Tags

,

Jacques Becker

1960

Crime

Rajin menonton film-film klasik ternyata punya efek samping.

Saya jadi mengalami penurunan rasa kagum pada film-film 90-an ke atas yang dulu saya anggap sangat bagus. Saya juga jadi agak susah terpesona pada film-film baru. Soalnya, saya kadung tahu banyak pesona di karya-karya baru yang dianggap spektakuler ternyata sudah didahului film-film klasik.

Satu contoh ideal, siapa yang tidak suka Shawsank Redemption (1994)? Ini urutan pertama dalam lis film dengan rating terbaik IMDB. Saya dulu juga terkesima menonton film ini. Nah, sekarang pun masih suka. Tapi, efek takjubnya sudah merosot beberapa derajat.

Ini gara-gara banyak nonton film klasik, saya jadi sadar ada banyak film lama yang duluan menceritakan kisah-kisah kabur dari penjara. Escape movie, kira-kira istilahnya. Apalagi di dekade 50-an dan 60-an, tema kehidupan tahanan dalam jeruji besi—lalu memikirkan cara untuk bisa bebas—itu melimpah: A Man Escaped (1956), The Great Escape (1969), Cool Hand Luke (1967), dll. Adegan klimaks dalam The Shawsank Redemption (1994), berupa terungkapnya lubang dinding besar di balik poster Rita Hayworth, tak lagi sekeren dulu.

Saya cukup yakin, kebanyakan orang-orang yang memberi rating maksimal pada Shawsank Redemption di IMDB belum banyak—atau belum sama sekali—menonton film-film escape movie lama.

Termasuk, belum nonton Le Trou.

Bahkan di kalangan sinefil, nama Jacques Becker rasanya tak terlalu kondang. Ia kadang lebih diingat sebagai asisten Jean Renoir dalam La Grande Illusion (1938) dan The Rules of the Game (1939).

Dulu, Becker ditawan selama pendudukan Jerman di Prancis pada Perang Dunia II, sebelum kemudian sukses menjadi sutradara filmnya sendiri. Ia lalu membuat sederet film bagus yang berpengaruh bagi aliran French New Wave.

Reputasi yang dimiliki Becker berangkat dari kasih sayang para pegiat French New Wave.  François Truffaut dan teman-temannya mengagumi Jean Renoir, tapi mereka sering mengidentifikasi dirinya mirip dengan Becker. Memang, masa Becker jadi asisten Renoir berfungsi sebagai penghubung antara zaman keemasan sinema klasik Prancis dan kebangkitan new wave.

Becker juga dianggap sebagai auteur, menulis skenario dan menyutradarainya sendiri. Beberapa kritikus mengapresiasi perhatian Becker pada detail, tidak hanya untuk menciptakan suasana tetapi sebagai kunci eksplorasi karakter. Prioritas karakter di atas plot adalah kebiasaan berulang Becker. Ia punya kesediaan untuk menyimpang dari dorongan utama narasi mengikuti momen-momen yang tampaknya tidak penting dalam kehidupan karakternya.

Kariernya sebagai sutradara relatif singkat, hanya 13 film panjang sebelum mati di usia 53. Karya-karya Becker terdiri dari kelompok genre yang agak eklektik, mulai dari film gangster seperti Touchez pas au Grisbi (1954) hingga komedi romantis ringan seperti Antoine et Antoinette (1947). Becker bergerak melintasi berbagai genre dengan sangat mudah.

Le Trou—versi Amriknya berjudul The Hole—adalah film terakhirnya, mungkin yang paling sempurna. Le Trou dipuja oleh François Truffaut, sementara Jean-Pierre Melville berpikir apakah jangan-jangan film tersebut adalah film Prancis terhebat sepanjang masa.

Padahal, Le Trou digarap sambil sekarat. Dua-tiga minggu setelah film ini beres, Becker meninggal dunia.

Diadaptasi dari novel, plot cerita dalam Le Trou berlangsung selama sekitar enam hari, ketika lima penghuni satu sel penjara, masing-masing menunggu hukuman, berusaha menggali sebuah jalur kabur.

