Tags

, , , , ,

Casablanca (film) - Wikipedia

Michael Curtiz

1942

Romance

Tiap mendengar istilah golden age hollywood, atau classical hollywood cinema, ingatan saya memilih menayangkan Casablanca. Oke, Charlie Chaplin lebih ikonik ketika bicara soal film hitam putih atau film bisu. Tapi bagi saya ia sudah melampaui konteks-konteks industri, melampaui Hollywood. Nah ketika dialog kita menjurus pada ekosistem film Hollywood yang lebih tertata dan serius, Casablanca yang pertama mencuat di pikiran.

Tentu film ini abadi. Bob Strauss menulis di surat kabar bahwa film itu mencapai “keseimbangan hiburan yang nyaris sempurna” dari komedi, romansa, dan unsur thriller. Kata Roger Ebert, Citizen Kane lebih bagus, tapi Casablanca lebih dicintai. Saya sih lebih memilih dicintai dibanding dibilang “bagus”. Ah, yang bilang nge-fans belum tentu mau dipacari.

Casablanca adalah film terpopuler yang pernah memadukan asmara dengan politik secara harmonis. Kiprahnya bahkan diuntungkan oleh situasi politik. Beberapa minggu sebelum rilis, Kota Casablanca sempat diguncang oleh invasi Amerika Serikat dan British Raya dalam apa yang diebut sebagai operasi torch. Casablanca pun berhasil dimenangkan. Ini pertama kalinya Amerika Serikat benar-benar melibatkan prajurit dalam jumalh besar ke wilayah Eropa.

Kita perlu berkenalan dengan kota ini. Casablanca adalah kota terbesar di Maroko. terbesar kedelapan di dunia Arab. Kota ini menjadi pelabuhan utama Maroko dan salah satu pusat keuangan terpenting di Afrika. Pada abad ke-19, populasi daerah itu mulai tumbuh karena menjadi pemasok utama wol untuk industri tekstil yang sedang booming di Inggris.

Perjanjian Algeciras pada tahun 1906 mengukuhkan keunggulan Prancis di Maroko dan tentu berdampak pada Casablanca. Pengeboman dan invasi militer ke kota secara efektif mengawali penaklukan militer Prancis atas Maroko, meskipun kendali Prancis atas Casablanca tidak diformalkan sampai tahun 1912.

Eropa goyah kembali pada 1940-an. Perancis mendeklarasikan perang terhadap Jerman pada 3 September 1939 sebagai respons atas invasi Jerman ke Polandia pada 1 September di tahun yang sama. Delapan bulan berselang Jerman melancarkan serangan militer ke barat. Manuver Nazi pada Perang Dunia II mengacaukan politik internal di negara-negara sekitarnya. Perancis, misalnya, terbagi menjadi dua kawasan: sebelah utara diduduki pasukan Adolf Hitler, area selatan diberi status merdeka (zona bebas atau zone libre). Di zone libre itulah rezim Perancis Vichy memulai kekuasaan pada 40-an.

Jerman teramat tangguh. Hanya selang beberapa hari setelah invasi, Perancis menyadari pertahanan mereka bakal kolaps. Sejumlah elite Republik Ketiga menyarankan agar negara melanjutkan pertarungan. Tapi aspirasi mereka kalah oleh suara mayoritas yang menghendaki sebaliknya. Perdana Menteri Paul Reynaud termasuk suara minoritas itu. Pada pertengahan 1940 ia mengundurkan diri. Presiden Albert Lebrun menunjuk Marsekal Philippe Petain untuk menggantikan posisinya.Petain langsung menjajaki kesepakatan dengan Hitler, yang isinya berupa pembagian dua kekuasaan sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya.

Perancis Vichy (selanjutnya disebut Vichy) dipimpin oleh Petain. Secara de jure, ibukotanya di Vichy, sebuah kota yang berada 360 kilometer arah selatan Paris. Vichy berkuasa atas administrasi sipil dan imperium kolonial Perancis selama Jerman melakukan pendudukan militer di Perancis bagian utara.

