Tags

, ,

10. Snail Mail – Valentine

Snail Mail: Valentine Album Review | Pitchfork

Meremajakan indie rock dengan album Lush di tahun 2018 sedari usia 18. Lindsey Jordan, artis di belakang proyek Snail Mail, tahun ini sudah berusia 22 tahun, sekejap jadi figur publik, dan terbuka sebagai seorang lesbian. Ia menjalani rehabilitas di Arizona—seperti  tertulis di lagu “Ben Franklin”—dan menyewa trainer media untuk melatih dirinya menghadapi jurnalis. Kebayang, betapa gagapnya ia dalam kehidupan bersosial? Lagu pembuka, “Valentine” , secara musikal dan lirik, terang-terangan menunjukannya: “Let’s go be alone / Where no one can see us, honey / Careful in that room / Those parasitic cameras, don’t they stop to stare at you?”.

Penulisan liriknya di album kedua ini lebih  artikulatif mengulik tiap konflik emosional dalam dirinya. Sound gitar clean, dengan palet ala My Bloody Valentine dan Sonic Youth plus atmosfer folksy, tetap menjaga kelusuhannya meski judul albumnya kali ini jauh lebih manis.

9. Claud – Super Monster

Super Monster | Claud

Single pertama Super Monster, “Soft Spot” ditempeli catatan personal dalam pers rilisnya: “It’s just me romanticizing what I can’t have and being like ‘but what if….’

Keluguan, atau gelagapannya Gen-Z, dalam merespons ketidakpastian, cinta yang datang dan pergi, merupakan apa yang kita peroleh dari Super Monster. Keterusterangan itu misalnya, paling getir ada dalam “Pepsi”: “I hate that you told me to masturbate / Instead of comin’ over” atau “I don’t wanna be rude but this song is for you / And you’re losing my trust / I wanted to be cool / But I guess I’m a fool for falling into the lust”.

Bedroom pop memang tengah marak dalam arus musik zaman kiwari. Musik yang tepat mengekspresikan gelisah remaja hari ini: kesepian dan tergampar ekspektasi.

Claud menyampaikan itu lewat bangunan melankolia yang selangkah lebih menonjol dibanding karya-karya sejenis dari seangkatannya. “Cuff Your Jeans” atau “Guard Down” adalah contoh terlegitnya.

8. Celeste – Not Your Muse

Not Your Muse - Wikipedia

Artis Britania pertama dalam lima tahun terakhir yang bisa memuncaki UK Album Chart.

Nama Celeste sudah malang melintang di nominasi penghargaan kelas kakap, mulai dari Brit Award, Mercury Prize, sampai Academy Award (menggarap musik untuk The Trial of The Chicago 7). Namun, rilisnya Not Your Muse adalah syarat wajib baginya menuju penyanyi kelas dunia.

Not Your Muse berisi musik R&B dengan warna noir. “Strange” yang menghantui mungkin sudah cukup representatif, tapi “Love Is Back” perlu didengar untuk menemukan similaritas vokalnya dengan Amy Winehouse dan Adele. Kelembutannya menyanyikan soul memang tidak membawa kebaruan, tapi ini bentuk pengembalian marwah genre lama yang sebaik-baiknya.

Kejutan itu mungkin hadir di “Stop This Flame”. Lagu yang pertama kali saya dengar dari FIFA 21, dan menjadi musik komersial untuk program SkySport serta Premier League 2020-2021. Tak setiap tahun kan kita bisa menemukan nomor soul yang dipercaya jadi pemeriah olahraga?

7. Sam Fender – Seventeen Going Under

Seventeen Going Under - Wikipedia

“Eighteen, failed dream / Attracted to a bad scene / Think I’ll made a couple lemons / Cataclysmic age to be” – “Getting Started”

Bocoran dari judulnya, album ini berisi stori coming of age, selebrasi jatuh bangun masa belia Sam Fender. Masa-masa itu memang pertempuran baginya. Ditinggal pergi ibu kandungnya di usia 8, diusir ibu tirinya saat remaja, berjualan narkotika untuk menyambung hidup, dirisak karena kegemukan, berujunglah pada depresi panjang.

Lagi-lagi, penyanyi Inggris yang terpengaruh Bruce Springsteen malah menghasilkan sesuatu yang menarik. Komposisi gitar khas heartland rock diiiringi saksofon dan mandolin menumbuhkan perpaduan rock machismo dengan cita rasa Britania.

Kendati “Seventeen Going Under” membuka album ini terlalu mempesona—sampai tak bisa diimbangi lagu lainnya—tapi secara utuh, Sam Fender mampu mengintegrasikan setiap lagu-lagunya dengan hasratnya bercerita.

Seorang pemuda yang berproses mengenal dirinya sendiri. Bagaimana ia berupaya menghindari maskulinitas berlebih dan kedegilan pada setiap tahap pendewasaan. Bagaimana ia harus mempertahankan idealismenya di saat ia mulai kehilangan keluguannya.

