi terdakwa dan menyatakan mereka waras.

Pengacara pembela meminta pendapat seorang psikiater berpengalaman dari rumah sakit jiwa lokal yang mendiagnosis gejala penyakit mental pada Smith. Ia juga merasa cedera kepala Dick sebelumnya dapat memengaruhi perilakunya.

Pendapat ini tidak diterima dalam persidangan.Juri berunding hanya selama 45 menit untuk memutuskan Dick dan Smith bersalah. Keyakinan para juri menghasilkan hukuman mati. Di tingkat banding, Smith dan Dick menentang keputusan bahwa mereka waras, menegaskan bahwa liputan media tentang kejahatan dan persidangan telah membuat juri bias, dan mereka merasa menerima bantuan yang tidak memadai dari pengacara. Banding ini diajukan tiga kali ke Mahkamah Agung Amerika Serikat, tapi tak berhasil mengubah vonis.

Smith dan Dick akhirnya dieksekusi dengan cara digantung pada 1965. Dick dieksekusi terlebih dahulu, dinyatakan meninggal pada pukul 12:41 siang setelah digantung selama hampir 20 menit. Smith menyusul tak lama kemudian, dinyatakan meninggal pada pukul 1:19 siang.

Selama beberapa bulan pertama persidangan ini, kasus pembunuhan Dick dan Smith tidak diperhatikan kebanyakan orang Amerika. Baru beberapa bulan sebelum eksekusi, mereka menjelma menjadi salah dua pembunuh paling kondang di dunia. Karena kebrutalan dan beratnya kejahatan, persidangan diliput secara internasional, diskusi tentang hukuman mati dan penyakit mental mulai merebak. Majalah Time pun menerbitkan edisi bertajuk “Kansas: The Killers“.

Terinspirasi oleh artikel tersebut, Truman Capote menuliskan topik yang sama, diserialkan di The New Yorker. Pada tahun 1966, serial itu diterbitkan sebagai “novel non-fiksi,” berjudul In Cold Blood. Genre-nya disebut true crime: penulis meneliti aksi kriminal yang betulan terjadi, merinci tindakan tokoh-tokoh nyata yang terkait.

Capote melakukan penelitian besar-besaran untuk buku tersebut. Ia bahkan mengajak teman masa kecilnya, Harper Lee –betul, penulis To Kill a Mockingbird—untuk  membantu mendapatkan kepercayaan dari penduduk setempat di Kansas.

Capote juga melakukan wawancara pribadi dengan Smith dan Dick–sebelum mereka dieksekusi. Di antara keduanya, Smith yang secara khusus membuat Capote terpesona. Dalam novel itu, Smith digambarkan sebagai sosok yang lebih sensitif dan melankolis dibanding Dick.

Wrap Shot: In Cold Blood - The American Society of Cinematographers (en-US)

Novel In Cold Blood sangat laris, merupakan novel crime terlaris kedua dalam sejarah, di belakang Helter Skelter (1974) karya Vincent Bugliosi tentang pembunuhan Charles Manson. In Cold Blood dipuji karena unsur prosanya yang fasih, detail yang kaya, dan alur narasi unik yang menggambarkan kehidupan pembunuh, korban, dan anggota komunitas pedesaan lainnya dalam urutan bergantian. Elemen psikologi dan latar belakang Dick dan Smith diberi perhatian khusus, seperti hubungan kompleks pasangan itu selama dan setelah pembunuhan. In Cold Blood dianggap para kritikus sebagai salah satu karya perintis dalam genre true crime, meskipun Capote kecewa karena buku tersebut gagal memenangkan Penghargaan Pulitzer.

Lewat buku In Cold Blood, Capote mengklaim menemukan bentuk baru “novel nonfiksi.” Perkembangannya dalam bentuk yang digambarkannya menggabungkan linearitas jurnalisme “horizontal” dengan “vertikalitas” fiksi bisa membawa pembaca lebih dalam, dan jauh lebih dalam, menyelami karakter dan peristiwa.

In Cold Blood memang tidak konvensional pada masanya. New Journalism (Jurnalisme Baru), sebagai sebuah genre dan gaya penulisan, berkembang selama masa penulisan In Cold Blood. Capote menjadi pionir dalam menunjukkan bagaimana genre ini dapat digunakan secara efektif untuk membuat cerita non-fiksi yang unik. Jurnalisme baru dicirikan dengan perspektif subjektif, gaya sastra yang mengingatkan pada format non-fiksi panjang. Reporter menyisipkan bahasa subjektif dalam lautan fakta sambil membenamkan diri dalam cerita saat mereka melaporkan dan menulisnya—sementara dalam jurnalisme tradisional, jurnalis “dilarang terlihat”, fakta wajib dilaporkan secara objektif.

Dalam jurnalisme baru, dimungkinkan juga bagi Capote menulis cerita non-fiksi saat peristiwa nyatanya masih terus berkembang menghasilkan fakta-fakta baru. Inilah yang dilakukan Capote ketika mengikuti persidangan dan mewawancarai orang-orang terdekat dari keluarga Clutter. In Cold Blood disusun dari jurnalis, dan lahir dari novelis.

Maka, bila ingin difilmkan, sutradara yang tepat memang adalah Richard Brooks.

Brooks punya jejak rekam sebagai wartawan olahraga dan radio. Ia sempat menulis buku yang diadaptasi menjadi film Crossfire (1947). Itu adalah film Hollywood populer pertama yang mengangkat topik anti-Semitisme. Novel itu juga menarik perhatian produser independen Mark Hellinger yang kemudian mempekerjakan Brooks sebagai penulis skenario.

Bekerja untuk Hellinger membawa Brooks kembali ke industri film—dan menjalin persahabatan dengan Humphrey Bogart. Selain banyak menyumbang naskah—beberapa tanpa kredit—Brooks menyutradarai film berjudul Blackboard Jungle (1955) yang dibintangi Glenn Ford. Ini film yang mempresentasikan kenakalan remaja pada zamannya, memperkenalkan lagu perintis genre rock & roll, “Rock Around the Clock” dari Bill Haley and the Comets. Skenario Blackboard Jungle dinominasikan di Oscar, dan sukses menjadi penghasil uang teratas MGM tahun itu.

Pada tahun 1955, Brooks merupakan satu dari empat sineas auteur AS yang disebut sebagai “pemberontak” oleh majalah Prancis Cahiers du Cinéma—sirkel elitnya gerakan French New Wave. Meski meraih kesuksesan box-office, tapi Brooks merasa tidak akan pernah memiliki kendali penuh atas film-filmnya saat berada di bawah kontrak. Ia bertekad menghindari penulisan skenario asli dan fokus pada adaptasi buku terlaris atau novel klasik. Mengadaptasi sebuah novel dirasanya bisa memberi awal yang baik untuk mengembangkan struktur cerita yang diperlukan untuk sebuah skenario.

Salah satu hasil terbaiknya adalah adaptasi dari naskah drama bermuatan seksual, Cat on a Hot Tin Roof (1958). Ini sebuah film laris lainnya untuk MGM, menghidupkan kembali karier Elizabeth Taylor, dan meroketkan aktor Paul Newman. Brooks pun akhirnya meraih nominasi Oscar pertamanya untuk kategori Best Director dan Best Picture. Saya sendiri kurang suka dengan Cat on a Hot Tin Roof (1958) karena merasa atmosfer ala opera sabunnya terlalu kental, meski temanya menarik.

Brooks sering bentrok dengan kebijakan studio tentang tampilan, nuansa film, dan cerita yang disajikan. Tujuannya sebagai pembuat film adalah kontrol total produksi, dan ia cukup bisa mencapai itu setelah kesuksesan Cat on a Hot Tin Roof. Brooks dikenal sebagai sutradara yang sat set dan efisien, serta beroperasi dengan anggaran ketat.

