Billy Wilder
1953
War
Dalam sejarah yang dibentangkan peperangan, prajurit cuma punya dua nasib. Antara mereka akan bertempur sampai akhir perang, atau mereka akan mati. Beberapa mempertimbangkan kemungkinan ketiga yang terbukti menjadi takdir bagi jutaan prajurit: menjadi tawanan perang.
“Stalag” adalah istilah Jerman untuk menyebut kamp tahanan perang di Perang Dunia I dan II. Khusus untuk tahanan perang ya, bukan aktivis atau korban UU ITE. “Stalag” adalah kependekan dari “Stammlager”, terjemahan literalnya kurang lebih “tawanan terdaftar”.
Kisah dalam Stalag 17 pun diadaptasi dari sebuah drama Broadway yang mengangkat langsung pengalaman menjadi penghuni Stalag 17-B, sebuah cabang stalag yang terletak di dekat Krems, Austria. Di sanalah kepala-kepala tidak beruntung yang tertangkap serdadu Jerman dikurung.
Lagi-lagi Billy Wilder—semua -semua kok difilmkan. Eh, tapi Billy Wilder punya alasan dan motif sentimen kuat untuk menggarap film ini. Pasalnya, ibu kandung dan ayah tirinya tewas di kamp konsentrasi Jerman. Yak, Wilder adalah salah satu kepingan dari kebengisan Holocaust.
Bernama asli Samuel Wilder, ia lahir pada tanggal 22 Juni 1906 dari sebuah keluarga Yahudi Polandia di Sucha Beskidzka, sebuah kota kecil milik Kekaisaran Austria-Hungarian. Ibu, nenek, dan ayah tiri Wilder semuanya korban genosida. Selama beberapa tahun, sempat diasumsikan eksekusi terhadap keluarga Wilder itu terjadi di Kamp Konsentrasi Auschwitz. Namun, arsip Polandia dan Israel menemukan fakta di tahun 2011 bahwa mereka dibantai di lokasi yang berbeda. Ibunya tewas di Plaszow, sementara ayah tirinya dihabisi di Belzec.
Makanya, sungguh tolol ketika rumah produksi Paramount sempat menyarankan kepada Wilder untuk mengganti kamp Jerman dalam cerita Stalag 17 menjadi kamp Polandia. Tujuannya, supaya tidak terlalu menyinggung orang Jerman Barat, sehingga peluang film ini ditonton di negara yang sudah jadi pasar penting bagi Hollywood itu lebih tinggi. Wilder jelas menolak keras, dan malah menuntut permintaan maaf dari eksekutif Paramount. Rasa sakit hatinya pada Nazi disepelekan.
Hei bos-bos Paramount, ya kalau mau bikin film ini enggak nyinggung-nyinggung amat ke orang Jerman, minta disutradarain Anggy Umbara aja noh! Artisnya Babe Cabita sama Indro Warkop.
Masih mending, Stalag 17 tidak terlalu mengakomodasi tragedi personal Wilder, sehingga menjelma film noir yang gelap dan depresif. Stalag 17 sebatas ingin mengangkat kehidupan orang-orang yang sering disingkat POW, prisoner of war, atau tahanan perang. Mereka bisa anggota militer, nonkombatan, atau warga sipil yang ditawan oleh kekuasaan yang berperang selama masa konflik bersenjata.
Pihak yang berperang bisa menahan tawanan perang karena berbagai alasan, baik yang sah maupun tidak. Misalnya, untuk mengisolasi mereka dari pasukan musuh yang masih berada di medan temput, menunjukkan kemenangan militer, atau menghukum dan menuntut musuh atas kejahatan perang. Bisa juga POW dikumpulkan dan dieksploitasi untuk berbagai pekerjaan, atau bahkan direkrut menjadi prajurit, hingga didoktrinasi dalam keyakinan politik atau agama baru.
Menurut Konvensi Jenewa, personel musuh diizinkan untuk dipekerjakan di bidang pertanian dan industri, tetapi tidak di industri apapun yang memproduksi bahan perang. Pasal lebih lanjut dari Bagian III konvensi itu merinci kondisi untuk mereka harus bekerja, bertempat tinggal, dan dibayar. Selama Perang Dunia II, ketentuan ini secara konsisten dilanggar, khususnya untuk tahanan Rusia, Polandia, dan Yugoslavia. Menurut ideologi Nazi, orang Slavia dianggap sebagai minderwertig rassisch (“rasial inferior”).
