Tags

, , , , , , , , , , , ,

Michael Curtiz

1938

Crime, Drama

 

Nama Michael Curtiz rasanya tak terlalu familiar.

Padahal ia merupakan salah satu sosok terpenting di balik nama besar studio Warner Bros. Pictures. Jack Warner, presiden dari salah satu eksponen “big six” atau enam studio film korporat terbesar di dunia ini bahkan menyebut Curtiz sebagai sutradara terbaik yang pernah dimiliki Warner Bros. Selama di Hollywood, Curtiz telah menggarap 102 film. Sungguh produktif, dan sebagian terbilang sangat berhasil, mulai dari Captain Blood (1935), The Adventures of Robin Hood (1938), hingga Casablancas (1942). Selain dikenal atas rentang genre pengaryaan yang luas, mulai dari petualangan fantasi hingga film-film kriminal dan asmara, Curtiz juga diakui sebagai pakarnya detail-detail teknis. Perfeksionis dan bawel pada hal-hal kecil dalam kerja produksi pengambilan gambar.

Dan kendati genre apapun dimakan, bukan berarti Curtiz adalah air di daun talas (apa sih???). Ia punya  komitmen untuk selalu mengikat petualangan-petualangan tema itu dengan daya tarik kemanusiaan yang kuat. “Pertama, saya akan melihat ‘human interest’ dari kisah yang diberikan kepada saya. Jika nilai tersebut lebih dominan dari aspek aksinya, maka saya percaya film itu bagus. Selalu menggairahkan bagi saya untuk menggarap cerita di mana kamera bisa seakan adalah sosok yang berhubungan langsung dengan insiden yang tengah terjadi”.

Lewat segenap prestasinya, banyak pihak menyesalkan ketika Curtiz tidak mendapat apresiasi dan reputasi yang setara dengan Alfred Hitchcock atau Orson Welles. Seperti The Beach Boys di antara The Beatles dan The Rolling Stones.  Bicara teknis, Curtiz tak kalah dari keduanya. Catherine Portuges, seorang sejarawan film menyebut Curtiz mampu “menemukan makna kejutan dari sebuah naskah melalui arahannya terhadap aktor-aktor dan sinematografernya”. Memangnya ada yang lebih penting daripada itu?

Angels With Dirty Faces adalah salah satu karya Curtiz yang sanggup merumuskan makna besar tertentu dalam susunan adegannya. Kita bisa melihat upaya Curtiz untuk menyusun kesan tersebut dari berbagai aspek. Dari sisi teknis misalnya, Curtiz mampu menampilkan—sekaligus menjinakkan–the Dead End Kids, sekelompok aktor akil baligh dari New York yang tampil di drama Broadway Dead End pada 1935. Dua tahun setelahnya, produser Samuel Goldwyn memboyong mereka semua, total 14 orang, ke Hollywood. Mereka cukup populer dan laku di perfilman. Namun, kelakuan bocah-bocah ini memang liar. Warner Brothers bisa membajak mereka juga karena Goldwyn sudah angkat tangan. Dalam salah satu produksi di film Dead End (1937), mereka berlarian di studio dan merusak banyak properti, termasuk sebuah truk yang ditubrukan ke panggung sound. Di film Angels With Dirty Faces, lagi-lagi The Dead End Kids tampil sebagai geng berandalan remaja yang memang tidak jauh dari laku ndableg mereka di dunia nyata. Dan mereka tak akan pernah menyesal tampil di film yang satu ini.

Film mafia atau gangster yang kita kenal kebanyakan punya hulu dan hilir dari kisah perjalanan satu tokoh utamanya. Angels With Dirty Faces pun punya Rocky Sullivan (James Cagney).

Sebelum Al Pacino menjadi potret karakter mafia dan gangster paling tersohor di Hollywood, ikon kekerasan jalanan di sinema adalah James Cagney. Performa Paul Muni di Scarface (1932) boleh mengagumkan, namun gangster adalah karakter yang sulit beralih dari Cagney.

Sebelum ini, Cagney sudah naik daun di The Public Enemy (1931). The New York Herald Tribune menyebut penampilannya di film itu sebagai “taksiran yang paling kejam dan tidak sentimentil dari sisi buruk pembunuh kecil yang pernah ditemukan sinema.” Apalagi adanya sebuah adegan legendaris Cagney melempar grapefruit (jeruk bali berwarna merah) ke muka Mae Clarke yang sedang berperan sebagai kekasihnya. Dalam ukuran akidah kesantunan adegan-adegan film zaman itu, menimpuk makanan ke muka orang lain—perempuan, dan bukan sedang dalam konteks cerita perang—adalah adegan yang punya efek syok bagi penonton maupun para kru. Bahkan, adegan ini diperbincangkan sampai ke level siapa yang pertama kali mencetuskan ide membuat adegan seperti itu, bagaimana perasaan Clarke ketika pengambilan gambar, dan sebagainya. Clarke sendiri mengaku gondok ketika tahu adegan itu benar-benar ditampilkan di film. Ia mengira adegan itu hanya demi lucu-lucuan dengan para kru di set syuting.