Tugas Hitler hanya memastikan bahwa rezim Vichy tunduk kepadanya. Atau setidaknya dilemahkan secara militer agar Vichy tidak memiliki kemampuan menyerang Jerman. Karenanya para sejarawan mencatat bagaimana Vichy pada dasarnya adalah rezim kolaborator Nazi atau negara boneka.

Casablanca mengingatkan kita pada para pengungsi di Perang Dunia II, terutama di wilayah Perancis Vichy. “Dengan datangnya Perang Dunia Kedua,” kata si narator dengan nada yang berat di montase pembuka., “banyak orang Eropa yang terpenjara kemudian dengan penuh harapan, atau putus asa, menuju kebebasan di Amerika. Lisbon menjadi titik embarkasi yang baik.. Namun tidak semua orang bisa sampai ke Lisbon secara langsung, jadi jejak pengungsi yang melintas sangat berliku. Paris ke Marseilles, melintasi Laut Mediterania menuju Oran, lalu menggunakan kereta api, atau mobil, atau jalan kaki, melintasi pinggiran Afrika menuju Casablanca di Maroko.”

Dalam dunia Casablanca, banyak dari para pengungsi yang sampai di Maroko ini melewatkan waktu di klub malam Rick Blaine (Humphrey Bogart) yang elegan, Rick’s Café Americain.

Banyak pengungsi yang terdampar di Casablanca: sebuah kota penuh intimidasi, korupsi, dan kontrol Nazi-Vichy. Bagian dari dunia dengan kesewenang-wenangan keadilan. Di Casablanca, orang-orang yang tidak bersalah sering menjadi korban kejahatan yang tidak masuk akal. Di kota terpencil ini, perdagangan manusia adalah cara hidup, dan Rick’s Café Américain, dengan atmosfernya yang dingin adalah pasar jual beli perdagangan pengungsi.  Orang-orang datang ke sana untuk mencari visa sebagai izin keluar dari Casablanca menuju tempat lain yang lebih aman.

Memang, kafe itu lebih nyaman daripada kebanyakan kamp pengungsian, namun negosiasi yang bergumam di meja-mejanya akan tidak asing lagi bagi siapa saja yang pernah melihat film dokumenter tentang krisis saat itu: menjual perhiasan dengan harga jauh di bawah; membayar begitu mahal untuk bisa menumpang kapal nelayan. Para pengungsi tidak hanya bertransaksi dengan perhiasan dan uang. Renault (Claude Rains), kepala polisi Prancis yang ramah, menjadikan pemberian visa sebagai cara untuk kepentingan seksual.

Secara sinis, Rick mengklaim tidak peduli dengan perang yang mencabik-cabik Eropa. “Bisnis Anda adalah politik,” gerutunya. “Saya sedang menjalankan sebuah bar.” Ia pura-pura cuek. Namun, tak sedikit yang tahu bahwa diam-diam Rick adalah seorang yang melankolis dan mudah tergerak hatinya untuk menjadi pahlawan sesaat.

Casablanca mengingatkan orang Amerika tentang betapa sepenuhnya pemikiran mereka telah berubah dalam beberapa bulan sejak peristiwa Pearl Harbor. Amerika sebelum perang harus banyak meminta maaf dalam urusan internasionalnya. Pada tahun 1939, pemerintah Amerika Serikat gagal membantu para penumpang Yahudi di kapal laut Jerman St. Louis ketika mereka ditolak masuk ke Kuba dan dipaksa untuk kembali ke Eropa, dan dua tahun kemudian negara itu masih tidak ingin menghadapi fakta tentang perang mengamuk di Eropa dan Asia.