Kelaparan adalah kebijakan yang disengaja di Stalag, terutama bila kamu adalah tawanan perang dari Soviet. Kamp-kamp di Stalag terdiri dari lapangan dengan kawat berduri di sekelilingnya, ribuan orang berdesakan di sana. Biasanya tidak ada ruang untuk duduk atau berbaring. Seringkali pun tidak ada perlindungan dari cuaca yang bisa sangat dingin di musim dingin Polandia dan Belarusia. Makanan yang disediakan terlalu sedikit untuk membuat para tahanan tetap hidup.
Stalag yang berisi Soviet punya angka kematian 57,5 persen, meskipun selama bulan-bulan terakhir tahun 1941 angka ini pasti jauh lebih tinggi. Sebagai perbandingan, angka kematian para tahanan di Blok Sekutu (Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina, Britania Raya) di bawah 5 persen. Lebih banyak tawanan perang dari Uni Soviet tewas setiap hari di kamp-kamp Nazi selama Musim Gugur 1941 daripada jumlah total tawanan perang Blok Sekutu di seluruh perang.
Tahanan dari berbagai negara umumnya dipisahkan satu sama lain dengan pagar kawat berduri yang membagi mereka menjadi beberapa bagian. Seringkali tahanan yang berbicara dalam bahasa yang sama, misalnya tentara persemakmuran Inggris diizinkan untuk berbaur.
Stalag 17B sendiri menjadi bagian dari kamp konsentrasi pada tahun 1938 hingga 1940. Mulanya, isinya adalah tawanan dari Prancis dan Polandia, diikuti oleh tawanan dari Italia, Rusia, dan Yugoslavia. Pada bulan Oktober 1943, penerbang pesawat yang ditangkap dari Angkatan Darat Amerika mulai berdatangan, sekitar 1.350 orang. Jumlah itu bertambah menjadi 4.237 hingga hari-hari terakhir perang. Dikatakan bahwa kamp tersebut menahan hampir 30.000 tahanan dari berbagai negara selama perang.
Orang Amerika Serikat yang ditawan menempati lima kompleks, masing-masing dibangun untuk menampung 240 orang, tapi kadang-kadang menampung sebanyak 4 ribu orang. Kompleks itu memiliki gedung medis, gimnasium, kapel, dan jamban terbuka. Kabin dilengkapi dengan tempat tidur bertingkat tiga, kasur jerami, dan kompor berbahan bakar batu bara. Tawanan yang selamat mengaku mereka sering tidur berbarengan dalam satu ranjang untuk menambah kehangatan. Kamp itu dikelilingi oleh pagar listrik dan empat menara pengawas yang dilengkapi dengan senapan mesin.
Meskipun diperlakukan dengan buruk, bahkan brutal, kadang-kadang mereka bergantung pada hiburan sederhana untuk melewatinya: permainan kartu, catur, buku dari perpustakaan, dan program radio yang didengarkan diam-diam di masing-masing barak.
Nah, film Stalag 17 ini menceritakan pengalaman tahanan dari Amerika Serikat di Stalag17B. Dihadirkan sederet karakter menarik, dipimpin oleh karakter utama bernama J.J Selton yang diperankan William Holden.
Tuh kan, sekali lagi, Holden mendapatkan peran di film yang bagus. Beruntung sekali manusia ini, sering infaq sepertinya orangtuanya dulu. Dari 1954 sampai 1958, Holden selalu berada di peringkat lima besar bintang terpopuler di AS. Namun, memang menurut saya penampilan terbaiknya ada di Stalag 17–di samping The Bridge of River Kwai.
Lewat Stalag 17 ini, Holden diganjar Oscar. Di atas podium, ia cuma bereaksi “thank you, thank you”, serupa respons basa-basi saat dikasih ucapan ultah oleh follower yang kita lupa siapa, kenal di mana. Ini menjadi salah satu speech terpendek di sejarah kemenangan Oscar.
Yah, itu sih bukan speech ya. Itu naluri manusia ketika dikasih sesuatu.
