Tags

, , , , , , ,

img006

Pacaran edukatif, begitulah tema aktivitas saya dan si pacar siang itu. Bukan kok. Bukan bermaksud menggurui pasangan yang pacarannya non-edukatif (tapi seks-aktif). Hawa saja yang kebetulan terlalu gerah untuk membedah-bedah yang biasanya, jadi kami terpaksa memutuskan melakukan bedah buku.

Pacar saya aslinya juga malas sekali disuruh baca buku. Tiap dua halaman mesti diselangi dua sesi berantem dan dua sesi baikan. Entah bakal jadi apa anaknya kelak. Diskusi ini pun baru terlaksana setelah saya menunggu dua abad ia menyelesaikan buku ini.

Guru: Mendidik Itu Melawan secara umum membahas masalah pendidikan sekolah di Indonesia. Saya memang merayunya gila-gilaan untuk membaca buku ini karena menurut saya buku ini sangat relevan ia baca. Kedua orang tua pacar saya adalah guru (nyokapnya guru TK, lalu bokapnya guru SMK), sementara ia sendiri sejak SMU bekerja sampingan sebagai guru privat anak-anak SD. Saya mengharapkan ada perspektif menarik darinya yang memang sangat dekat dengan dunia kepengajaran.

Guru: Mendidik Itu Melawan! ditulis dengan gaya tutur khas Eko Prasetyo yang provokatif dan lantang. Seperti biasa, membaca tulisannya seperti mendengar orang ceramah. Tata alur dan struktur narasinya cukup kacau sebagai sebuah teks bacaan, tapi harus diakui kali ini jauh lebih bagus dari Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin!. Saya mendapat banyak sekali persepsi-persepsi menarik. Asal hati-hati saja agar tidak lengah terseret ke jejaring kekiriannya.

Lantas, dengan dipantik oleh buku ini, apa yang kemudian jadi kendala di pendidikan sekolah bumi pertiwi? Pacar saya banyak mengeluhkan masalah kebijakan sertifikasi guru. Selain berbelit-belit, orientasi syarat dan tes yang diberikan juga dipertanyakannya. Ini nampak penting, tapi saya sendiri kurang tertarik dengan hal ihwal yang terkait formalitas administratif semacam itu.

Saya cenderung lebih suka menilik hakikat. Mencoba merujuk pada pertanyaan dasar “apa tujuan kita sekolah?” Bagi saya, sekolah adalah ruang tempa untuk menjadi sosok yang tahu dan merdeka. Sekolah adalah stadium penanaman bekal intelektualitas untuk dapat hidup bebas menentukan pilihan uripnya sendiri tanpa merugikan orang lain. Sementara sepengalaman saya, apa yang dilakukan sekolah hanyalah mendidik kita menjadi tenaga kerja.

Standar kecerdasan lingkungan sekolah mengikuti kebutuhan-kebutuhan umum industri. Siswa dicetak menjadi buruh (bahasa halusnya adalah “sumber daya manusia yang keterampilan dan kemampuan intelektualnya sesuai dengan sistem produksi”). Sistem pendidikan dirancang sedemikian rupa untuk menggodok individu agar memiliki keterampilan dan kemampuan yang sepadan dengan sistem pasar. Bahkan lamanya jam sekolah disesuaikan dengan kebiasaan lamanya rutinitas jam kerja masyarakat (8 jam).

Peran kapitalis tidak hanya menyusup secara implisit pada kultur pendidikan, melainkan langsung juga pada pengelolaan. Dan negara kita menerimanya dengan tangan terbuka. Simak bagaimana UU Sistem Pendidikan Nasional (UU no 20 tahun 2003) menyatakan bahwa perkara dana pendidikan tak hanya diserahkan pada pemerintah, melainkan juga terbuka untuk masyarakat atau privat. Ini adalah undangan bagi peran sektor luar pemerintahan untuk ikut campur membangun bisnis pendidikan. Persepsi bahwa sebuah sektor akan lebih berkembang jika diberi wewenang ke swasta agar kompetitif adalah tak bijak untuk layanan pendidikan. Alasannya bisa panjang lebar, tapi intinya pendidikan adalah sektor yang seharusnya diemban tegas oleh pemerintah, termasuk menetapkan besaran pembiayaan tiap sekolah. Pendidikan adalah urusan publik dan ketentuan tarif pendidikan perlu menyesuaikan dengan potensi kemampuan masyarakat. Pendidikan harus sepenuhnya mengemban fungsi sosial. Sekali lepas ke tangan bisnis, semua bisa berantakan. Dan itu sudah terjadi. Kini banyak sekolah mahal. Dan pada akhirnya mahal-murah tak lagi pilihan, melainkan—dengan memanfaatkan psikologis orang tua yang lebih percaya pada sekolah yang mahal dan mewah—menciptakan kesenjangan pendidikan antara sekolah elit dengan yang seadanya.

