Tags
10. Parquet Courts – Walking At a Downtown Pace
Pandemi tak menghalangi Parquet Courts menulis lagu yang pamer budaya clubbing. Lagu ini dikerjakan dengan komposisi yang penuh improvisasi, sebelum diaransemen ulang dengan desain khusus mengawal lantai dansa, memakai elemen post punk dan dance rock.
Usut punya usut, Austin Brown (vokal, gitar) memang ingin membawa pengalaman menyambangi pesta dansa di The Loft, New York, yang “subversif, progresif, psikedelic, penuh acid”. Ternyata bukan cuma saya yang merasa lagu-lagu seperti ini harus lestari.
9. Celeste – Strange
“Isn’t it strange / How people can change / From strangers to friends / Friends into lovers / And strangers again?”
Pada gelaran Brit Awards 2020, Celeste tampil membawakan “Strange”, membuat banyak orang terkenang lagi performa legendaris Adele di tahun 2011 dengan “Someone Like You”.
Sementara Annie Mac, penyiar radio BBC mengadu, ia menerima pesan-pesan emosional tak terhitung dari para pendengar yang duduk dalam mobil dan larut mendengarkan lagu itu. “Her songwriting is personal and poignant but with universal appeal.”
8. Pinkpantheress – Just for me
Cuplikan lagu ini dirilis di TikTok pada Juli 2021 dengan caption “plz understand that I don’t write sad lyrics in a [sic] actual ‘sad’ way but in a studious, unlucky in love main character in a y/n x Harry x Zayn wattpad love story way”.
PinkPantheress sebelumnya sudah sempat viral di TikTok dengan lagu “Break It Off”. Setelahnya, ia rajin menulis lagu-lagu berdurasi di 2 menitan. Sasarannya spesifik.
“Just For Me” yang paling jitu. Mengandalkan estetika GarageBand dengan sound bindeng era awal 2000-an. Melodinya serupa nada ringtone polyphonic, dengan lirik berisi obsesi yang tidak sehat terhadap crush, cocok untuk generasi sad girl yang melarat-laratkan diri di layar ponsel sebelum bobo.
7. Low – days like these
Band indie rock yang sudah bergerilya sejak medio 90-an dengan ciri aransemen lengang, tempo lamban, mengandalkan harmonisasi vokal dan efek noise.
“Days Like These” menawarkan formula khas itu, tapi lebih aksesibel. Serangkaian bait vokal yang simpel tapi mengandung hook dilancarkan di awal secara yakin tanpa iringan berarti. Pada detik ke-80, bait-bait yang sama diulang, kali ini dilapisi sayup-sayup bunyi synth fuzz, feedback statis, dan glitch. Separuh lagu tersisa dipasrahkan pada ambience hingga melesap seperti gunung es ditelan laut.
6. Wolf Alice – Smile
Single kedua album Blue Weekend, lagu yang memang diciptakan untuk membaturobohkan penonton konser.
Alternative grunge yang gaduh. Gebukan drum dan distorsi paling geger yang pernah dihasilkan Wolf Alice. Vokal yang melantas secara arogan dan semi-rap disusul chorus yang dreamy.
Seperti membenamkan wajah ke bantal, lalu menjerit kencang.
5. Lana Del Rey – White Dress
Perihal kehidupannya sebelum tenar, usia 19, menyambung hidup sebagai pelayan berbaju putih.
Masih dengan suaranya yang merisik. Berdesis, lirih, mengalir ke bagian chorus, rintihannya semakin cepat, tapi tersendat kecil:
“When I was a waitress wearing a white dress / Look how I do this, look how I got this/ I was a waitress working the night shift /You were my man, felt like I got this“
Lagi-lagi, liukan melodi yang tidak tertebak. Di ujung chorus tiba-tiba pelafalannya menderas seraya menggeram. Desis jadi desing. Emosional tanpa harus membangunkan sepi dalam aransemennya. Lana just being Lana.
