Tags

, , ,

Mike Nichols

1967

Romance

Berapa orang yang seperti Ben (Dustin Hoffman) di usia 20-an awal? Tidak tahu apa yang akan dilakukan selepas lulus kuliah. Didera kecemasan tentang bagaimana mengejar kehidupan yang bermakna. Apa yang ia inginkan? Mereka yang ingin masa depannya berbeda, tapi tidak tahu harus bagaimana?

Suatu hari di tahun 1963, seorang produser film bernama Larry Turman menemukan novel debut berjudul The Graduate. “Buku itu lucu, tapi pada saat yang sama membuatmu gugup,” katanya.

Pembelian impulsif Turman menghasilkan salah satu film penting. Keberhasilannya menggapai pendapatan tertinggi ketiga dalam sejarah film pada saat itu, merevolusi pengambilan keputusan Hollywood tentang film mana yang dibuat, bagaimana film tersebut dibuat, dan kepada siapa film tersebut dipasarkan.

Tadinya, film itu hampir tidak dibuat. “Tidak ada yang menyukai novel itu.” Setiap studio menolak memfilmkannya. ”Mereka membaca, lalu membencinya, dan tidak ada yang menganggapnya lucu.”

Setelah dapat modal dari produser Joseph E. Levine, Turman mempercayakan film itu pada Mike Nichols, yang meski punya nama sebagai sutradara Broadway yang sukses, masih belum terlalu terkenal di Hollywood.

Selama periode setengah tahun pada 1967, Nichols menghasilkan empat drama hit yang ditayangkan secara bersamaan di Broadway. Namanya baru meroket ketika film Hollywood pertamanya, Who’s Afraid of Virginia Woolf? (1966) tayang dan diapresiasi besar-besaran. Dikombinasikan dengan film keduanya ini, The Graduate, diraih total 20 nominasi Oscar, termasuk dua untuk kategori Sutradara Terbaik, dan Nichols memenangkan salah satunya ya di The Graduate.

Jadi, apa isi cerita The Graduate?

Alkisah, Benjamin Braddock—dipanggil Ben—yang baru saja lulus sarjana, malah menemukan hidup baru dengan jadi selingkuhan teman orangtuanya. Ia jadi brondong gelapnya Nyonya Robinson (Anne Bancroft)–tentu jauh lebih tua dari Ben.

Bukan, ini bukan sinopsis film-film porno ber-genre MILF. Tapi topiknya memang sangat tabu, bahkan untuk ukuran zaman sekarang sekalipun.

Konfliknya makin meruncing ketika Ben dijodoh-jodohkan orangtuanya dengan putri Nyonya Robinson, bernama Elaine (Katharine Ross). Celakanya, Ben betulan jatuh cinta dengan Elaine. Nah, sekarang alurnya mulai mirip ke film-film porno ber-genre threesome dengan format featuring ibu-anak. Astagfir…

Salah satunya lewat film ini, Nichols mengembangkan citra sebagai seorang auteur yang suka bekerja secara dekat dengan aktor dan penulisnya, menggunakan mereka berulang kali dalam film yang berbeda. Hanya sedikit sutradara yang memiliki bakat sekuat Nichols dalam kemampuan menampilkan kelihaian para aktor.

Nichols bisa menarik keluar performa terbaik dari para aktor, terlepas seberapa jauh pengalaman akting mereka—baik yang tidak dikenal seperti Dustin Hoffman atau bintang besar seperti Richard Burton. Untuk film pertamanya, Who’s Afraid of Virginia Woolf?, masing-masing dari empat aktor penting di film itu bisa dinominasikan untuk Oscar, dengan pemenang Elizabeth Taylor dan Sandy Dennis.

Burton berkata, “Saya tidak berpikir saya bisa belajar apa pun tentang komedi. Tapi dari Nichols, saya (tetap) belajar,” menambahkan, “Dia berkonspirasi dengan Anda untuk mendapatkan yang terbaik.”

Gaya penyutradaraan yang sama digunakan untuk The Graduate. Nichols bisa menciptakan lingkungan yang sangat protektif di antara para aktor. Ia bisa membuatmu merasa ia hanya ada untukmu. “Apa yang luar biasa tentang Mike adalah bahwa ia membuat Anda merasa seolah-olah Anda yang memunculkan ide, padahal itu sebenarnya miliknya,” ujar Ann Margret, aktrisnya di film Carnal Knowledge (1971).