Ini kisah nyata dari rencana pelarian oleh penulis novelnya sendiri, José Giovanni. Dan Becker menulis naskah filmnya bersama Giovanni. Supaya lebih realis lagi, Le Trou menggunakan aktor nonprofesional. Salah satunya, Jean Keraudy (Roland), betulan seorang napi yang pernah kabur, memainkan peran yang sama dengan kehidupan nyatanya. Beberapa aktor lain malah kemudian jadi beneran sukses berkarier profesional di dunia akting: Philippe Leroy [Manu] dan Michel Constantin [Géo].

Penggunaan aktor nonprofesional hanyalah salah satu cara membuat kita makin tenggelam dalam dunia Le Trou. Becker percaya, jika kita masih mengenali seorang aktor sebagai ”aktor’’, maka kita tidak akan lagi melihat film itu sebagai sebuah peristiwa nyata. Keakraban kita dengan jejak rekam karya aktor itu akan memaksa kita untuk semakin menjauh dari lingkungan imersif yang ingin diciptakan Becker.

Ya, masuk akal.

Yang pasti, para non-aktor ini tampil bagus. Ketidaknyamanan mereka yang alami di depan kamera meningkatkan rasa gelisah yang bisa kita bayangkan di dalam penjara. Rasanya, ini adalah cerita pelarian yang paling tidak sombong dalam film, sekaligus paling simpatik. Ekspresi ngeri itu nyata dalam layar.

Oiya, selain itu, penjara La Sante sendiri direplikasi hingga detail terkecil, berkat bantuan dari tiga anggota sebenarnya dari pelarian yang disewa Becker untuk membantu sebagai konsultan produksi.

Ada sesuatu yang sangat memuaskan bila escape movie digarap dengan baik. Le Trou merupakan escape movie yang seolah ada di bawah mikroskop, dianalisis hingga ke unsur-unsur terdasarnya.

Banyak film sejenis menyulam arketipe plot utama dengan bumbu-bumbu pelengkap, misalnya cerita latar yang merinci bagaimana para napi akhirnya dipenjara, penderitaan dalam bui, bahkan mungkin kehidupan setelah mereka kabur.

Sementara, Le Trou menghindari semua itu. Meskipun Becker menceritakan sedikit tentang hubungan Claude Gaspard (Marc Michel) dengan dunia luar, informasi ini penting sekadar dalam fungsinya menunjukkan bahwa Gaspard, sebagai penghuni sel baru, punya potensi ’’berkhianat’’ dalam rencana pelarian dari penghuni lainnya.

Sebagian besar isi Le Trou fokus pada aksi pelarian itu sendiri: detail para napi menusuk-nusuk melubangi lantai penjara, mencari-cari jalan keluar yang pas di selokan bawah tanah sambil menghindari jaga malam, dan ada banyak lagi kerja lainnya. Kita terus saja duduk dan melihat mereka memotong beton, berkeringat, bergantian tugas.

Plot seperti itu kadangkala jadi monoton, tetapi tidak untuk Le Trou. Becker bisa membuai penonton ke dalam semacam lamunan meditatif – setiap serpihan beton yang terkelupas,  setiap lorong gelap, berubah menjadi semacam doa hening bagi penonton, sebuah ritus suci. Selain Gaspard, kita tidak diberi tahu apa kesalahan yang membuat karakter-karakter lainnya dipenjara. Tapi rasanya kita tetap ingin melihat mereka berhasil bebas dari kurungan.

Karl Marx, dalam pembahasannya tentang dialektika budak/tuan, menyatakan, di satu sisi, budak beruntung karena bisa belajar bahwa melalui kerja maka seseorang dapat mengubah lingkungannya. Manusia dapat meninggalkan jejak dalam pekerjaannya. Sesuatu dari gagasan ini tampaknya menyusup ke dalam konsep Becker tentang Le Trou.