Maraknya lembaga bimbingan belajar juga merupakan bukti kegagalan sekolah. Apa guna setengah hari bernaung di sekolah jika kemudian masih harus menyisihkan jam-jam berikutnya dengan air muka kelelahan di kelas bimbingan? Saya tidak habis pikir dengan guru yang bahkan dengan kesadaran penuh menyarankan anak didiknya untuk mengikuti lembaga bimbingan di luar sekolah. Tak ada bedanya dengan guru yang menyediakan bocoran soal UAN demi muridnya lulus semua. Di mana tanggung jawabnya?

Padahal, apa benar bimbingan-bimbingan alternatif itu perlu? Memang itulah hebatnya. Lembaga bimbingan sukses besar meracuni keyakinan peserta didik kalau mereka tidak mampu lulus dan mendapat kelanjutan pendidikan yang baik tanpa ikut les ini dan itu. Ini mengeksploitasi kelemahan guru dan sistem pembelajaran sekolah dalam memberikan kepercayaan diri pada murid. Dulu, banyak teman-teman saya mengatakan,”Aku lebih dong yang diajarkan di SSC, GO (Ganesha Operations) atau Primagama daripada di sekolah.” Sebuah komentar yang sebenarnya cukup sah untuk membubarkan sebuah sekolah.

By the way, saya sendiri tetap bisa lulus sekolah dan mampu meneruskan jenjang pendidikan ke universitas yang lumayan kendati cuma memenuhi absen di bawah lima persen di les-lesan SSC pada waktu dulu. Oke, ini pembenaran yang seenaknya, tapi bisa kecil-kecilan direnungkan.

Belum lagi yang diajarkan kebanyakan hanyalah cara mengerjakan soal, bukan tentang apa kebenaran dan nilai permasalahan dalam soal tersebut. Otak kita selalu diasuh dengan teknik dan modus penyelesaian soal pilihan ganda. Kita dilatih berpikir pintas dan pendek. Kebanyakan hanya demi memenuhi harapan kesuksesan yang dipendam orang tua, seperti masuk ke universitas atau sekolah bergengsi.

Saya mau membanggakan diri sebentar. Dulu, hanya ada saya dan lima teman lain—dari 35-an lebih teman sekelas SMU—yang memutuskan untuk tidak ikut membeli jawaban tes UAN. Ya, waktu itu sebenarnya pertimbangan saya bukan demi kejujuran, surga atau apa. Cuma biar seru dan deg-degan saja (Laki-laki itu harus live in danger). Tapi ini membuktikan betapa lemah kepercayaan diri teman-teman saya akan kemampuan mereka sendiri.

Teringatlah kemudian sebuah kutipan di Sinestesia, album anyar Efek Rumah Kaca:

“Hari ini menanam bibit takut, masuk musim akan panen pengecut”.

Yah sebenarnya lama sudah kita panen pengecut. Dan sekolah adalah lahan tanamnya. Sedari berlangsungnya konsep pembangunan Soeharto, pendidikan berjalan dalam antusiasme melahirkan murid yang patriotik sekaligus loyal pada kekuasaan. Bersama kebijakan-kebijakan lain, sekolah mulai memproduksi generasi yang ditumpulkan kreativitas, keberanian, dan kemampuan kritisnya. Sedikit saja Anda baca literatur sejarah atau profil-profil tokoh pemuda, pasti pahamlah bedanya produk generasi jaman pra dan pasca Soeharto.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, tugas pendidikan adalah memerdekakan. Namun apa yang dilakukan para guru sekarang adalah membimbing para murid untuk takluk pada konformitas dan rasa patuh. Sampai sekarang saya masih tidak paham akan banyaknya aturan atribut seragam atau sepatu wajib berwarna hitam misalnya. Ada bedanya antara budi pekerti dan kedisiplinan. Budi pekerti bersandar pada kesadaran, sementara kedisiplinan berdasar pada pengawasan. Keduanya kerap disilangkan dalam proses kulturisasi sekolah.

Guru juga kesulitan membedakan antara mendidik dan menumpahi informasi. Apa yang mestinya terjadi di kelas adalah tumbuh kembang pertanyaan, adu analisis, atau pengembangan gagasan. Sementara yang kita temukan, kelas hanyalah ruang catat-mencatat. Belajar tak lebih dari proses menyalin teks, menghafal dan perlombaan untuk menyatu dalam suara yang resmi dalam keresmian.