Rick Blaine dari Humphrey Bogart adalah perwujudan dari Amerika yang akhirnya memahami ancaman fasisme. Sebelum tiba di Casablanca, Rick bertempur di pihak Loyalis dalam Perang Saudara Spanyol dan menembakkan senjata untuk Ethiopia dalam perang melawan Mussolini. Di kafenya, ia mempekerjakan banyak pengungsi Eropa. Ia punya koki Belanda, kepala pengungsi Jerman, dan seorang bartender dari Uni Soviet. Ketika seorang wanita muda Bulgaria meminta bantuan untuk bisa lari ke Amerika, Rick datang dengan membiarkan mereka memenangkan uang yang mereka butuhkan di meja judi.

Konflik dalam Casablanca muncul ketika mantan kekasih Rick, Ilsa Lund (Ingrid Bergman) muncul di kafenya bersama pemimpin perlawanan Ceko, Victor Laszlo (Paul Henreid). Ternyata keduanya sudah jadi suami-istri. Rick menghadapi dilema. ia masih mencintai Ilsa. Tetapi jika ia membantu Laszlo melarikan diri dari Casablanca dan Nazi, artinya Ilsa juga akan turut pergi.

Pada ending-nya, Rick menolak menempatkan kebutuhannya sendiri di atas kebutuhan Laszlo. Untuk membantu Ilsa dan Laszlo melarikan diri, Rick harus menembak perwira Jerman berpangkat dan mencapai kesepakatan dengan kepala polisi Prancis yang korup.

Hari ini, Casablanca berbicara kepada audiens yang sangat berbeda dari audiens tahun 1942. Unsur propagandanya tidak lagi beresonansi seperti dulu. Tapi apa yang beresonansi di dunia pasca-9/11 adalah kompleksitas Rick. Rick adalah penyendiri yang tidak akan membiarkan idealismenya menjadi lebih kuat dari pragmatismenya. Ia tidak mau menyerah pada Jerman yang merupakan kekuatan nyata di Casablanca, tetapi ia menolak untuk melakukan apa pun yang membuat dia ditangkap secara sia-sia. Rick berjalan di atas tali moralitas dengan keseimbangan yang mengagumkan.

Film ini adalah propaganda untuk Amerika. Unsur-unsur yang menjadikan film ini klasik cukup jelas: pemeran A-list, eksotisme, glamor; pengorbanan melodramatic, dialog yang tajam, dan sebagainya. Casablanca adalah salah satu film zaman keemasan Hollywood yang benar-benar emas, artinya berhasil melampaui masanya untuk menghibur generasi penonton bioskop selama tiga perempat abad.

Jika kita mengesampingkan aspek nostalgia dan tema sentimentalnya sekalipun, kita bisa melihat bahwa Casablanca benar-benar menyajikan komentar politik dan sosial yang kompleks. Casablanca bukan hanya mengeksploitasi patriotisme masa perang, namun membentuk persepsi audiens tentang perang. Casablanca adalah kendaraan propaganda anti-fasis yang dirancang untuk mendukung partisipasi Amerika Serikat dalam perjuangan Pasukan Sekutu untuk keadilan dan demokrasi global pada saat ketika kebanyakan orang Amerika percaya bahwa kebijakan luar negeri mereka seharusnya mempromosikan isolasionisme dan netralitas.

Sebuah polling yang diambil selama tahun pertama Perang Dunia II menunjukkan bahwa hampir 96 persen dari semua orang Amerika menginginkan negara itu untuk tetap netral. Lantas, pada saat Casablanca tayang perdana pada bulan November 1942, pemboman Pearl Harbor telah terjadi, dan Amerika Serikat telah berperang selama hampir setahun. Tapi masih banyak orang Amerika terus mendukung kebijakan luar negeri isolasionis, dan tidak nyaman dengan partisipasi negaranya dalam perang yang berjarak ribuan mil jauhnya.