Berkat adegan ini dan peran-peran tipikal yang disikat gemilang olehnya, Cagney semakin mendapat “merek” sebagai sosok berandal. Itu jadi modal yang amat kuat ketika beraksi menjadi Rocky Sullivan di Angel With Dirty Faces. Cagney selalu mengingat memorinya tumbuh di Torkville, Manhattan, New York, yang tak jauh dari kisah-kisah bawah tanah. Inspirasi utamanya adalah seorang germo pecandu yang berdiri di ujung jalan tiap hari, sambil mengucapkan “Whadda ya hear! Whadda ya say!” . Sapaan sok asyik itu lalu digunakannya berulang kali di film ini.

Rocky Sullivan adalah seorang berandalan kondang di wilayah kekuasaannya. “Yang pegang”-lah sebutannya. Ia berdua bersama Jerry Connoly (William Tracy) gemar bikin huru-hara sejak remaja. Suatu ketika Sullivan masuk penjara karena tertangkap saat melakukan perampokan bersenjata. Pengacaranya, Jim Frazey (Humphrey Bogart) bersiasat memintanya mengaku salah saja dan menjalani hukuman bui selama tiga tahun. Rencananya, Frazey akan mengembalikan 100 ribu dolar AS dari perampokan itu kepada Sullivan setelah bebas. Anggap saja mendekam di penjara adalah “bekerja” dan menabung.

Tiga tahun setelahnya, Sullivan menghirup udara bebas. Ia bermaksud kembali ke jalanan, menagih 100 ribunya ke Frazier. Namun, Frazier yang sejatinya seorang kriminal juga, terlanjur menikmati kekayaan dan kekuasaan yang dititipkan Sullivan. Ia diam-diam ingin menyingkirkan  sang tokoh utama. Film ini lantas mengisahkan upaya Sullivan untuk kembali mendapatkan kejayaannya disertai relasinya dengan komplotan remaja nakal yang diperankan oleh bocah-bocah The Dead End Kids. Mereka adalah regenerasi dari masa kebengalan remaja Sullivan dan Jerry. Dipimpin oleh Soapy (Billy Halop), bocah-bocah ini mengidolai Sullivan, menganggapnya sebagai bos dan panutan.

Lumayan kompleks untuk standar film kriminal pra-The Godfather, film ini tak hanya peduli pada pada konflik utamanya saja. Ada konflik lain yang harus dihadapi oleh Sullivan, terkait hubungannya dengan Jerry dan Soapy yang akhirnya dipertemukan di plot yang tepat. Jerry sudah menjadi pastor Katolik ketika menyambut kembalinya Sullivan dari jeruji besi.  Untungnya, ia tak lantas mendadak digambarkan menjadi penceramah, meminta Rocky hijrah memakai kerudung untuk tobat, seakan-akan menihilkan pengalaman hidupnya sebelumnya. Sikap Jerry cukup masuk akal. Lagipula banyak juga kan pemuka agama yang dulunya bajingan?

Meskipun sudah menjadi pemuka agama, tapi ia mafhum dengan sosok Sullivan. Jerry tetap bergaul dengan santai dengannya. Bahkan, berawal dari sebuah pertandingan basket bersama gengnya Soapy, Jerry justru optimis bahwa Sullivan dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan bocah-bocah itu. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika mengetahui anak-anak ini menyalahgunakan uang pemberian Sullivan untuk berbuat hedonis, ia sadar bahwa Sullivan akan lebih banyak memberi pengaruh buruk dibanding pengaruh baik kepada mereka.

Yang paling berkesan dari Angels With Dirty Faces memang bagian penamatnya. Ending-nya amat menganggu pikiran, dan penting. Setelah membunuh Frazier, Rocky kembali dibekuk aparat dan menyongsong hukum mati kursi listrik. Ia sudah pasti akan menemui ajalnya, namun apakah ia akan menghadapi kematiannya di depan khalayak dengan berani dan menantang sebagai jagoan, atau memohon seribu ampun seperti pengecut? Ini akan tercatat oleh pers dan sejarah, apalagi bagi Soapy dan kawan-kawan yang menganggap Sullivan bak influencer. Reputasinya sebagai gangster kenamaan yang sudah seperti mitos itu dipertaruhkan.