Sistem pembelajaran juga mesti lebih bercermin dari realitas. Tiap daerah punya realitas dan potensi yang berbeda, sehingga kurikulumnya harus menyesuaikan. Seringkali apa yang diajarkan adalah ide atau konsepsi yang tak relevan dengan apa yang kita temui di kenyataan masyarakat. Bukan saja dalam bidang-bidang ilmiah, namun juga perihal norma dan laku sosial.

Misalnya:

Dalam pelajaran agama kita dicekoki bahwasanya Tuhan adalah esa yang menciptakan dunia seisinya dan kita wajib memprioritaskannya di atas segala urusan apapun. Wow, masuk surga terdengar mudah. Tiba-tiba acara berita televisi di rumah menyiarkan berita bahwa negara tengah memburu kelompok-kelompok yang berperang demi membela tuhan mereka.

Dalam pelajaran PKN kita tak henti-hentinya diingatkan bahwasanya memberi bantuan orang lain adalah hal yang terpuji. Wow, menjadi orang baik terdengar mudah. Tiba-tiba kita di perempatan jalan menemui plang besar yang mengatakan bahwa barang siapa memberi uang ke pengamen di jalan akan didenda jutaaan rupiah.

Dunia tidak sehitam putih itu adik-adik.

Di samping lemahnya pertalian antara pengetahuan dengan realitas yang bercokol di masyarakat, seingat saya pun sistem pembelajaran sekolah lebih beorientasi menempa kita untuk menghadapi perubahan daripada menciptakan perubahan.

Menurut Eko Prasetyo, pengajaran yang ideal setidaknya dimulai dari membongkar realitas maupun kepercayaan peserta didik dengan menghidupkan pertanyaan sebagai landasan utama pendidikan. Anak lantas bisa dipersuasi untuk bertanya di mana dirinya tinggal dan bagaimana kehidupan dan persoalan yang ia hadapi. Anak diajak terlibat dalam sejumlah masalah yang dihadapi lingkungannya bermodal pengetahuannya. Mulai penting juga membangun kesadaran kritis akan media yang kini penuh dengan omong kosong, dengan kata lain melatihnya memilah-milah informasi. Sementara yang terakhir dan terpenting menurut saya adalah memekarkan karakter yang percaya diri, peduli, mandiri, dan sudi berpikir terbuka.

Namun, itu tak akan pernah terlaksana andai guru masih menjadi pekerjaan yang kekurangan muatan ideologis. Tuntutan guru seharusnya bukan saja tuntutan gaji, tapi juga pemulihan hak-hak dasar politis mereka. Jika seleksi profesi guru sudah lebih baik, seyogyanya mereka dipersenjatai independensi dalam menentukan metode pengajaran. Sehingga, guru punya nyawa sendiri dalam mengajar, bukan semata menyampaikan apa yang sudah ditentukan—seperti humas. Tidak masuk akal juga jika ada guru yang tidak mampu berlangganan koran dan membeli buku. Lalu apa yang akan mereka berikan pada anak-anak kita?

Kebijakan perbukuan juga karut marut. Di satu sisi, penerbit terus saja bergerilya untuk membuat sekolah mengganti-ganti buku diktat tiap tahun—tentu dengan tujuan ekonomi. Yang paling sering dimanfaatkan adalah pemakaian LKS yang kodratnya memang untuk dicorat-coret dan sekali pakai. Masalahnya, digonta-ganti pun kualitas buku pelajaran Indonesia tetap menyedihkan dari segi validitas isi, logika, kemasan, dan tata bahasa. Ada buku sejarah yang isinya dongeng pembodohan serta buku agama yang komplit akan pernyataan-pernyataan dogmatis dan doktriner, menuntun pada pengkultusan moralitas individual tanpa diimbangi kepekaan urgensi sosial.

Parahnya, kebanyakan guru pun—termasuk pacar saya—hanya membaca dari sumber yang sama sebagai modal wawasan ajarnya. Belum lagi jika kita melihat mahasiswa sekarang malas membaca, saya tidak bisa tidak menyalahkan periode sekolah yang memang tak berperan membangkitkan budaya dan kesadaran akan kesenangan membaca. Sekolah hanya menyuruh anak untuk membaca apa yang sudah ditentukan. Satu lagi contoh bagaimana kita terdidik menjadi budak sejak dini.

Sudah sejauh ini, lalu kemana negara?

Memberi bantuan dana dan revisi kurikulum. Itu saja dari dulu.

Lalu tinggal apa lagi fungsi sekolah? Bisa jadi benar apa yang dikatakan oleh Arnold Toynbee: sekolah adalah klub untuk mencari pasangan seksual. Yah, itu setidaknya berhasil untuk saya.

Mengajari anak-anak berhitung memang bagus. Tapi yang terbaik adalah mengajari mereka apa yang perlu diperhitungkan – Bob Talbert