Kembali menolak langkah metodis yang bisa memperlambat produksinya, Brooks  bekerja cepat ketika mengadaptasi “novel nonfiksi” In Cold Blood. Namun, sebagai mantan reporter, Brooks terdorong melakukan penelitiannya sendiri tentang kasus perampokan itu.

Capote sendiri memilih Brooks karena, “ia adalah satu-satunya sutradara yang setuju dan bersedia mengambil risiko dengan konsep saya sendiri tentang bagaimana buku itu harus ditransfer ke film.” Baik Brooks dan Capote menginginkan film tersebut direkam dalam warna hitam dan putih, yang pada tahun 1967 masih menandakan keselarasan dengan realisme dokumenter. Mereka juga bersikeras memilih aktor yang tidak dikenal. Ketika Capote mengunjungi lokasi syuting lalu pertama kali melihat Robert Blake dan Scott Wilson yang dipilih Brooks untuk memerankan Dick dan Smith, ia terpesona. Padahal, seperti yang diingat Brooks, Columbia menginginkan Paul Newman dan Steve McQueen untuk peran tersebut.

Skenario Brooks sebenarnya mengikuti struktur novel Capote dengan cermat, meskipun ada sedikit detail yang ditambahkan. Misalnya, dalam adaptasi filmnya, Brooks bermaksud mengkritisi hukuman mati melalui percakapan antara Smith dan sipir penjara di akhir film. Pada adegan itu, Smith meminta izin untuk pergi ke toilet sebelum eksekusi, takut ia akan bikin malu di depan penonton.

Sesuai dengan keinginan Brooks mencapai realisme sebanyak mungkin, beberapa adegan difilmkan di di lokasi kejadian aslinya, termasuk pertanian keluarga Clutter yang jadi tempat pembunuhan terjadi. Keluarga yang tinggal di rumah Clutter dibayar 15 ribu dolar sebagai kompensasi untuk empat minggu pembuatan film. Izin syuting ditolak di penjara Kansas, sehingga interior ruang eksekusi direplikasi di studio Hollywood. Tali gantungan eksekusi dibeli dari lembaga pemasyarakatan, begitupun seragam petugas. Jamban sebenarnya di ruang tahanan Smith dan Dick juga dibeli dan dipasang di lokasi syuting.

Pokoknya Brooks tidak ragu membuat film ini sedekat mungkin dengan peristiwa aslinya. Foto keluarga yang terlihat di kamar-kamar rumah adalah foto asli anggota keluarga Clutter. Dick dan Smith dalam film membeli beberapa barang persiapan merampok di toko asli tempat pembunuh sebenarnya membeli barang mereka, bahkan penjaga tokonya pun sama. Tak tanggung-tanggung, dua pasang mata yang ada di poster filmnya bukan milik Blake dan Wilson, melainkan mata pembunuh yang sebenarnya.

Kritikus Roger Ebert menilai, “At times one feels this is not a movie but a documentary where the events are taking place now”. In Cold Blood yang memuat gaya dokumenter dianggap sebagai salah satu film 1960-an yang berhasil menyuguhkan gaya Hollywood yang lebih dewasa.

Sejak awal, Brooks bersikeras film dari sebuah buku yang terkenal karena ketelitian penelitian penulisnya harus bisa menyamai atau mengunggulinya dalam menciptakan efek yang realistis. Pilihan kru dari Brooks pun dinilai dari kemampuan mereka menghadirkan kualitas yang akan dirasakan oleh penonton sebagai film yang lebih dekat dengan pengalaman mentah daripada film arus utama pada umumnya. Sinematografer Conrad Hall misalnya, sebelumnya bekerja untuk The Professionals (1966) dan serial TV The Outer Limits (1963–65). Ia sudah cukup terasah untuk mengombinasikan abstraksi fiksi dan unsur kedekatan dalam dokumenter.

Namun, tentu realisme di halaman novel dan realisme di layar lebar berarti berbeda. Sangat menarik melihat perbedaan ini dimainkan dalam film In Cold Blood. Brooks punya keunggulan dalam kekuatan visual, bagaimana ia memilih objek yang dimasukkan dalam gambar. Lokasi-lokasi dalam film memberikan akses instan penonton ke nuansa Amerika yang masih perlu dibangun secara logis oleh Capote kepada pembacanya.

Inovasi menentukan lain yang dibuat Brooks dalam mengadaptasi novel In Cold Blood adalah membangun motif visual dari ingatan dan halusinasi Smith tentang orang tuanya. Ketika Smith berlari ke ruang bawah tanah, menghadapi Clutter yang sedang terikat, adegan tembakan ayah Smith langsung disisipkan di sana, memberikan konfirmasi visual untuk gagasan bahwa pembunuhan Clutter adalah balas dendam Smith yang tidak disadari kepada ayahnya.

Brooks menempatkan In Cold Blood dalam tradisi personalnya tentang film jurnalisme. Ia memberi kesempatan karakter agen investigasi, Alvin Dewey berbicara sinis tentang wartawan dan surat kabar (“Suatu hari nanti, seseorang akan menjelaskan kepada saya motif surat kabar. Pertama, Anda berteriak, ‘Temukan bajingan itu.’ Sampai kami menemukan mereka, Anda ingin kami dipecat. Ketika kami menemukan mereka, Anda menuduh kami melakukan kebrutalan. Sebelum kita pergi ke pengadilan, Anda memberi mereka persidangan melalui surat kabar. Ketika kami akhirnya mendapatkan keyakinan, Anda ingin menyelamatkan mereka dengan membuktikan bahwa mereka gila sejak awal.”).

Setidaknya dalam dua adegan, karakter Smith menyinggung film The Treasure of the Sierra Madre (1948). Di film klasik itu, Blake kecil ternyata berperan sebagai tukang koran yang menjual tiket lotre kepada Humphrey Bogart. In Cold Blood mengingatkan pula Psycho (1960) dalam aspek-aspek tertentu: pembunuhan acak, horor jalanan, sebuah kota kecil yang dirundung kejahatan. Preseden lain untuk film Brooks adalah Anatomy of a Murder (1959) karya Otto Preminger, terkenal karena bahasanya yang jujur, dan juga diambil di lokasi terjadinya kisah kehidupan nyata. Untuk pembunuhan tanpa motif, saya tidak akan pernah lupa Strangers on a Train (1951).

Setelah menyelesaikan novel dan mewawancarai Dick dan Smith, Capote menyatakan menentang hukuman mati. Namun, Brooks melangkah lebih jauh dari Capote dalam mengutuk hukuman mati.  Pada adegan terakhir, diperlihatkan Smith mengira algojonya adalah ayahnya. Ini menggarisbawahi poin utama Brooks: hukuman mati adalah pembunuhan. Ditanyai nama algojo oleh wartawan, Alvin Dewey selaku agen investigasi menjawab, “We the people.” Skor akhirnya seperti yang dihitung oleh sang wartawan: “Empat orang yang tidak bersalah dan dua orang yang bersalah dibunuh.”

Brooks juga lebih menebar empati kepada Smith. Saat akan pergi ke tiang gantungan, Smith mengekspresikan ketakutan menyedihkan. Kemudian, dalam adegan yang mengharukan di samping jendela, ia mengingat-ingat ayahnya. Conrad Hall berkali-kali menceritakan bagaimana efek luar biasa dari pantulan air yang mengalir di wajah Blake tidak direncanakan sebelumnya.