Pada Juni 1942, Kantor Informasi Perang AS (OWI) dibentuk untuk mempromosikan upaya perang dan diberi tugas mengembangkan kampanye untuk meningkatkan pemahaman publik tentang konflik di dalam dan luar negeri. Elemen kunci dari hal ini adalah koordinasi kegiatan informasi pemerintah, serta penghubung dengan pers, radio, dan film. Akibatnya, OWI dituduh menjual perang.

Setelah bereksperimen dengan propaganda dalam bentuk poster dan film dokumenter, OWI beralih ke sumber yang lebih imajinatif. Direkturnya, Elmer Davis – sebelumnya seorang reporter di The New York Times dan CBS – melakukan pengamatan utama: cara termudah untuk menyuntikkan ide propaganda ke dalam pikiran kebanyakan orang adalah membiarkannya masuk melalui medium gambar hiburan ketika mereka melakukannya. tidak menyadari bahwa mereka sedang menonton propaganda.

Departemen Perang membentuk divisi “Film Perang”, dan mempekerjakan pembuat film terbaik mereka, seperti John Ford, Frank Capra, dan penulis skenario Casablanca, Julius dan Philip Epstein, untuk melakukan perjalanan ke Washington, DC dan membuat serangkaian film propaganda perang Amerika, yang dikelompokkan di bawah judul Why We Fight. Hollywood akan memainkan peran penting dalam hal ini. Untuk alasan box office dan politik, Hollywood sangat ingin memanfaatkan media hiburan untuk mendukung upaya perang. Maka begitu banyak film populer yang dibuat pada saat itu, termasuk Ms Miniver (1942) dan sebagainya, menggabungkan perhatian artistik dan hiburan tradisional untuk membentuk dimensi politik.

Antara 1942 dan 1945, Hollywood merilis 1.700 film panjang, 500 di antaranya berhubungan langsung dengan materi yang berhubungan dengan perang. Pemerintah Amerika Serikat mengambil peran aktif dalam pemutaran film—dan tentu saja penyensoran—dari  film-film ini. Mereka bahkan menyarankan tema-tema film yang akan menguntungkan moral Amerika, misalnya yang memuliakan “cara hidup orang Amerika,” lalu “menggambarkan musuh dan filosofi mereka,” atau “mengilustrasikan apa yang dapat dilakukan individu di garis depan untuk mendukung upaya perang.” Intinya, film-film yang diproduksi di bawah pedoman ini  tidak hanya memberikan hiburan populer kepada massa tetapi juga memperkuat dukungan bangsa untuk upaya perang Sekutu. Pertanyaan yang perlu dijawab sebelum membuat film adalah: “Apakah film ini akan membantu memenangkan perang?”

Ibarat itu perlombaan dan ada nilainya, jawaranya adalah Michael Curtiz dan Casablanca.

Pertemuan pertama dengan pemilik Rick adalah pertandingan catur. Permainan strategis yang merupakan simbol dari kompetisi dan manuver yang mendominasi Perang Dunia II, seperti sesi terapi psikoanalisis yang mengungkapkan aspek kompleks kepribadian Rick. Sikapnya terhadap lawannya menjelaskan bahwa Rick jauh lebih rumit daripada gambaran non-partisan yang dia coba pertahankan. Bahkan, posisinya pada dasarnya adalah personifikasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat sebelum Pearl Harbor. Seperti pemerintah A.S., Rick tampak netral:

Rick: “Aku menjulurkan leherku untuk siapa pun.”

Kapten Renault: “Kebijakan luar negeri yang bijaksana.”

Namun, seperti yang segera kita temukan, Rick, juga diam-diam berkomitmen untuk memulihkan idealisme dan keadilan demokratis.

Kisah Casablanca adalah kisah transisi Rick dari isolasionis menjadi terkoneksi dengan perang. Ini dibuat secara eksplisit oleh pemilik kafe Blue Parrot, Signor Ferrari (Sydney Greenstreet), yang mengatakan kepadanya: “Sayangku Rick, kapan kamu akan menyadari bahwa di dunia saat ini, isolasionisme bukan lagi kebijakan praktis?” Di akhir, Rick jelas memihak, menunjukkan kepada penonton bahwa ia percaya Jerman adalah penjahatnya.