Konon, Holden enggak niat menyampaikan speech karena merasa aktingnya tidak bagus-bagus amat, apalagi dibanding ketika main di Sunset Blvd (1950). Ia merasa nominator lainnya, Burt Lancaster atau Montgomery Clift dari From Here to Eternity lebih cocok dimenangkan. Makanya Holden yakin kalau kemenangannya ini cuma kompensasi atau rasa bersalah dari juri Oscar akan kekalahannya di Sunset Blvd pada gelaran sebelumnya. Hmmm, aku sih no ya, enggak setuju.
Bagus kok aktingnya di Stalag 17. Boleh jadi Holden memang dilahirkan untuk memerankan tahanan perang. Ingat, empat tahun kemudian, Holden kembali membintangi film dengan karakter utama prisoner of war, yaitu The Bridge of River Kwai, pun ia tampil cemerlang lagi. Kasihan, raganya terlalu berjodoh dengan penjara.
Sebagai tahanan, karakter-karakter yang diperankan Holden digambarkan tidak sepenuhnya menderita, melainkan sosok yang adaptif dengan kondisinya. Tidak heroik, tapi bisa mencari cara untuk berdaya dan hidup dari keterbatasan situasinya, oportunis terhadap keadaan.
Holden memerankan Sefton di Stalag 17, seorang POW yang menjual segala macam barang ke orang lain, mencari keuntungan dari sesama tahanan. Ia menghelat perlombaan balap tikus, sampai membuat sebuah wahana hiburan berupa teleskop ke arah tawanan perang perempuan Soviet yang mandi di kompleks yang berdekatan. Semua layanan ini ada harganya,dan duitnya dipakai untuk menyuap penjaga Jerman demi kemewahan seperti wiski, cerutu, dan telur segar. Menurut standar kehidupan di dalam penjara perang, Sefton menjadi orang kaya. Seorang enterpreneur kelas penjara. Rekan sebuinya pun bingung melihatnya bisa punya banyak harta meski di balik jeruji.
Baik dalam Stalag 17 atau The Bridge of River Kwai, karakter yang diperankan Holden akhirnya selalu membuat pelarian yang berani. Kedua film itu dirayakan, namun cukup kontras. Dengan durasi 161 menit—41 menit lebih lama dari Stalag 17—The Bridge of River Kwai menyuguhkan warna-warna cerah di lanskap Sri Lanka. Film ini disutradarai oleh David Lean yang terbiasa menggarap film-film panjang dan mengejar kesan epik, termasuk Lawrence of Arabia dan Doctor Zhivag. The Bridge of River Kwai bercerita tentang prajurit Amerika Serikat bernama Shears, salah satu dari sedikit tahanan perang Jepang yang tidak menyerah pada penyakit atau sadisme dari komandan kamp, Kolonel Saito (Sessue Hayakawa). Ditontonkan kondisi kamp yang sangat panas, memberi kesempatan bagi para produser untuk menampilkan sosok Holden tanpa bajunya. Ia berkeringat saat menggali kuburan di kamp atau menyeruput Martini di pantai.
Dalam Stalag 17 maupun The Bridge of River Kwai, Holden menampilkan naluri bertahan hidup, kecerdasan, dan tipu daya, untuk memenuhi kepentingan pribadinya dalam takdir yang menjepitnya. Ini membuatnya selalu berhasil keluar dari penjara di akhir film. Sebagai Shears di The Bridge on the River Kwai, ia berhasil melarikan diri dari kamp penjara terpencil yang tidak memerlukan gerbang atau pengawasan karena tidak ada tempat untuk melarikan diri. Kampnya dibatasi oleh tanjung curam, hanya sedikit yang akan selamat bila memaksa kabur.
Sementara di Stalag 17, Sefton adalah sosok yang bahkan dikucilkan oleh sesama tahanan. Ia penyendiri yang secara agresif menegaskan individualitasnya dalam situasi yang menuntut kolektivitas. Kawan-kawannya seperti Duke (Neville Brand) dan Price (Peter Graves), percaya bahwa Sefton adalah pengkhianat yang membocorkan kepada pihak penjaga tentang rencana pelarian dua tahanan yang lain. Setelah dipukuli oleh sesama tahanan, Sefton memutuskan untuk mencari tahu siapa pengkhianat sebenarnya. Begitu juga dalam The Bridge of River Kwai, saat karakter Shears berhasil melarikan diri sendiri. Lalu situasi menuntutnya untuk kembali ke kamp itu dengan identitas berbeda. Apapun yang diupayakannya, ia selalu sendirian.