Brooks memfilmkan eksekusi itu dengan penuh pesona. Ia memilih bidikan subjektif dari sudut pandang Perry. Teror yang dialaminya saat menaiki tiang gantungan terasa. Di satu bagian, Perry berputar untuk memperhatikan setiap detail dari persiapan yang sedang berlangsung.

Sidang dalam kasus ini banyak dikutip sebagai contoh dari keterbatasan aturan M’Naghten yang digunakan untuk menentukan apakah seorang penjahat waras atau tidak. Dalam Intention – Law and Society, James Marshall lebih jauh mengkritik aturan M’Naghten, mempertanyakan prinsip-prinsip psikologis yang menjadi dasar aturan tersebut. Ia menyatakan, aturan M’Naghten didasarkan pada hipotesis yang salah bahwa perilaku hanya didasarkan pada aktivitas dan kapasitas intelektual.

Film In Cold Blood berusaha tidak hanya menyajikan realitas tetapi menebusnya. Ini membuat versi filmnya terasa lebih “abad pertengahan”. Sikap perlawanan Brooks terhadap hukuman mati, oposisinya terhadap penegakan hukum dan peradilan pidana, serta asumsinya tentang sudut pandang subjektif Perry mungkin terasa kurang modern daripada netralitas Capote.

Namun, tenggelam dalam visual gaya AS dekade 1960-an, film In Cold Blood berhasil membuat audiens lebih kecewa, lebih putus asa, daripada novelnya. Brooks tidak melihat apa pun di masa depan kecuali pengulangan yang tidak berarti, produksi massal pembunuhan. Kekerasan dan teror pembunuhan, kurangnya motif yang jelas, dan penggambaran para korbannya sebagai warga biasa membuat kasus ini menjadi tengara psikis yang mengerikan bagi banyak orang, terutama mereka yang berpikir atau takut masyarakat AS di ambang keruntuhan.

Jika penangkapan, penghukuman, dan eksekusi Smith dan Dick gagal meredakan kecemasan semacam itu, salah satunya karena novel dan film In Cold Blood merasuk dalam kesadaran massa. Kisah ini menunjukan jenis kemalangan dan kekejaman yang menjadi ciri kedua pembunuh itu terus hidup.

Pada tahun 2009, 50 tahun setelah pembunuhan Clutter, Huffington Post menyurvei warga Kansas tentang efek persidangan tersebut, dan pendapat mereka tentang In Cold Blood. Banyak responden mengatakan, mereka mulai kehilangan kepercayaan pada orang lain, pintu terkunci, hubungan antar tetangga memburuk.

Sementara itu, mungkin upaya Brooks membuat film ini begitu dekat dengan aslinya berujung mengejutkan. Pada bulan Maret 2005, Blake–aktor yang memerankan Smith–divonis telah membunuh istrinya sendiri.

Ternyata, memang terlalu dekat dengan aslinya.

 

Best Lines:

Perry: That was stupid – stealin’ a lousy pack of razor blades! To prove what?

Dick: It’s the national pastime, baby, stealin’ and cheatin’. If they ever count every cheatin’ wife and tax chiseler, the whole country would be behind prison walls.

After Watch, I Listen:

Jimi Hendrix – Voodoo Child

10 Lagu Terbaik di Tahun 2023

10. Militarie Gun – Do It Faster

1 menit 47 detik, singkat dan melekat, sebuah nomor hardcore melodius uplifting dari unit asal Los Angeles. Telan, kala merasa hidup kurang tergesa, rencana malah penunda. Butuh banyak desakan, injak gas lebih dalam.

 

 

9. Foo Fighters – Under You

Foo Fighters masih menjaga tradisi tiap album baru selalu punya 1-2 single bagus–bilapun albumnya semenjana.

Kali ini ”Under You”, nomor rock alternatif yang catchy dan mudah dicintai–ala ”Learn To Fly”. Bisa dimulai dari lagu ini juga untuk mencicipi karya Foo Fighters yang part drumnya bekas tangan Dave Grohl sendiri.

 

 

8. Paramore – This Is Why

Masih belum rela Paramore bukan lagi unit emo atau pop punk? Bahkan, setelah mereka merilis album Paramore (lalu disusul After Laughter) yang bagus di tahun 2013 lalu?

Coba yang satu ini. Single album teranyar mereka yang meminjam warna musik Bloc Party. Ternyata, post punk pun bisa sebertenaga, juga semenyala-nyala ini dalam asuhan Hayley Williams.

*saat ini ditulis, isu Paramore bubar sedang ramai beredar, gara-gara seluruh postingan media sosial mereka hilang bersih~

 

 

7. Will Anybody Ever Love Me?

“Will anybody ever love me? / For good reasons, without grievance / Not for sport”

Musiknya kembali ke era album awal Sufjan Stevens, menyanyikan harapan naif mencari cinta tak bersyarat. Ternyata, musik folk yang depresif urusan asmara masih apik adanya.

 

 

6. What Was I Made For

Lagu dari soundtrack film Barbie yang secara musik paling tidak pinky: muram, murung, layu. Ibarat variasi warna monokrom di antara warna warni terang di album soundtrack tersebut. Malahan, jadi lagu paling kuat dibanding single lain dari film Barbie–mulai dari Dua Lipa, Nicki Minaj, Charli XCX, dll.

Apalagi, merenungi liriknya, dilema eksistensial dibungkus bahasa yang lugu amat fit untuk berangkat dari sebuah merek boneka yang selama bermasa-masa terus berpengaruh dan dipengaruhi zaman.

 

 

5. SZA – Kill Bill

Liriknya memang ambil referensi dari sinopsis film Quentin Tarantino itu:

“I might kill my ex, i still love him though / Rather be in jail than alone”

Tentang nafsu cemburu dan cinta mati yang melodramatik, dibawakan lewat paduan rap, r&b, dan doo woop. Menarik, karena lirik sarat kekerasan itu kontras dengan suara SZA dan melodi lagunya yang melankolis.

Berakhir jadi lagu tersukses SZA sejauh ini, dan ya mewakili sisi keji homosapiens: luka terpendam bersemai jadi dendam.

 

 

 

4. Kylie Minogue – Padam Padam

 

Ratu dance pop ini akhirnya bikin lagu yang mendekati kesuksesan single terbesarnya, “Cant Get You Out of My Head” dari 22 tahun lalu. Sampai ada istilah “padam-ic”” untuk menyebut fenomena viralitas lagu ini.

Semacam comeback tak terbayangkan bagi artis kawakan yang popularitasnya seakan tinggal berserah pada nyawa landainya, gaung ”Padam Padam” di platform medsos seperti Tiktok membangun jembatan antara pendengar lawas Minogue dengan gelombang pendengar baru Gen Z.

Lagu ini juga digandeng komunitas LGBT di sejumlah gerakan pride parades. Bahkan, konon frasa ”padam” diokupasi jadi gay codeword (meaki aku enggak terlalu paham maknanya ~)

 

 

 

 

3. Lana Del Rey – A&W

Judulnya bukan cuma dicomot dari nama franchise junk food enak itu, melainkan inisial dari “American Whore”.

Durasinya panjang, 7 menit, tapi seakan terdiri dari dua part. Komposisi mendayu khas Del Rey berubah di menit ke 4.08 ke komposisi trap dengan transisi aransemen ala film action.

Part kedua ini yang lebih mengesankan. Seperti ada character development dari narator di lirik tersebut. Membuat kisah pahit di “A&W” tentang biografi seorang perempuan pecandu seks di part satu batal jadi banal. Jenius.