6. Arlo Parks – Collapsed In Sunbeam

Arlo Parks: Collapsed in Sunbeams Album Review | Pitchfork

Dari wawancara dengan NME, Arlo Parks mendefinisikan album ini sebagai “a series of vignettes and intimate portraits surrounding adolescence and the people that shaped it.”

Utamanya, sebagai advokat CALM (Campaign Against Living Miserably), lembaga yang mengatasi isu kesehatan mental, Parks terlatih memahami dan menuliskan lagu-lagu dengan emosi yang kompleks. “Black Dog” misalnya, secara khusus merupakan metafora untuk situasi yang dihadapi korban depresi: “It’s so cruel / What your mind can do for no reason.” Terkadang, ia menjelaskannya secara jauh lebih sederhana seperti pada “Hope”: “You’re not alone / Like you think you are / We all have scars / I know it’s hard / You’re not alone.”

Collapsed In Sunbeam berakar dari storytelling dan nostalgia yang terasa universal sekaligus spesifik. Berbuah kombinasi R&B dan bedroom pop, Collapsed in Sunbeam adalah album yang luwes, tidak memaksakan diri. Mereka yang berusia belia maupun kepala tiga-empat-lima bisa menikmati maksud tuturnya, maupun melodi musiknya tanpa harus berusaha terlalu keras. Seperti teman bercakap yang selalu peduli lawan bicara.

5. Turnstile – Glow On

Bagaimana agar hardcore yang bahan-bahan musikalnya semakin dipencilkan oleh tren bisa merebut atensi kembali di permukaan?

Simak Glow On, album ketiga sekaligus tersolid dari unit hardcore asal Baltimore ini. Turnstile membuat hardcore begitu cair,  membuka kemungkinan inovatif dari melodic hardcore. Mereka menggarami lautan distorsi dengan bebunyian elektronik, drum mesin, latin funk, pop punk, dream pop, shoegaze, dan sebagainya.

Menyebut langkah ini sebagai eksperimen crossover rasanya kurang tepat, karena inovasi ini juga dimaksimalkan sampai pada tataran preferensi sound.

Memilih sound alternative rock, materi Glow On kadang terdengar seperti lagu-lagu terkeras Jane’s Addiction. Menariknya, produksi sound-nya sengaja digarap rapi, bersih, mengkilap, memberi sensibilitas lebih familiar pada kuping pop. Turnstile juga menyadari kekuatan musik atmosferik hari ini. Semuanya menyala-nyala, tanpa memadamkan kecadasannya. Glow On adalah ketika hardcore menatap masa depan mereka.

4. The Weather Station – Ignorance

Ignorance (The Weather Station album) - Wikipedia

Kepada NPR, Tamara Lindeson selaku penggawa utama The Weather Station mengatakan bahwa Ignorance bersuara soal, “proses peralihan dari ignorance menuju understanding.”.

Ignorance ditulis ketika ia mulai makin terusik dengan paparan fakta-fakta keji  perihal krisis iklim. Namun, ia tidak memilih menguliahi pendengar, atau mengumbar geram. Album ini adalah perangkat Lindeson menggali emosi tentang kerapuhannya menghadapi situasi jelang kiamat ini.

Empat lagu pertama adalah aset berharga Ignorance. Apalagi nomor pembuka, “Robber” yang subversif lewat tuturan yang dingin: “I never believed in the robber / When I was young / I learned how to make love to the robber / To dance with the other / To wring from his hand, the touch of a lover”

Dari segi aransemen, Ignorance menggunakan varian saksofon, flute, dan perkusi. Semuanya adalah instrumen yang sebelumnya tak dioptimalkan oleh Lindeson, karena ia gigih mengandalkan aransemen folk konvensional.

Pada Ignorance, mungkin pertama kalinya Lindeson beranjak percaya kekuatan musik untuk membuat pesan-pesannya lebih didengar. Ini album pertama The Weather Station yang dilandasi kesadaran lebih jauh mengupayakan pendengar lebih fokus pada apa yang ingin disampaikan oleh Lindeson.

3. Lana Del Rey – Chemstrail Over The Country Club

Chemtrail Over The Country Club adalah musik coffeeshop, bukan lagi playlist-nya pub-pub terselubung dan pesta ganja rumahan. Ini album Lana Del Rey paling memprioritaskan anasir folk dan country, meskipun kadarnya masih selalu sangat subtil. Aransemen akustik begitu pekat tanpa menanggalkan nuansa atmosferik. Bahkan, ketika kreasi prosesor vokal atau manipulasi efek masih bermunculan.

Kita tahu, sejak Norman Fucking Rockwell!! (2019), Lana sudah mengurangi kandungan melodrama, lalu banyak-banyak membuka dialog tentang observasinya terhadap kultur Amerika. Penulisan lirik di Chemtrail Over The Country Club meneruskan itu. Komprehensif, penuh detail-detail deskriptif, guna memaknai lanskap budaya Paman Sam di matanya, mengilustrasikannya secara puitis dan anggun.