Sebagian besar isi Le Trou berkonsentrasi pada sifat monumental dari upaya manusia yang disalurkan dalam tindakan yang didorong rasa lapar akan kebebasan. Tetapi, dalam usaha itu sendiri, dalam tindakan kerja itu, kebebasan berada. Dalam upaya yang begitu keras untuk menghasilkan pembebasan mereka, dalam upaya dan tekanan itu, mereka bisa lebih bebas daripada yang pernah mereka lakukan di dunia luar.

Perhatikan wajah para penjaga di adegan awal saat Gaspard berbicara dengan sipir. Kemudian perhatikan wajah rekan-rekan selnya saat melaksanakan aksi pelarian. Para penjaga mungkin di dalam penjara menjadi tuan, tetapi wajah mereka menunjukkan kematian. Para pelarian, digerakkan oleh kerja keras dan keinginan, benar-benar hidup.

Aspek nyentrik lain dari Le Trou adalah perihal suara.

Soundtrack film ini sepenuhnya diegetic (elemen suara yang muncul hanya yang sumbernya berasal dari cerita, bukan musik ect.). Tidak ada skor musik babarblas, kecuali pada kredit akhir. Itu mungkin juga alasan film ini tidak punya kredit pembuka. Langsung saja masuk adegan pertama. Tanpa musik sama sekali.

Le Trou memainkan penonton di antara suara dan keheningan, menyuapi dan menahan kebutuhan aural kita. Le Trou membuat kita penuh perhatian dalam kewaspadaan indrawi.

Jarang ada orang yang mengamati permainan suara di Le Trou. Bila dianalisis, mungkin soundtrack-nya hanya terdiri dari beberapa rangkaian suara utama. Pertama, suara batu dan semen yang pecah. Suara ini mendominasi adegan para pria menerobos lantai sel, mencapai labirin koridor di bawah penjara yang menghubungkan berbagai sisi sayap penjara, dan kemudian mulai menggedor lagi, kali ini pada dinding semen untuk membawa mereka ke selokan. Ketika aksi itu harus disetop dulu karena takut ketahuan sipir, tiba-tiba suasananya senyap.

Elemen aural penting lainnya adalah dialog yang diucapkan dengan lembut dan jarang. Semua suara ini muncul secara close up. Seolah-olah, kita mendengar – dan menonton – film ini melalui headphone. Suara dan keheningan dipompa langsung ke telinga kita. Salah satu mitos yang paling memikat tentang film tersebut adalah bahwa Becker, yang sedang sakit parah, kehilangan sebagian besar pendengarannya gara-gara mengedit film ini.

Mendengarkan adalah hak istimewa di Le Trou. Suara-suara ini—batu  dan semen yang pecah, tubuh yang bernapas dengan tenang – adalah suara-suara yang ditandai dengan pengulangan dan tidak mengenal arah. Sejak pertama kalinya para karakter ini mulai menggedori lantai sel mereka dengan sepotong logam, gambar-gambar itu berubah menjadi suara.

Frame tetap terpaku pada permukaan batu dan tangan yang memukulnya, sebelum pindah ke orang lain yang menatap tak bergerak ke lantai seolah ingin membukanya, dan kemudian kembali lagi ke permukaan batu. Ini adalah salah satu adegan film yang memukau, ketika para pria bangkrut, bertaruh pada harapan bahwa keberanian yang mereka buat akan menjadi jalan keluar kebebasan.

Secara umum, jujur saja, Shawsank Redemption masih lebih bagus dari segi drama—saya juga tidak mau bertengkar dengan banyak orang. Tapi, pendekatan Becker dalam Le Trou justru terasa lebih baru, padahal ini dibuat 20 tahun lebih dulu.

Yang pasti, orang-orang perlu menonton lebih banyak escape movie, supaya sekadar tahu cara kabur itu tidak harus menyembunyikan lubang dinding di balik poster selebriti.

Best Lines:

Roland Darban: Poor Gaspard.

After Watch, I Listen:

The Velvet Underground – Here She Comes Now