 

 

 

2. Boygenius – Not Strong Enough

Artinya spesial, jikalau lagu indie rock yang dikerjakan kongsi indie heroes bisa bersaing dengan lagu-lagu ”diva” macam SZA, Olivia Rodrigo, Taylor Swift, Miley Cyrus, Billie Eilish di kategori Song of The Year dan Recording of The Year di Grammy Awards.

Lirik dengan kesadaran isu mental—respons terhadap lagu “Strong Enough” dari Sheryl Crow —dan musik folk rock bernapas country sudah familiar kita dengar masing-masing dari anggota supergrup ini: Lucy Dacus, Phoebe Bridges, dan Julian Baker. Tapi warna suara mereka yang berlainan, berganti-gantian masuk, membuat kerapuhan kolektif terdengar jauh lebih menarik.

 

 

 

1. Mitski – My Love Mine All Mine

Lagu tersukses Mitski. Mengantarkannya pertama kali masuk daftar Billboard 100, meski ia telah sejak lama punya nama mentereng di skena yang lebih tersaku.

“Nothing in the world belongs to me / But my love, mine all mine all mine”.

Dinyanyikan lewat balada piano ala Lana Del Rey–dalam taraf tertentu ini sangat Beatles–premis liriknya kira-kira menitipkan cintanya pada bulan, untuk diabadikan dan dipancarkan kembali bila kelak ia tiada. Ampun deh, cuma butuh 2 menit untuk sedemikian obsesif dan puitis.

”My Love Mine All Mine” membentuk gumpalan baru fans Mitski yang disebut-sebut fanatismenya nyaris selevel fans BTS atau Taylor Swift—bukan dari segi skala jumlah ya.

Apalagi, ada stereotip online berkata, perempuan pendengar Mitski terasosiasi dengan cewek redflag, cegil, sad girl, depresi, dll. Selalu menarik mitos-mitos kultural begini. Toh rayakan saja bila ini memang tahun-tahunnya cewek bendera merah… yang bukan Bu Ketum.

 

10 Album Terbaik di Tahun 2023

10. 100 gecs – 10,000 gecs

10,000 gecs - Album by 100 gecs | Spotify

Barangkali belum tahu, ada aliran musik relatif baru bernama hyperpop.

Konon lahir di Inggris di akhir 2010-an, anatomi aliran ini adalah musik elektronik yang mencampur adukan berbagai elemen aliran musik lain secara ekstrem, termasuk bubblegum pop, trance, eurohouse, dubstep, chiptune, emo rap, nu metal, cloud rap, J-pop dan K-pop. Dari timur ke barat, yang seakan tidak ada benang merahnya sekalipun.

Sebagai pergerakan, hyperpop sering dikaitkan dengan komunitas LGBTQ+. Banyak nama-nama prominen di baliknya merupakan transgender. Ciri modulasi vokal di hyperpop memang memungkinkan penyanyinya bisa memanipulasi warna suaranya, antara menjadi suara laki-laki atau perempuan.

Artis hyperpop yang sempat menembus kancah musik arus utama sih Charli XCX, tapi yang dianggap berpengaruh di ((skena)) di antaranya duo bernama 100 gecs, terutama setelah merilis album perdana berjudul 1000 Gecs (2019). Album itu membawa hyperpop ke rumusan yang paling ekstrem dan mencengangkan.

Tapi tak cukup. Di album keduanya, berjudul 10,000 gecs, duo ini meningkatkan tegangannya. Makin ekstrem, makin semrawut, makin kalibut, makin-makin. 100 gecs menjebloskan kanibalisasi dubstep, nu-metal, emo, pop-punk, dan apapun tanpa batasan. Bila tak ada istilah hyperpop, kita benar-benar akan kesulitan melabeli album ini.

Hebatnya, meski campur baurnya hiperbolik, tapi suasana yang terbangun dari keragaman musiknya tetap nyambung. Jika skena hyperpop makin besar ke depan, 10,000 gecs haram dilupakan.

Oiya, ada trivia pendek yang jenaka. Pada bulan Maret 2023, Fox News memutarkan salah satu lagu dari album ini, “The Most Wanted Person in United States” selama segmen outro sebuah program. Sang pembawa acara, Greg Gutfeld juga mengklaim 100 gecs adalah “band baru terbaik di luar sana”.

Ini agak ironis karena Fox News dikenal media sayap kanan yang anti-LGBTQ+. Sementara, Laura Les, vokalis 100 gecs adalah seorang transgender.

 

 

9. Young Fathers – Heavy Heavy

Young Fathers: Heavy Heavy Album Review | Pitchfork

Nomor “Rice” yang jadi pembuka album ini ternyata ada di daftar soundtrack FIFA 23—makanya kok terdengar familiar. Liriknya padahal bukan tentang sepakbola, sportifitas, atau meraih mimpi bla bla bla. Yang ada malah berkisah mengenai para korporat tambang yang menguras kekayaan alam di Afrika, dan memperbudak masyarakat adat. Agak lain, lagu sekiri ini jadi lagu tema gim sepakbola.

Yang aneh ya FIFA, kalau kelompok musik asal Skotlandia ini sih sudah biasa bikin lagu-lagu bertopik akar rumput dengan balutan spiritual, termasuk isu rasisme, perantauan, geopolitik, juga perjuangan kemerdekaan Palestina.

Young Fathers tak mau lupa akar. Heavy Heavy, album keempat mereka,  mendefinisikan kembali batasan antara musik hip hop Inggris dan musik tradisi. Ada banyak harmonisasi dan koor, sehingga sebagian besar lagu kedengaran seperti musik upacara kerakyatan—bahkan, ada sorak sorai suku Indian di lagu ”Ululation’’.

Lawatan Kayus Bankole (rap) ke Ghana dan Ethiopia membantu memperkaya referensi dan pendekatan musikalitas Young Fathers. Di sana, ia menyaksikan kegiatan bernyanyi bersama sebagai aktivitas sehari-hari yang spontan.

Kita bisa merasakan pengalaman Bankole itu lewat Heavy Heavy. Nyanyian sebagai (setidaknya) penawar dari penindasan dan hal-hal keji di sekitar.

 

 

8. Romy – Mid Air

Mid Air | Romy

Sebagai penggemar The XX, deretan album solo personelnya yang musiknya tak jauh-jauhan dari karakter The XX selalu mengundang perhatian saya. Setelah Jamie XX (beats) bikin In Colour (2015), Oliver Sim (bass, vokal) bikin Hideous Bastard (2022)—tapi sayangnya kurang mantap—sekarang giliran Romy Madley-Croft (gitar, vokal) menelurkan karyanya.

Judulnya Mid Air, musiknya bisa dikatakan masih bersejawat dengan The XX, tapi sentuhan ketukan four to the floor, trance 2000-an, dan euro housenya memberikan sedikit diferensiasi. Lebih dugem pokoknya dibanding The XX.

Bisa ditebak, karier dan hidup Romy pasti berutang besar pada klub malam. Maka, Mid Air jadi semacam surat cinta darinya untuk gay club yang ia sambangi sehari-hari dulu di masa remaja.

Meski memetik referensi dari musik disko 2000-an, tapi Romy mengakui ada referensi dari khazanah elektronik pop hari ini seperti ”One Kiss’’-nya Dua Lipa. Itu terdengar jelas, di antaranya dalam lagu favorit saya, ”The Sea’’ yang ditulis ketika Romy berkunjung ke Ibiza untuk merayakan ulang tahun Oliver Sim ke-30.

Olahan dance pop model begini rasanya kemudahan baginya, yang terbiasa mengisi melodi yang tepat secara musikal di ruang-ruang aransemen minimalis sejenis di The XX—riff gitar yang jarang, dan atmosfer gelap yang intim. Hasilnya, Mid Air sukses menerjemahkan seberapa berarti lantai dansa selaku ruang politis para queer bagi Romy, terutama di Inggris yang kini sedang bergejala bigotri dan antipati LGBTQ+.