Seperti lagu berjudul sama dengan albumnya, sebuah balada dreamy,“ I’m on the run with you, my sweet love / There’s nothing wrong contemplating God / Under the chemtrails over the country club”. Namun, tetap ada lagu seperti “Let Me Love You Like a Woman” yang sudah setipikal itu bagi Lana Del Rey, baik secara musik maupun judulnya sekalipun.

Sebagai salah satu musisi paling kenyang apresiasi sepanjang 2010-an, Lana menggunakan Chemtrail Over The Country Club untuk menunjukan bahwa pergantian dekade mungkin hanya pergantian kalender baginya.

2. Billie Eilish – Happier Than Ever

Ada istilah torch song, atau lagu-lagu sentimental yang merayakan keperihan akan asmara yang sudah pupus atau melukai. Ini tema-tema yang sebelumnya banyak diangkat oleh musisi jazz tradisional seperti Billie Holiday dan seangkatannya.

Estetika melodrama ini dipinjam oleh Eilish di album Happier Than Ever. Bedanya, kepahitan itu bukan menyoal asmara, melainkan kebanyakan dari kepelikannya menghadapi popularitas yang setinggi-tingginya.

Sebuah album pop downtempo, meraba-raba dalam aransemen electropop yang meditatif. Lebih sayu dan minimalis dibanding album perdana, When We All Fall Asleep, Where Do We Go? Meninggalkan trip hop dan trap, menjadi lebih banyak bermain tekstur—menyerupai album perdana Lorde, Pure Heroine. Kadang-kadang terdengar begitu sepi dan lamban.

Vokalnya yang dikenal seperti orang berbisik, halus serupa debu melayang, beralun pada “My Future” yang sepintas seperti nyanyian seorang yang terkantuk-kantuk. Ada juga “Happier Than Ever” atau “Therefore I Am” yang bersifat uptempo tapi tetap terdengar lesu. Semua ini adalah keabsurdan yang semarak di generasi remaja hari ini.

Eilish kian ringan lidah semenjak menjadi bintang, paling diingat adalah kebawelannya soal bodyshaming dan body positivity. Eilish bukan artis yang mengekspresikan feminismenya secara konvensional—bahkan untuk ukuran seniman. Dalam Happier Than Ever, ia mewakili politik generasinya yang kompleks dan eksentrik dalam estetika yang terus berkembang, seakan Eilish selalu selangkah lebih maju setiap kita merasa sudah bisa memahami mereka.

1. Olivia Rodrigo – Sour

Ia berada di jalan yang benar sebagai idola remaja sekaligus remaja idola: kelahiran 2003, usia 18 tahun, tenar dari kiprah akting di series Disney, terpilih sebagai Entertainer of The Year versi Time.

Single “Drivers License” mencetak rekor Spotify sebagai lagu—selain holiday song—yang paling banyak diputar harian, 17 juta kali stream dalam 24 jam. Single kedua, “Déjà vu” kemudian menjadikannya sebagai artis pertama dalam sejarah yang bisa merilis dua lagu debut sebagai pemuncak Hot 100. Hashtag #driverlicense pun tercatat ratusan juta kali di TikTok.

Tak usah pakai data, lagu-lagunya paling sering masuk kuping saya sepanjang tahun 2021 di Spotify, radio, media sosial. Banyak lagu hit—bahkan “Happier” yang tidak dirilis sebagai single—yang saya belakangan baru tahu dinyanyikan satu orang yang sama: Olivia Rodrigo.

Artinya, tongkat estafet musik memang sudah berpindah generasi. Baik sebagai artis, maupun konsumen. Olivia Rodrigo adalah pilihan zaman.

Lain dengan Billie Eilish yang menyuguhkan keminimalisan yang eksentrik dengan keresahan yang muram, maka Olivia Rodrigo memberi kewarna-warnian dan keberanian. Olivia adalah wajah cerah bagi pucatnya Eilish.

Sekilas dengar, Sour berisi musik berkarakter pop Top 40 selazimnya—yang membuat saya tak langsung sadar bahwa tebarang single berbeda itu ternyata dinyanyikan satu penyanyi yang sama. Materi ini mungkin sudah akrab bagi kita sejak era Britney Spears, Katy Perry, hingga Taylor Swift.

Namun, selain sukses mencapai cita-cita pop karena piawai menemukan hook, penulisan lirik di lagu-lagu itu yang membuat Olivia Rodrigo dicintai. Olivia pun memilih merilis Sour bersama label Interscope karena mereka menyanjungnya sebagai penulis lagu, alih-alih seorang bakal bintang.

Lirik dalam Sour umumnya bergaya storytelling menyerupai Taylor Swift, sebagian seperti Lorde. Hanya saja, lahir di generasi lain memaksanya melahirkan ekspresi berbeda. Lugas, blak-blakan, terkesan lugu, tapi lebih realistis dan tidak melodramatik. Sinismenya pun khas. Berasa kecut.

Sour berisi koleksi pengaruh dari beragam bintang pop 2010-an yang didengarkannya. Kini, ia siap menggantikan mereka.  Gen-Z punya wajah baru. Dan kapanpun kita hendak bertatap muka, bertemu dengar, maka putarlah album ini.