Meskipun Rick berusaha untuk menyembunyikan pandangan politiknya, simpatinya terhadap yang tertindas akhirnya muncul. Rick sempat bertanya: “Jika itu Desember 1941 di Casablanca, jam berapa sekarang di New York?” Meskipun Sam menjawab bahwa arlojinya telah mati, Rick melanjutkan, menjawab pertanyaannya sendiri: “Aku bertaruh mereka tertidur di New York. Aku yakin mereka tidur di seluruh Amerika. ” Sepertinya “tertidur” itu dalam arti politis. Menjelang malam tanggal 7 Desember, jelas bahwa orang Amerika tidak dapat lagi menutup mata terhadap perang dunia. Pearl Harbor telah dibom pagi hari tanggal 7 Desember, dan sejumlah korban Amerika membangkitkan kemarahan dan kekerasan yang berkecamuk. Rick menyiratkan bahwa jika orang Amerika tidak mulai menganggap serius upaya perang, mereka bisa menjadi penghuni Casablanca di rumah mereka sendiri. Gambaran mengerikan ini mungkin cukup untuk menakuti banyak orang Amerika agar meningkatkan dukungan mereka terhadap upaya perang.

Adegan kilas balik Paris di Casablanca memperkuat citra dominasi dan penghancuran Nazi yang menakutkan. Sebelum invasi Nazi ke Prancis, Paris damai, indah, dan tanpa beban. Namun, setelah invasi, ibukota menjadi pusat kekacauan. Nazi juga menghancurkan romansa Ilsa dan Rick, tawa dan kegembiraan tiba-tiba digantikan oleh ketegangan. Adegan kilas balik itu dengan jelas menggambarkan bahwa perang itu brutal; itu menghancurkan sebuah bangsa, romansa, dan kehidupan jutaan orang tak berdosa. Itu harus berakhir, dan menurut Casablanca, Amerika Serikat adalah kandidat yang sempurna untuk tugas sulit ini.

Saya sudah pernah memuji Curtiz terkait kepekaannya memasukkan human story dalam film-filmnya (ada di ulasan tentang Angels With Dirty Faces), namun untuk Casablanca, perlu ada apresiasi terhadap sinematografinya.

Secara gaya, Casablanca menggunakan banyak elemen khas genre film noir, Pendekatan sinematik ini ironisnya berasal dari Jerman sendiri pada 1930-an. Amerika Serikat baru keranjingan memainkannya di akhir 1930-an sampai awal 1940-an. Lewat olah cahaya dan bayangan yang tampak gugup, Casablanca mempertontonkan lanskap perkotaan yang kumuh untuk menggambarkan dunia yang salah. Sebuah tempat yang kacau dan berbahaya yang dihuni oleh orang-orang tanpa harapan.

Sejak pindah ke Amerika, Curtiz mengembangkan gaya sinematografernya sendiri. Ia dikenal piawai memanfaatkan sudut kamera yang tidak biasa dan komposisi kompleks sehingga karakter terbingkai oleh benda-benda fisik. Kamera adalah mata karakter, sehingga banyak bergerak dan berpindah. Aljean Harmetz, jurnalis dan sejarahwan film menyatakan,” Visi Curtiz tentang film apa pun … hampir benar-benar visual “.

Dalam mempersiapkan adegan, Curtiz suka membandingkan dirinya dengan seorang seniman, melukis dengan karakter, cahaya, gerak, dan latar belakang di atas kanvas. Namun, selama karirnya, individualisme ini tersembunyi dari pandangan publik dan dinilai rendah karena film-film Curtiz meliput spektrum yang begitu luas dari genre yang berbeda. Karena itu ia terlihat seperti sutradara serba bisa saja, bukan sebagai auteur dengan gaya yang unik dan mudah dikenali.