 

 

7. SZA – SOS

SOS (SZA album) - Wikipedia

Album ini rilis di Desember 2022, tapi baru dikategorikan para kritikus sebagai karya yang mengisi industri tahun 2023. Dan efek ”mengisi” itu ternyata berlangsung sepanjang tahun. SOS memecahkan rekor pekan streaming terbanyak untuk album R&B di AS. Lalu 10 pekan (tak berturut-turut) bercokol di nomor satu Billboard 200–album dari artis perempuan pertama yang mencapai itu sejak satu dekade terakhir.

Buatku, durasinya masih agak kepanjangan, 1 jam 8 menit, meski tiap lagu cuma 2-3 menit. Sehingga, butuh berulang kali putar supaya saya mulai familiar dengan sebagian besar lagu. Total, ada 23 lagu di SOS, hasil seleksi dari seratusan lagu yang dikerjakan SZA dalam 7 tahun sejak merilis CTRL (2017)—sangat lama untuk ukuran musisi pop yang tengah meniti masa primanya.

Itu di antaranya menunjukan seberapa perfeksionis SZA. Ia tahu apa yang ia mau. Meski ada banyak sentuhan genre lain, komposisi SOS masih berkutat pada pertemuan R&B dan pop kontemporer yang dibangun di atas beat-beat lo-fi. Suaranya yang khas dan gampang dikenali itu melayang, menukik, dan melintasi sekujur beat, mendayukan lirik-lirik dengan emosi liar.

Lain dengan CTRL yang titik apinya selalu soal patah hati, SOS lebih bertutur tentang konflik antara keinginan SZA untuk memantapkan diri hidup sendiri dan kerinduan akan hubungan romantis yang memuaskan. Tapi, SZA selalu menulis lirik yang terasa karib bagi perspektif asmara pendengarnya, misal ”I worry that I wasted the best of me on you, baby / You don’t care / Said, not tryna be a nuisance, it’s just urgent / Tryna make sense of loose change’’ dalam ”Good Days”.

”Sad girl” ala SZA. Jenis melankolia yang rasa-rasanya sudah punya merek sendiri di industri.

 

 

6. Sufjan Stevens – Javelin

Sufjan Stevens: Javelin Album Review | Pitchfork

Menurut rilis resmi, album ini kembali unjuk gigi Sufjan Stevens sebagai seorang ”singer-songwriter’’. Apa maksudnya? Ia mengerjakan hampir semua lagu dari home studio. Konsepnya juga tidak muluk-muluk, tidak ada tema besar lintas referensi seperti mengadaptasi autobiografi atau drama klasik tertentu.

Sebagian besar lagu dibuka dengan petikan gitar atau banjo, kembali ke akar indie folk, tapi setelah itu arahnya bisa melayap ke mana-mana. Banyak layer, ambience, harmoni vokal. Yang pasti, pergeseran instrumentasi tidak pernah memenggal nuansa. Contoh transisi paling tajam ada di coda ending ”Shit Talk’yang berkolaborasi dengan gitaris The National, Bryce Dessner. Hasilnya, seperti teduh penyudahan hujan deras.

Lainnya, materi Javelin didominasi instrumen yang sayup-sayup. Melodi yang sederhana, kontemplatif, sedikit menderita, seperti di ‘single ‘’Will Anybody Ever Love Me?’’ atau ‘’Everything That Rised’’.

Penulisan liriknya juga cenderung lebih membumi–meski tetap puitis–seperti nukilan lirik ”So You are Tired” ini: ‘’So you are tired as the sun / Are you with or without a friend? / Bring me back everything caught in your shield / Let everything else descend.’’

Untuk ukuran karya indie folk, tidak ada yang terlalu baru, tapi ini dieksekusi secara anggun oleh artis yang sudah menekuni genre ini selama 20 tahun. Mengingatkan lagi, kenapa genre ini sepuluh tahun lalu pernah mekar jauh di ujung-ujung dunia.

Oiya, versi rilisan fisik Javelin juga menyertakan esai untuk tiap-tiap lagu. Tentang definisi cinta, katanya (saya juga belum baca, tidak punya uang untuk beli semua rilisan fisik, wokwokwok)

 

 

5. Olivia Rodrigo – Guts

Guts (Olivia Rodrigo album) - Wikipedia

Lirik-lirik Rodrigo menciptakan pengalaman yang mirip seperti membaca lirik-lirik lawas Taylor Swift. Kisah–kisah belia yang deskriptif dan jujur, diselipi canda dan gelitik—termasuk dari sana saya kenal istilah ‘’social suicide’’.

Rodrygo mengaku, Guts berisi “rasa sakit yang tumbuh”. Serasa tumbuh “10 tahun” antara usia 18 dan 20, sebuah proses yang digambarkannya sebagai bagian alami dari apa yang dinamakan pendewasaan. Itu yang ia harap bisa tercermin dalam lirik-liriknya.

“Everything I do is tragic/Every guy I like is gay’’

When pretty isn’t pretty enough, what do you do?’’

Dibanding album Sour (2021), Guts lebih bermusik keras—meski saya sempat menyangkal bahwa ini bisa dikategorikan album rock. Tapi ya nyatanya, Guts memang lebih banyak menghadirkan suara gitar dan drum yang tipikal ada di album rock alternatif, seperti intro drum di ”Bad Idea Right?’’ atau chorus di ”Ballad of A Homeschooled Girl’’, juga dinamika quiet – loud di sejumlah lagu lain.

Ini arah musik yang unik bagi penyanyi pop sepertinya, ketika yang lain seusianya lebih banyak mengejar arketip alternative pop ala Billie Eilish atau Lorde. Sehingga,  kisah cinta Gen Z tak hanya punya satu warna ekspresi, cara menyatakan ”boy sucks’’ dengan bunyi berbeda:

‘’As you sunk your teeth into me, oh / Bloodsucker, fame fucker / Bleedin’ me dry like a goddamn vampire’.’

 

 

4.Lana Del Rey – Did You Know That There’s a Tunnel Under Ocean Blvd

Did You Know That There's a Tunnel Under Ocean Blvd - Wikipedia

Penulis lagu asal Amerika terbaik di abad 21 versi Rolling Stone UK. Majalah yang sama juga menuliskan namanya ke urutan 175 dari daftar terbaru Penyanyi Terbaik Sepanjang Masa.

Sepuluh tahun sejak album perdananya rilis, Del Rey rasanya sudah masuk fase tak butuh lagi membuktikan ini dan itu. Ia ”berhak” untuk mulai mengeluarkan karya-karya egois.

Album kesembilannya ini kemudian jadi album dengan lirik-lirik paling sulit dipahami. Topiknya juga filosofis dan rumit: eksistensi Tuhan, takdir, akhirat, pernikahan dan peran sebagai ibu, dll.

Del Rey mengubah gaya penceritaan dalam liriknya yang deskriptif jadi konversasional, prosesnya diberi nama “automatic singing“. Ia akan menyanyikan apapun yang terlintas di kepalanya ke aplikasi voicenotes di ponsel, kemudian mengirimkan rekaman yang terdengar sangat mentah kepada komposer Drew Erickson, yang akan menambahkan reverb dan instrumen orkestra pada vokalnya.