“Down at the Men in Music Business Conference / Down in Orlando, I was only 19 . Down at the Men in Music Business Conference / I only mention it ’cause it was such a scene”
4. Chvrches – How Not To Drown (with Robert Smith)
Mayoritas materi Chvrches memang mengupayakan apa yang menjadi nyawa karya-karya The Cure, yakni mempertemukan pahit dan manis. Menanam rasa kesepian, keterasingkan, dalam lagu-lagu yang secara aransemen semarak.
Kali ini, trio synth pop ini secara khusus—dan pasti antusias—mendatangkan langsung empunya, Robert Smith. Saya masih mengira-ngira seberapa kontributif sumbangsih Smith. Tapi ini adalah salah satu karya terbaik Chvrches untuk mengejar impresi yang sama dari karya-karya terbaik The Cure.
Chorus-nya misalnya, begitu mengaramkan emosi. Saya membayangkan, bila vokalnya sepenuhnya dinyanyikan Smith, rasanya amat memadai masuk Disintegration (1989) atau Pornography (1982).
3. Olivia Rodrigo – Good 4 U
Single ketiga dari album Sour yang bikin Olivia Rodrigo mendominasi industri musik tahun ini.
Terinspirasi dari “Misery Business”-nya Paramore, karakter vokal di “Good 4 U” membajak gaya vokal Hayley Williams, plus kepunyaan Taylor Swift di “We Are Never Ever Going Back Together” secara sangat berkena.
Lirik tentang mantan yang sekejap dapat pacar pengganti setelah putus ini juga ditulis dengan bahasa pop punk 2000-an.
“Well, good for you / You look happy and healthy, not me / If you ever cared to ask / Good for you / You’re doin’ great out there without me, baby /LIKE A DAMN SOCIOPATH!”
Sudah lama pemudi-pemudi tidak punya anthem patah hati yang beringas.
2. Sam Fender – Seventeen Going Under
Lagu ini ditulis Sam Fender sebagai surat untuk dirinya sendiri versi usia 17. Sosok yang menurutnya bukan lagi bocah, tapi juga belum sampai umur.
Lewat komposisi gitar ala Bruce Springsteen, Sam mengisahkan masa penganggurannya, fasenya penuh baku hantam. Jatuh bangunnya membantu keluarganya secara ekonomi. Itulah usia 17 baginya: cukup dewasa untuk memahami situasi, tapi tak cukup dewasa untuk bisa menyadari apa yang harus dilakukan.
Nuansa nostalgia 80-an membuat “Seventeen Going Under” beresonansi ke mereka yang melakoni 17-nya sebagai terowongan gelap, alih-alih taman bermain yang meriah.
1.Billie Eilish – Your Power
Saat sampul cerita majalah Vague mengangkat Billie Eilish, sudut pandang yang dieksekusi adalah “kisah gadis berusia 19 tahun yang bicara soal orang-orang yang memanfatkan keuntungan dari kekuasaan atau power mereka miliki”.
Topik yang terkesan tidak ramah showbiz, tapi sejatinya tengah menggaung di kalangan anak muda hari ini. Eilish mengilustrasikannya dalam narasi hubungan asmara laki-laki dan perempuan, melibatkan unsur gaslighting (“I thought that I was special, you made me feel like it was my fault.”), kekerasan seksual, dan ragam toxic relationship lainnya
Tapi ini bisa diterjemahkan juga sebagai ketimpangan hukum, sensor publik, korupsi sistematis, kekerasan aparat, pengrusakan lingkungan, dll. Karena memang itulah bahasa Gen-Z untuk bicara politik.
“Try not to abuse your power / I know we didn’t choose to change / You might not wanna lose your power / But having it’s so strange”
Meski aransemen minimalis sudah lazim bagi Eilish sejak album When We All Fall Asleep, Where Do We Go? , tapi kemasan balada akustik cukup baru. Seperti ingin lebih menekankan apa yang ia sampaikan dalam salah satu alunan teremosional tahun ini.
Selalu gembira, menemukan sosok paling didengar di generasinya menyampaikan apa yang paling penting di generasinya.