Keajaiban Nichols ya menemukan Hoffman, yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman film, bahkan menempatkannya sebagai pemeran utama–padahal orang lain terus menyarankan untuk pakai bintang terkenal seperti Robert Redford. Hoffman mengapresiasi Nichols karena telah mengambil risiko besar itu: “Saya tidak tahu contoh lain dari seorang sutradara di puncak kekuasaannya yang akan mengambil kesempatan dan memasukkan seseorang seperti saya di bagian itu. Butuh keberanian yang luar biasa.”

Nichols mengaku kasihan pada Hoffman yang sifat aslinya memang lembut dan sangat pemalu. Ia langsung jadi selebriti setelah The Graduate tayang. Nichols melihat ketidaknyamanan Hoffman saat diwawancarai di televisi. “Ia tampak persis seperti anak laki-laki [Ben] di film itu,’’ujarnya.

Tadinya, Hoffman berperan sebagai Liebkind dalam film Mel Brooks, The Producers (1967). Tetapi sebelum syuting dimulai,ia memohon kepada Brooks untuk mengizinkannya mengikuti audisi The Graduate. Dalam audisi itu—usianya sebenarnya sudah 30 tahun saat itu—Hoffman diminta untuk melakukan adegan seks dengan Katharine Ross. Padahal, sebelumnya Hoffman tidak pernah melakukan adegan semacam itu di pendidikan aktingnya. Secara rendah diri, ia juga merasa “seorang gadis seperti [Ross] tidak akan pernah mau dengan pria seperti saya dalam sejuta tahun.”

Ross sendiri setuju, menganggap Hoffman “terlihat hanya setinggi sekitar 3 kaki … sangat tidak terawat. Ini akan menjadi bencana.” Namun, memang kecanggungan Hoffman yang konon membuat Nichols memilihnya. Menurut Nichols, aktor seperti Redford tak punya karakter underdog yang dibutuhkan peran Ben.

Majalah Life pernah bercanda, “jika wajah Dustin Hoffman adalah kekayaannya, ia akan hidup dalam kemiskinan”. Hoffman sukses membuat ketampanan konvensional tidak lagi diperlukan di layar. Seluruh generasi mengubah ide tentang seperti apa pria itu seharusnya. Fisik Hoffman membawa semacam perubahan sosial dan selera visual, dengan cara yang sama orang pertama kali memikirkan Humprey Bogart.

Time menyebut Hoffman sebagai simbol yang mewakili aktor generasi baru. Ia berhasil menggeser pakem bintang film tradisional, membawakan peran yang lebih kompleks, bahkan tidak disukai.

Sementara, pilihan pertama Nichols untuk pemeran Nyonya Robinson tadinya adalah aktris Prancis Jeanne Moreau. Nichols percaya klise budaya Prancis: wanita lebih tua cenderung cocok melatih pria lebih muda dalam masalah seksual.

Banyak aktris yang dipertimbangkan. Turman sempat menginginkan Doris Day karena citranya yang serba Amerika. Namun, Day menolak tawaran tersebut karena adegan telanjang yang menganggunya. Sisanya, opsi itu sempat hinggap ke Shelley Winters, Ingrid Bergman, Eva Marie Saint, Ava Gardner, Patricia Neal, Susan Hayward, Deborah Kerr, Rita Hayworth, Lana Turner dan Geraldine Page. Sampai akhirnya, ya Anne Bancroft yang mendapatkannya. Padahal, meski berperan sebagai ibu dan anak, usia Bancroft dan Katharine Ross aslinya hanya terpaut delapan tahun.

Selain sisi akting, The Graduate amat didukung pukau aspek musik. Berawal dari pilihan Nichols menggunakan musik dari duo folk, Simon & Garfunkel. Nichols sedang terobsesi, mendengarkan karya mereka secara nonstop sebelum dan sesudah syuting. Ia lalu bertemu dengan pimpinan Columbia Records, Clive Davis untuk meminta izin lisensi musik Simon & Garfunkel. Duo ini memang tengah mencapai ketenaran nasional di Amerika Serikat pada tahun 1965–66.

Simon tidak segera menerima tawaran itu, tapi setuju untuk menulis setidaknya satu atau dua lagu baru untuk The Graduate setelah terkesan dengan kecerdasan Nichols dan naskahnya. Maka lahirlah dua lagu baru, “Punky’s Dilemma” dan “Overs”. Eh, tapi dua-duanya tidak disukai Nichols.