Lagu pertama yang ditulis untuk album ini, “Fingertips”, direkam dengan cara ini, betul-betul tanpa lirik yang sudah tertulis. Hasilnya, lagu bertopik keluarga yang sangat personal: ‘‘Charlie, stop smoking / Caroline, will you be with me? / Will the baby be alright? / Will I have one of mine? / Can I handle it even if I do? / It’s said that my mind’’

Ia bahkan menyebut album ini dikerjakan secara ”totally effortless”. Sisi ”effortless”-nya itu bisa saya tangkap, bukan sebagai karya yang malas, tapi kenaturalan dari segi lirik dan aransemen. ”Paris, Texas” kedengaran mempesona meski cuma diiringi dentingan piano. Spontan pun baginya untuk melahirkan lirik semacam ini:

”There’s a girl who sings “Hotel California” / Not because she loves the notes or sounds that sound like Florida /  It’s because she’s in a world, preserved, only a few have found the door / It’s like Camarillo, only silver mirrors, running down the corridor’’

Serupa surat yang ditulis seketika, tapi tak pernah dikirimkan.

 

 

3. Boygenius – The Record

The Record (Boygenius album) - Wikipedia

Julian Baker: Multi instrumen, manggung dengan loop pedal—seperti Ed Sheeran—dan banyak menyuarakan lagu bertemakan penyakit mental dan kekerasan.

Phoebe Bridgers: Mengawinkan elemen elektronik dan musik rock untuk mengantarkan lirik-lirik melankolis tentang kematian atau trauma.

Lucy Dacus: Masuk daftar 500 Gitaris Terbaik Sepanjang Masa versi Rolling Stone (213), menyanyikan lagu-lagu puitis soal asam garam kehidupan.

Ketiganya musisi berusia hampir 30, menjadi indie rock heroes Amerika selama beberapa tahun terakhir, dan berada di taraf popularitas yang kurang lebih sama.

Mereka bersekutu, salah satu alasannya karena muak dilabeli secara dangkal sebagai women in rock, padahal memainkan musik yang bervariasi. ”itu bukan genre,’’ kata Bridgers.

Tak banyak nama-nama populer yang berhasil membentuk supergrup lalu melahirkan album yang lebih bagus dari karya solonya masing-masing, apalagi perempuan. Bahkanm meraih nominasi bergengsi di Grammy—Album of The Year dan  Record of The Year, sesuatu yang rasanya sulit digapai sebelumnya oleh musisi kancah indie rock seperti mereka.

Menarik mengamati harmoni suara mereka satu sama lain bertukar gilir. Masing-masing melapisi emosi yang berlainan. Baker yang lebih tegar, Bridges yang spektral, dan Lucy yang lebih puitik.

Ramuan ini, ditambah kualitas ketiganya sebagai penulis lirik yang solid, menciptakan semacam keseimbangan artistik. Ini jadi satu benchmark,  karena yang sering luput dari supergrup: berhasilnya kekuatan komunalitas.

 

 

 

2. Caroline Polachek – Desire, I want to turn into you

Caroline Polachek: Desire, I Want to Turn Into You Album Review | Pitchfork

Masa kecil Polachek mengidolakan Enya. Ini sedikit banyak menjelaskan muasal karakter vokalnya. Cocok untuk membawakan trip hop dan alternative pop yang bercorak ekletik ala Lana Del Rey atau Billie Eilish. Ia bahkan kerap memanfaatkan potongan vokalnya sebagai kepingan aransemen, seperti ‘‘taratatata taratatata’’ di ‘’Pretty Possible’’ atau ”woo-ooh’’ yang bergentayangan di ”Sunset’’—terinspirasi dari karya-larya spaghetti western bikinan sutradara Ennio Morricone.

Itu baru salah satu kebolehannya. Di balik bakat sebagai penampil, Polachek sangat independen untuk merangkai sendiri musik pop yang detail dan menawan.

Polachek menyebut album keduanya, yang dirilis di hari valentine ini sebagai karya maksimalis, mengandung banyak pernak pernik eksplorasi: ada petikan gitar Spanyol, folk celtic, bunyi bagpipes, dll, digunakan untuk membawakan langgam musik pop 2000-an.

Contoh ideal, ”Bunny is A Rider’’ yang terpilih sebagai Lagu Terbaik 2021 versi Pitchfork. Ada marimba dan siulan. Terasa futuristik sekaligus nostalgik.

Ini salah satu album paling bertaji menunjukan talenta pop tahun ini.

 

 

 

1. Mitski – The Land Is Inhospitable And So Are We

The Land Is Inhospitable and So Are We | Mitski

Sebagai sosok yang (dipercaya) introver, Mitski sedari dulu alergi ekspose media—apalagi sejak album Be The Cowboy menjebloskannya ke skala popularitas yang baru di tahun 2018. Tahun-tahun setelahnya kian berat. Karyanya mulai beredar lebih deras di media sosial, termasuk TikTok.

Ini salah Mitski sendiri sebetulnya. Karyanya terus melahap audiens baru. Single di ”My Love Mine All Mine’’ misalnya, pertama kali membuatnya tercatat di Billboard Hot 100.

The Land Is Inhospitable and So Are We bukan cuma ”My Love Mine All Mine’’. Album ini menawarkan sederet nomor bernuansa noir dengan sentuhan americana, country, folk, dan soundtrack karya- karya Spaghetti Western.

Cara lebih mudah mendeskripsikannya: di album ini Mitski memangkas aransemennya, menyisakan banyak ruang hening dengan piano. Lebih hangat dan organik. Di balik nyanyian yang syahdu dan teduh, emosinya ugal-ugalan.

Mitski selalu membawakan musik yang membuat dirinya seolah tampil kesepian. Tapi di album ini, ia menambah kadar emosi itu, seperti batang pohon tumbang yang kedinginan. Seperti api yang menuju abu, lewat gambaran-gambaran paling intens soal rasa kesepian:

There’s a bug like an angel stuck to the bottom / Of my glass, with a little bit left / As I got older, I learned I’m a drinker / Sometimes a drink feels like family

Hear the storm dances outside / Something set free is running through the night / And the dark awaits us all around the corner / But here, in our place we have for the day / Can we stay a while and listen for heaven? / Heaven

I don’t like my mind, I don’t like being left alone in a room / With all its opinions about the things that I’ve done / So, yeah, I blast music loud, and I work myself to the bone / And on an inconvenient Christmas, I eat a cake / A whole cake, all for me.

Kesepian adalah perasaan paling lekat dengan banyak manusia modern hari ini. Dan mungkin inilah anugerah titipan Tuhan untuk memahami mereka.

 

The Italian Job – Puncak Kesombongan Budaya Britania

Tags

, , ,

The Italian Job • Car Poster • Art Print • Rear View Prints

Peter Collinson

1969

Heist

Film ini bisa dikenali dengan deskripsi singkat, kira-kira ya “film kejar-kejaran mini cooper warna-warni”.

Menyenangkan dan (agak) konyol. Tapi bagaimana Italian Job bisa jadi ekspresi nasionalisme Britania yang lumayan kontroversial?

Ketika Tony Blair berkuasa sebagai Perdana Menteri Inggris di era 90-an, ia rajin membangkitkan gagasan 60-an bahwa Inggris adalah negara paling berjaya di Bumi. Ini istilahnya ‘cool Britannia‘, berisi The Beatles, sepak bola, retorika anti-Jerman, swinging sixties, dan The Italian Job. Itu semua jadi bagian dari rasa percaya diri dan arogansi orang Inggris.

Italian Job memang karya klasik yang lebih dicintai rakyat jelata daripada akademisi atau kritikus. Film ini merupakan salah satu film Inggris yang paling disukai di sana, masih diputar di TV setiap liburan Natal—kalau di Indonesia, mungkin semacam Warkop DKI. Sementara itu penonton AS tidak menyukainya, cenderung sentimen. Makanya, ratingnya di IMDB pas-pasan, cuma 7,2.