Tentu Curtiz berutang juga pada sinematografernya, Arthur Edeson. Ia adalah sinematografer kawakan yang pernah bekerja untuk The Maltese Falcon dan Frankenstein. Bentuk kecerdikan Edeson adalah kecenderungannya mengambil gambar Bergman dari sisi kirinya dengan sedimikian rupa untuk membuat matanya berkilau. Seluruh efek dirancang untuk membuat wajahnya tampak sangat sedih dan menyiratkan nostalgia.

Tapi tak boleh terlewat, Casablanca adalah “emas” lantaran mempertemukan dua wajah paling ikonik di 40-an, yakni Ingrid Bergman dan Humprey Bogart. Semuanya serba takdir rasanya. Dua wajah itu bertemu dipayungi permainan cahaya terbaik yang pernah saya lihat di film hitam putih. Terasa mewah, mahal, romantis, eksotis, sekaligus menegangkan. Mungkin tidak ada momen visual terbaik di dekade 40-an selain adegan saat Rick dan Ilsa berhadapan di hangar bandara, sembari diselimuti kabut.

Bergman sendiri sebenarnya tidak menganggap Casablanca sebagai salah satu film favoritnya. “Saya membuat begitu banyak film yang lebih penting, tetapi satu-satunya yang ingin dibicarakan orang adalah film dengan Bogart.”

Sementara Bogart bermain dalam peran tipikalnya. Sosok pria yang cuek, dingin, dengan rokok terselip di bibir. Raut mukanya tangguh, berkarisma. Bicaranya berat, laku ekspresinya seakan selalu berupaya menyembunyikan sentimentalitasnya. Kendati beberapa kali Rick mengungkapkan perasaannya, namun kita tak pernah tahu pasti apa yang ada di pikirannya.

Belum lagi lagu “As Time Goes By” yang membuat Casablanca mempelopori syarat baru film romantis legendaris, yakni punya lagu bagus. Ditulis oleh Herman Hupfeld pada 1931, lagu ini berhasil menangkap nuansa film Casablanca dengan apik. Keberadaannya juga kuat di dalam cerita, tak berdiri sendiri seperti “My Heart Will Go On”-nya Titanic. Sampai-sampai kutipan “Mainkan lagi, Sam” itu bisa jadi populer, padahal sebenarnya tidak pernah diucapkan dalam film. Baru kali ini saya tahu, gosip bisa berbentuk quotes~

Cerita lain yang menarik adalah bahwa para aktor tidak tahu sampai hari terakhir pengambilan gambar, perihal bagaimana film ini akan berakhir. Ingrid Bergman bahkan bertanya, “Pria mana yang lebih saya sukai …? (Rick atau Laszlo?)” Curtiz menjawabnya, “Aku tidak tahu … mainkan keduanya secara merata.”

Perpisahan adalah konsep ending film romantis yang sudah terbukti. Itu kenapa bandara seringkali jadi tempat terbaik mengakhiri cerita. Namun, pada Casablanca, perpisahan di bandara antara Rick dan Ilsa lebih jauh dari itu. Tentang dunia, tentang humanisme, dan tentang masa lalu.

Anyway, saya mendalami emosi ketika menulis artikel ini sambil mendengarkan lagu-lagu Celine Dion dan Whitney Houston. Menurut saya sangat pas. Namun, setelah tahu bahwa Umberto Eco menulis bahwa tema besar Casablancas adalah pengorbanan “mitos pengorbanan berjalan melalui seluruh film”, berkorban untuk pergi berperang sebagai sebuah gerakan romantic, riba-tiba ingatan saya langsung meloncat ke satu lagu.

“Sunset di Tanah Anarki”

Versinya Via Vallen.

“desing peluru tak bertuan….” ~

Best Lines:

Major Strasser: What is your nationality?

Rick: I’m a drunkard.

Captain Renault: That makes Rick a citizen of the world.

After Watch, I Listen:

Whitney Houston – I Will Always Love You