Nichols lalu bertanya, apakah ada lagu lain untuk ditawarkan? Simon kemudian mengajukan versi awal “Mrs. Robinson”—tadinya berjudul “Mrs. Roosevelt” (dari sosok Eleanor Roosevelt). Nichols sangat gembira mendengar lagu tersebut, kemudian berkomentar, “Mereka mengisinya dengan dee de dee dee de dee dee dee karena belum ada bait liriknya, tapi saya bahkan menyukainya.”

Belum ada nama di dalam lirik itu (untuk bagian penyebutan ‘’..Robinson..’’), dan mereka pokoknya hanya akan mengisinya dengan nama yang terdiri dari tiga suku kata. Karena kebutuhan karakter di film itulah akhirnya mereka mulai memakai nama ”Mrs. Robinson”.

Perihal elemen musiknya, versi film menggunakan ketukan Bo Diddley–beda dengan versi studio. Dimasukkannya frasa “coo-coo-ca-choo” oleh Simon adalah sebuah penghormatan terhadap lirik dalam lagu The Beatles, “I Am the Walrus”.

Jadilah salah satu lagu terbesar Simon & Garfunkel: ”Mrs Robinson”. Lagu itu dianugerahi dua Grammy Awards pada tahun 1969.

Apalagi kebaruan dari The Graduate?

Sebelum The Graduate, Hollywood percaya sebuah film harus menarik bagi semua orang supaya bisa sukses. Namun, The Graduate yang memenuhi bioskop selama dua tahun ternyata hampir separuh penontonnya hanya berusia di bawah 24 tahun.

Jadi, sebuah film yang punya segmen tertentu ternyata tetap bisa sukses besar. Melalui film itupun karakter wanita berumur yang menggoda ala Nyonya Robinson telah menemukan ceruk permanen dalam sejarah budaya Amerika. Dibuktikan lagi, The Graduate lalu memenangkan Oscar untuk kategori Best Director, meskipun reaksi kritis sangat beragam.

The Graduate cukup kaya untuk dibaca secara berbeda sepanjang waktu. Dulunya, film ini dilihat sebagai film “serius” pertama yang ditargetkan ke baby boomer yang baru saja beranjak dewasa. Pada saat itu, banyak kritikus dan penonton memahami The Graduate sebagai potret masyarakat kaya dan kolot, lewat karakter orang-orang dewasa di sekitar Ben.

Namun, 50 tahun kemudian, atau hari ini, The Graduate bisa kita maknai dengan sangat berbeda.

Saya pinjam dulu analisis dari kritikus Roger Ebert—saya bukan penggemarnya, tapi rasanya ini salah satu tulisan terbaiknya. Dalam resensinya tentang The Graduate di tahun 1967, Ebert mengaku berempati pada karakter Benjamin.

Tetapi, 30 tahun kemudian, di tahun 1997, ketika menulis lagi tentang film ini, Ebert berubah sudut pandang. Ia menilai, protagonis sebenarnya dari The Graduate adalah Nyonya Robinson:

“Nah, ini untuk Anda, Nyonya Robinson,” ia memulai tulisan versi 1997-nya. “Kamu telah selamat dari kekalahanmu di tangan bajingan yang tak terperi itu, Benjamin, dan muncul sebagai karakter paling simpatik dan cerdas di The Graduate.”

Dalam penilaian ulangnya, Ebert menyatakan bahwa The Graduate memang muncul di akhir 1960-an ketika orang tua mendukung nilai-nilai kelas menengah yang kolot. Dan anak-anak adalah pemberontak yang gembira di ujung revolusi seksual dan politik.

Nah, Ebert mengakui bahwa “hari ini, menonton The Graduate, saya melihat Benjamin bukan lagi sebagai pemberontak yang mengagumkan, tetapi sebagai bajingan egois yang meremehkan orang dewasa.”

Apa yang benar-benar berani, dan karenanya menyegarkan untuk era itu, adalah sikap moral film tersebut. Penerimaan terhadap fakta bahwa seorang pria muda dibenarkan berselingkuh dengan seorang wanita dan masih menikahi putrinya.

Ingat, dalam adegan awal yang tak terlupakan, Nyonya Robinson meminta Benjamin mengantarnya pulang, lalu membujuknya ke kamar dan melepas pakaian.

Benjamin lalu berubah pikiran—dari tadinya menolak godaan itu, jadi mengundang Nyonya Robinson ke Hotel, lalu memulai perselingkuhan. Tidak ada yang naksir karena romansa, tetapi pada titik tertentu menjadi jelas bahwa Benjamin berada di atas angin hanya karena siapa dia: bebas, muda, kaya, dengan seluruh optimisme di depannya.