Apa hebatnya The Italian Job? Bagi saya, hebatnya adalah karena film itu merasa hebat. Ditopang cukup kesombongan, pemandangan khas Turin, larik-larik dialog yang edgy, dan aksi uber-uberan mobil yang riang.

The Italian Job adalah kisah kejemawaan Britania yang absurd: sekelompok penjahat, dipimpin pencuri bernama Charlie Croker (Michael Caine), menjalankan perampokan emas batangan yang berani di jantung kota Turin. Menariknya, metode perampokannya sungguh berbasis pop culture: mereka menyamar sebagai hooligan dan mengendarai tiga Mini Cooper berwarna Union Jack (merah, biru, putih). Kita pun mengikuti serunya aksi kejar-kejaran itu ditemani musik britpop.

Lihat, dari sinopsis pendek itu saja ada beberapa kata kunci penting dalam lanskap kultural Inggris: Hooligan, Mini Cooper, Union Jack, Britpop.

Sebagai sebuah film, The Italian Job tidaklah terlalu jenius, tetapi sebagai alat flexing kebudayaan, film ini jagoan.

Paruh awal The Italian Job bagi saya memang b aja, tapi sisanya masuk ke hal yang paling diingat orang tentang film ini.

Lupakan Fast and Furious, lupakan CGI, aksi balapan di The Italian Job jauh lebih menghibur, menganggu adrenalin meski ditampilkan dalam nuansa cenderung riang. Tiga Mini Cooper begitu gesit melewati terowongan, menerjang air terjun, melintasi trek balap di atap, dan benar-benar terbang di udara di atas kemacetan lalu lintas Turin. Pokoknya, melakukan hal-hal yang mustahil dilakukan Mini Cooper dalam bayangan setiap orang masa itu.

Perpindahan mereka dari satu mobil ke mobil lain saja untuk mengalihkan pengejaran polisi begitu asyik dinikmati—meski kadang tampak tidak logis. Dalam proses syutingnya, pihak berwenang Turin menolak menutup jalan. Akhirnya, mafia Italia turun tangan, menganggu lalu lintas Turin, sehingga kemacetan di film ini nyata adanya.

Makanya, bintang sebenarnya dari The Italian Job adalah Mini Cooper. Mini Cooper dibuat selama empat dekade dan dijual selama enam dekade, dari tahun terakhir 1950-an hingga tahun terakhir abad ke-20. Mini Cooper dianggap sebagai ikon budaya populer Inggris tahun 1960-an. Film ini dirilis pada puncak popularitas mobil itu, memperkuat citra bandelnya sambil membantu film tersebut meraih kesuksesan box-office.

Pada tahun 1999, Mini terpilih sebagai mobil paling berpengaruh kedua di abad ke-20, di belakang Ford Model T, dan di atas Citroën DS dan Volkswagen Beetle. Tentu saja, ini berkat The Italian Job—sebelum  kembali terangkat lagi sebagai mobilnya Mr Bean.

Nah, berlagak paham otomotif, Mini Cooper yang ditampilkan sebagai mobil utama perampokan dalam film ini adalah model Austin Mini Cooper S 1275cc.

BMC (British Motor Corporation) menyediakan enam mobil baru—dua  dari setiap warna—untuk produksi. Sementara 25 lainnya dibeli di pasar barang bekas melalui agen BMC di Swiss. Sepuluh dari mobil bekas ini adalah model Cooper S dan sisanya adalah model standar 848cc yang dimodifikasi. Dari 31 Mini Cooper itu, 16-nya hancur atau rusak selama syuting, bersama dengan sembilan replika mobil, menyisakan enam replika 848cc yang masih utuh.

Selain mobil, lokasi menjadi penting. Memang, semua plot car chasing dalam film ini diambil di Turin, kecuali kejar-kejaran melalui terowongan selokan, yang diambil gambarnya di distrik Coventry, Inggris.

Nah, kalau kalian googling, ada banyak jasa wisata di Turin yang menawarkan detinasi-destinasi penting di film Italian Job. Misal, atap Palavela di Turin, sebagai lokasi mobil polisi mengejar trio Mini Cooper itu.

Di luar citra Britishnya, sebagai mobil yang tampak humble dan imut, memang menarik melihat Mini Cooper jadi kendaraan kriminal. Apalagi, adegan kejar-kejaran itu diselingi adegan koor barisan napi di penjara yang berseru-seru “Eng-land!”. Agak lucu juga melihat nasionalisme justru diekspresikan lewat karakter-karakter yang terasosiasi dengan kriminalitas.

Mungkin satu-satunya yang “Amerika” adalah Quincy Jones. Musik tema The Italian Job disusun dan diaransemen olehnya. Sebagai seorang kelahiran AS, Jones akhirnya dikenal karena memproduksi beberapa rekaman Michael Jackson, dan bekerja dengan legenda-legenda pop seperti Frank Sinatra dan Ella Fitzgerald.

Uniknya, Jones bisa meramu album soundtrack yang merangkum semaraknya geliat musik British era itu. Ada samba, ada country, ada harpsichord, ada kumpulan pria yang berteriak-teriak dengan bahasa cockney (dialek Bahasa Inggris yang banyak dipakai pedagang pasar di London). Sementara, lirik-liriknya dipengaruhi lagu-lagu patriotik Inggris, seperti “Rule, Britannia!”, “The British Grenadiers” dan “God Save the Queen”. Ini semua mewakili suara swinging sixties dalam durasi 29 menit.

Quincy Jones kemudian menjadi musisi yang sangat sukses, Jones menjadi orang Afrika-Amerika pertama yang menjadi direktur musik dan konduktor Academy Awards.

Yang paling berkesan untuk saya adalah lagu “Get a Bloomin’ Move On” (atau kadang-kadang disebut “The Self-Preservation Society” karena frasa di bagian chorus ini yang nempel di kuping). Saya sempat penasaran sekali dengan makna lagu “Get a Bloomin’ Move On”, terutama lirik “This is the self-preservation society”. Setelah saya kulik, ternyata itu lelucon bagi orang Inggris. Pasalnya, di akhir tahun 60-an, ada peningkatan besar orang-orang yang mencoba menjaga diri, melindungi kultur Inggris, curiga pada warga asing.

Misalnya, ketika BMC  menolak menyumbangkan mobil apa pun untuk film ini, kepala perusahaan Fiat Motors dari Italia menawarkan sumbangan semua mobil yang dibutuhkan, termasuk Fiat 500 menggantikan Mini Cooper. Namun, Collinson tetap memutuskan menggunakan Mini Cooper. Baginya, The Italian Job adalah film yang sangat Inggris, jadi tidak boleh pakai mobil keluaran negara lain untuk jadi tunggangan utama karakter-karakter terpentingnya.

THE ITALIAN JOB - The Belcourt Theatre

Tapi, di antara pilihan-pilihan kultural dalam membangun kekhasan film ini, tetap yang paling diingat penonton adalah ending-nya. Ini adalah salah satu akhiran film paling terkenal yang pernah menggunakan teknik cliffhanger.

Apaan tuh cliffhanger? Jadi, ini perangkat plot dalam fiksi yang menampilkan karakter utama dalam dilema yang genting, atau dihadapkan pada kenyataan yang mengejutkan di akhir episode. Contoh cliffhanger lain yang populer ya ending-nya Star Wars: Empire Strikes Back, saat Luke Skywalker diberi tahu bila Darth Vader adalah bapak kandungnya. Pokoknya, sebuah cliffhanger bertujuan mendorong penonton untuk terhantui rasa penasaran dari kelanjutan cerita yang sengaja dihentikan tiba-tiba supaya menggantung.