Di kedua film itu, Holden mengomunikasikan ketidaksukaannya pada konsepsi kekanak-kanakan tentang perang sebagai “permainan”. Dalam The Bridge on the River Kwai, Shears berkata kepada Warden: “Anda dan Kolonel Nicholson, Anda berdua adalah orang yang baik hati, punya keberanian. Untuk apa? Kenapa mati seperti seorang pria sejati, padahal satu-satunya hal yang penting adalah bagaimana hidup seperti manusia. ”
Subjek sebenarnya dari Stalag 17 adalah upaya para tawanan perang untuk menghadapi kehidupan monoton, pertengkaran kecil, dan problem yang menyertai penahanan. Baik drama maupun film kisah ini dimulai dengan sulih suara oleh Clarence Harvey “Cookie” Cook (diperankan oleh Gil Stratton), mengeluhkan setiap film Perang Dunia II yang selalu menampilkan kepahlawanan. Tidak satu pun membahas hari-hari tahanan, seperti apa kebosanan hidup di kamp tawanan perang yang suram. Seandainya ia bisa mengintip ke masa depan, Cookie akan sama jengkelnya dengan puluhan film POW lain yang mengikuti Stalag 17, sebagian besarnya masih menampilkan tindakan-tindakan heroisme.
Sementara Sefton menjadi poros drama Stalag 17, karakter lain menyediakan komedi. Tokoh-tokoh dalam Stalag 17 memang beragam dan menarik. Untuk mengimbangi sentimen-sentimen anti-perang yang meluap, kita mendapatkan kejenakaan dari dua narapidana, Harry Shapiro (Harvey Lembeck) dan temannya, “Animal” (Robert Strauss). Animal adalah pria berbadan besar, perawakannya seperti gerombolan si berat di komik Paman Gober. Ia agak bloon tapi ada kalanya otaknya bengkok.
Mimik muka “Animal” yang teler dan khas itu tidak menganggu, meski jelas kontribusinya dalam kisah hanya sebatas penghibur, tidak memengaruhi alur cerita. Tapi toh, akhirnya ia juga masuk nominasi Oscar sebagai Aktor Pendukung terbaik. Dan karakter yang dibawakannya sukses mendapat permintaan lagi. Salah satu yang saya ingat ada di film The Seven Year Itch (1955) menjadi tukang taman (atau tukang ledeng yak?).
Adegan-adegan lain yang kocak seperti upacara indoktrinasi Hitler tiruan mungkin tidak terlalu kentara dalam film, tetapi semuanya terintegrasi dengan sangat baik ke dalam nuansa film yang berbeda. Wilder membuat ini semua mengalir luar biasa dengan seluruh atmosfer dan konsepsi sebuah barak. Kehidupan kamp penjara terasa begitu hidup, kita bisa merasakan dunia yang begitu bersemangat dari berbagai karakter yang menghuninya.
Para penjaga kamp pun jenaka sampai batas tertentu, tanpa bablas menjadi parodi. Misalnya, Schulz (Sig Ruman) dan Kolonel Van Scherbach (Otto Preminger) yang licik dan sangat jahat, meski tak digambarkan mengancam. Penyajian para antagonis menjadi memikar, karena kita tidak pernah tahu di adegan mana mereka akan muncul, seperti apa nuansa filmnya. Ini berhasil membuat kita tetap fokus pada drama sembari menjual tawa saat dibutuhkan.
Wilder memilih untuk menciptakan suasana yang tidak sepenuhnya negatif dari kamp tahanan. Menimbulkan bahak tetapi juga tetap bersimpati untuk para tentara yang jauh dari rumah. Ada rasa penindasan, tentu saja, yang berasal dari perwira Nazi dan peperangan, plus jarak mereka dari rumah dan wanita. Namun, Wilder juga tidak pernah melupakan bahwa di tengah kegelapan, selalu ada kesempatan bagi seorang tersandera untuk menemukan diri mereka.
Best Lines:
Sefton: There are two people in this barracks who know I didn’t do it. Me and the guy that did do it.
After Watch, I Listen:
Carl Perkins – Blue Suede Shoes