Saya pun sebenarnya terganggu dengan kelakuan Ben. Ia memaksakan untuk tetap mengejar Elaine. Helloooo motherfucker, kamu baru saja ngewe dengan ibunya. Bayangkan, perasaan Nyonya Robinson. Lebih buruk lagi, bayangkan perasaan Tuan Robinson (William Daniels), bagaimana mungkin rela anaknya dinikahi orang yang pernah uwuwuwuuw dengan istrinya. Tidak masuk akal.

Apalagi, hari ini, kita tidak bisa lagi menonton film seperti The Graduate dengan cara yang sama. Hoffmann misalnya, yang membintangi The Meyerowitz Stories awal tahun 2017, sudah dituduh oleh setidaknya tujuh wanita melakukan pelecehan dan penyerangan seksual.

Hoffman sempat merilis permintaan maaf kepada pekerja magang berusia 17 tahun yang mengaku jadi korban pelecehan juga, tetapi membantah bersalah, dengan mengatakan, “Saya sangat menghormati wanita dan merasa tidak enak bahwa apa pun yang saya lakukan dapat menempatkannya dalam situasi yang tidak nyaman”, melanjutkan, “Saya minta maaf. Ini tidak mencerminkan siapa saya.”

Cukup sulit membayangkan sekarang ada orang yang melihat Benjamin sebagai pemberontak yang keren. Ia sebenarnya tampak mirip dengan banyak pria bajingan redflag – serakah dan ceroboh. Ia tidak berhasil mengendalikan minat cabulnya pada wanita yang lebih tua,

Apa yang membuat Ebert menjadi kritikus yang patut dibaca sekali-kali adalah karena ia merupakan seseorang yang antusias. Dan di ulasan-ulasannya soal The Graduate, antusiasmenya menjadi-jadi.

Jelas bukan The Graduate yang berubah. Yang berubah ya Ebert, saya, atau kamu.

Saat menulis ini, usia saya tepat di tengah-tengah antara usia Nyonya Robinson dan Ben: 30 tahun. Saya mulai yakin tidak akan berpihak pada seseorang yang ingin mengencani seorang perempuan setelah berselingkuh dengan ibunya.

Bagi saya, The Graduate tetap sebuah mahakarya, karena berhasil menangkap kecemasan eksistensial Ben dan Nyonya Robinson. Bahkan, jika penonton yang lebih muda mungkin lebih menghargai perspektif Nichols yang membela Ben, ya tidak apa-apa.

Era itu, 1967, memang Summer of Love. Anak-anak muda membuat suara mereka didengar dalam politik dan mengungkapkan jurang yang semakin lebar antara mereka dan generasi orang tuanya.

Sepanjang film, orang dewasa di sekitar Ben bersikap seperti vampir. Seolah-olah mereka bisa mendapatkan kembali masa mudanya dengan mencuri milik Ben. Nyonya Robinson termasuk di dalamnya.

Seiring berjalannya film, tema perang generasi menjadi semakin mencolok. Di tengah kencan mereka, Nyonya Robinson memberi tahu Ben, “Saya rasa kita tidak punya banyak hal untuk dikatakan satu sama lain.”

Elaine benar-benar satu-satunya orang seusia Ben yang di menit itu bisa kita temukan dari seluruh film. Ben tampaknya tidak punya teman sebaya. Ia kesasar seperti Charlton Heston dalam Planet of The Apes.

Mengingat Nichols saat membuat film ini masih relatif muda–berusia 35 tahun, sementara penulis skenario Buck Henry berusia 36 tahun – kepekaan ini masuk akal. Dari sudut pandang mereka yang berusia tiga puluhan, sama seperti saya sekarang, mereka dapat dengan jelas melihat kedua sisi generasi.

Mungkin perasaan kita tentang The Graduate mencerminkan tahapan yang telah kita capai dalam hidup saat menontonnya. Untuk penonton yang lebih tua, ini adalah pengingat bahwa Anda juga pernah muda. Bagi yang muda, ini adalah pengingat bahwa Anda juga akan segera menjadi tua. Jika pernah ada film untuk menyatukan generasi yang bertikai dalam saling mengasihani diri sendiri, ya inilah…

Best Lines:

Benjamin: Mrs. Robinson, I can’t do this anymore.

Mrs. Robinson: You what?

Benjamin: This is all terribly wrong.

Mrs. Robinson: Do you find me undesirable?

Benjamin: Oh no, Mrs. Robinson. I think, I think you’re the most attractive of all my parents’ friends. I mean that.

After Watch, I Listen:

Simon & Garfunkel – Mrs Robinson