Adegan cliffhanger dalam film ini merupakan salah satu alasan The Italian Job menikmati legacy-nya. Ending-nya meninggalkan dilema yang menarik bagi penonton untuk direnungkan. Masalah yang dihadapi Charlie dan gengnya di akhir The Italian Job masih jadi perbincangan dan perdebatan hingga saat ini.

Jadi, diceritakan dalam The Italian Job, setelah lolos dari kejaran polisi, gengnya Charlie ini membuang Mini Coopernya yang sudah dikenali polisi, memasukkan emas batangan ke dalam sebuah bus—yang dirias seolah bus suporter sepakbola—dan kabur bersama kru lainnya melewati jalan pegunungan yang panjang dan berliku.

Di saat berpesta pora merayakan kesuksesan misi rampokan, ternyata bus itu selip, tergelincir, lalu menggantung di tepi tebing. Para kru meringkuk ke bagian depan bis, sementara tumpukan emasnya meluncur ke bagian belakang bus yang sudah menggantung ke bibir jurang. Pilihannya, mau segera turun dari bus, atau menyelamatkan emasnya tapi ambil risiko ikut terjun ke jurang?

*Maaf, adegan ini agak sulit digambarkan dengan deskripsi tulisan.

Croker kemudian berkata ke krunya, “Tunggu sebentar, teman-teman, saya punya ide bagus …”

Lalu zzzaap, film berakhir… Kita bahkan tak sempat diberitahu apa itu idenya.

Maka, ini merupakan bentuk cliffhanger yang—sesuai istilahnya –secara literal memang tergantung di tebing.

Saya pun sangat penasaran, dan mencari berbagai versi penjelasan berbeda di balik ending ini.

Menurut film dokumenter The Making of The Italian Job, ada empat ending yang sudah ditulis untuk film tersebut, tetapi produser Michael Deeley tidak puas dengan semuanya. Lalu, muncul ide cliffhanger yang akhirnya dipakai.

Troy Kennedy Martin, penulis skenario filmnya, menjawab: “Yah, saya tidak berpikir apa-apa karena saya tidak menulis akhir cerita itu. Skenario buatan saya punya ending yang sama sekali berbeda. Bob Evans dari Paramount yang memutuskan film itu harus berakhir di pegunungan. ”

Sementara Michael Caine di The Graham Norton Show (2007) menjelaskan, film itu terpaksa diakhiri secara ambigu karena sensor industri film saat itu tidak memperbolehkan karakter penjahat bisa menang.

Saking menariknya cliffhanger ini, The Royal Society of Chemistry sampai membuat sebuah kompetisi untuk mencari cara ilmiah yang masuk akal bagi Croker dan gengnya memecahkan dilema itu. Bagaimana caranya mereka bisa tetap membawa pulang hasil rampokan itu, tapi tetap utuh selamat dari ancaman jatuh ke jurang? Bila The Italian Job rilis hari ini, pasti banyak yang sudah bikin giveaway.

Konon, yang akhirnya terpilih jadi pemenang sayembara itu menyarankan geng Croker untuk merusak jendela bus dan menguras tangki bahan bakar. Dengan tangki kosong, bus akan berhenti terhuyung-huyung di tepi jurang dan kembali tegap di atas lintasan jalan. Ini memungkinkan salah satu perampok keluar dari bus dan memuat batu ke atasnya, menyeimbangkan bobotnya sehingga emas dapat diambil tanpa mempertaruhkan nyawa kru mana pun. Karena ini akan membuat kru terdampar di jalan pegunungan yang terisolasi, Godwin juga menyarankan agar mereka dapat menyuap pengendara yang lewat dengan sejumlah emas curian untuk mendapatkan tumpangan. Kepala eksekutif Royal Society of Chemistry, Dr. Richard Pike, memuji ide Godwin sebagai “jenis pemikiran praktis yang akan digunakan Croker.”

Caine punya teori versinya sendiri. Idenya sama. Tapi ketika geng tersebut keluar dari bus dengan aman, mereka disergap para pembunuh bayaran Mafia dengan senapan mesin. Emas-emas itu akhirnya dibawa balik ke Turin. Inggris gagal menang.

Artinya, mau versi cliffhanger atau tidak, film ini menggambarkan kena batunya sebuah keserakahan. Bisa juga, keangkuhan Britania yang salah satunya diwujudkan dari keangkuhan sosok Croker.

Salahkan peristiwa nyata itu. Pada tahun 1963, 15 orang bersenjata yang dipimpin seorang kriminal bernama Bruce Reynolds merampok kereta jurusan Glasgow-London. Misi ini sangat berani, memanfaatkan pengetahuan teknis terperinci dan keterampilan orang dalam. Satu-satunya yang tidak sesuai rencana hanya masinis keretanya menjadi terluka parah. Kemudian, fakta bahwa para perampok begitu ceroboh setelah perampokan itu, sehingga 12 dari mereka dijebloskan ke balik jeruji besi dalam beberapa minggu setelah perampokannya berhasil.

Meski begitu, perampokan kereta ini sempat merebut banyak simpati publik, dan citra romantis dari penjahat gagah inilah yang mendukung penggambaran Michael Caine akan Charlie Croker di The Italian Job.

Croker merupakan salah satu peran paling terkenal dalam karier Caine. Dalam jajak pendapat di tahun 2002, kalimatnya, You only supposed to blow the bloody doors off” terpilih sebagai kalimat terlucu kedua dalam sejarah sinema.

Tapi watak arogansi Croker bagi saya justru terpancar dari larik ini, It’s a very difficult job and the only way to get through it is we all work together as a team. And that means you do everything I say.”

Akting Caine yang solid, aksi balap Mini Cooper yang mendebarkan, dan penggambaran budaya kontemporer Inggris telah menjadikan The Italian Job sebagai salah satu sentrum sinema Inggris.

Kritiknya banyak juga. Vincent Canby merasa banyak film caper sebelumnya yang jauh lebih baik. Ia menganggap plot dalam The Italian Job kurang emosional. Tinjauan kontemporer di Time Magazine juga merasa film ini menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berfokus pada aspek teknis perampokannya daripada serius membangun karakter.

Betul juga kritiknya. Tapi saya merasa daya tarik The Italian Job memang bukan pada bangunan emosi, melainkan kemampuan (dan keberanian) pamer kekayaan kultur mereka lewat berbagai aspek sinematik.

Kritik yang lebih panjang saya renungkan justru terkait political correctness-nya. Kita bisa melihat sisa-sisa chauvinisme tahun 60-an, rentan berkembang menjadi jingoism—pandangan yang terlalu mengagung-agungkan kebesaran dan kekuasaan negeri sendiri.

Walau, ada juga yang berpandangan semua elemen patriotik yang berlebihan ini dimainkan sebagai semacam satir bagi takaburnya masyarakat Inggris. Ambil contoh, Croker keluar dari penjara dan segera mulai mengintimidasi orang-orang gay, meniduri serangkaian wanita yang semuanya disediakan untuknya dari pacarnya. Ia mengancam pemusnahan fisik setiap orang Italia yang tinggal di Inggris, melakukan kekerasan fisik untuk keuntungan finansialnya sendiri. Croker adalah rasis, seksis, congkak, sekaligus kekanak-kanakan. Rasanya, ini terlalu keterlaluan untuk diasosiasikan dengan kibaran kebanggaan nasional.

Toh, mau naik Mini Cooper atau Kijang Doyok, pada dasarnya ini film tentang maling.

Best Lines:

Charlie Croker: Just remember this – in this country they drive on the wrong side of the road.

 

After Watch, I Listen: The Who – Baba O’Riley