Sebelum dieksekusi, Jerry lalu datang kepadanya dan meminta tolong agar Sullivan sengaja tampak takut dan gentar menghadap kursi listrik. Ia ingin pers yang meliput bisa mewartakan sesuatu yang membuat Soapy dan gengnya sadar bahwa jalan hidup seorang Sullivan akan berujung pada kekalahan. Jerry tahu ia tak bisa menandingi Sullivan untuk memengaruhi para remaja itu dengan pendekatan agama atau ceramah-ceramahnya, harus Sullivan sendiri yang mematikan pengaruhnya.

Sullivan tentu menolak, harga dirinya bisa runtuh dalam sekejap. Apalagi yang bisa dipertahankan di sisa hayatnya ini selain kebanggaan reputasinya? Toh ia tahu memohon ampun pada polisipun tidak akan menyelamatkannya. Sejujurnya, ini permintaan yang sangat sulit. Namun, ketika dihadapkan kursi listrik itu, Sullivan tiba-tiba menjadi berlagak ciut dan benar-benar ketakutan. Adegan ini kemudian menjadi perdebatan ambigu yang dibiarkan, apakah Sullivan memang menunjukan ketakutan yang sebenarnya, atau ia sengaja mewujudkan keinginan Jerry.

Sebagai penonton, ternyata kita berada di posisi Soapy dan kawan-kawannya. Di awal kita dikenalkan pada Sullivan, kita melihatnya sebagai seorang anti-hero yang keren. Tentu dari lubuk hati kita berharap ia akan tetap membangkang sampai ajalnya. Potret itu yang selalu kita dambakan ketika menonton sebuah film gangster.

Adegan Sullivan berteriak “I don’t want to die” saat eksekusi matinya hanya ditampilkan dalam bentuk bayangannya. Seperti Soapy yang masih tidak percaya dengan bunyi surat kabar berupa ”Rocky Dies Yellow”, maka kita yang melihat langsung adegan itu pun juga tidak diberi kepastian, apakah Rocky memang menjadi pengecut atau ini adalah bentuk heroismenya yang lain. Yakinlah, kebanyakan dari kita memilih percaya ia hanya berpura-pura agar pengidolaan kita terhadapnya tidak terkhianati.

Menurut sejumlah studi, film-film gangster dan mafia memang punya pengaruh signifikan bagi para khalayak berusia muda, terutama yang tinggal di area urban yang lekat dengan kemiskinan. Permasalahan finansial di perkotaan adalah faktor determinan dari suburnya gangster-gangster. Bagi lingkungan semacam itu, kesuksesan gangster seringkali menjadi representasi kesuksesan mereka.

Frederic M. Thrasher dalam bukunya yang bertajuk The Gang: A study of 1,313 Gangs in Chicago meneliti geng-geng sekitaran area urban Chicago dan menemukan signifikansi film-film gangster terhadap kebiasaan anak muda di sekitar wilayah itu untuk melakukan tindakan kriminal. Agaknya ini sebuah kesimpulan yang mendukung ide-ide konservatisme. Kenakalan-kenalakan minor yang dilakukan para remaja itu sejalan dengan ekspresi kesenangan dari film-film gangster.  Inilah kenapa perlu disadari untuk tidak mengglorifikasikan kehidupan gangster di dalam film. Akan tetapi, tentu saja kebanyakan film dengan sengaja melakukan glorifikasi tokoh atau tema di dalamnya untuk lebih menarik perhatian khalayak. Kendari akhirnya sang tokoh utama harus dimatikan atau masuk penjara untuk memberikan kepuasan moral, tapi kebanyakan gangster dipotret tetap tangguh dan bermartabat di bagian ending-nya.

Maka Curtiz dalam Angels With Dirty Faces melakukan sesuatu yang menarik untuk menghadapi dilema ini. Ia tetap merayakan sisi gangster dari sosok Sullivan sehingga tetap menjadi tokoh yang menarik dan membuat filmnya bisa diterima oleh anak muda. Namun, ia mengelaborasikan konsekuensi dan kemungkinan-kemungkinan yang harus dihadapi karakter itu pula. Dan ending yang diambil tadi adalah sebuah modus untuk menyerahkan konklusi moral pada penontonnya sendiri. Di era itu, film-film gangster dan mafia masih harus terkungkung oleh kewajiban konstruksi etika yang diinginkan penguasa. Membiarkan akhir cerita terbuka seperti ini adalah siasat cerdik untuk mengkritisi otoritas moral.

 

Best Lines:

Jerry Connoly: “What earthly good is it for me to teach that honesty is the best policy when all around they see that dishonesty is a better policy?”

After Watch, I Listen:

The Clash – Train In Vain