Tags
film bagus 1940-an, film bagus 40-an, film favorit 1940an, film favorit 40an, film feminis bagus, film feminsi favorit, film pernikahan bagus, film pernikahan favorit
George Cukor
1949
Romantic Comedy
Kembali aktif main Twitter lagi—setelah lima tahun lebih jadi sista-sista Instagram–sempat membuat saya syok. Perdebatan di mana-mana. Wacana yang bertebaran di linimasa Twitter selalu diikuti pro kontra yang sengit dan bikin pening. Apalagi bila isunya memuat sensitivitas gender. Menjadi sempurna secara politis di Twitter tampaknya tidak mungkin. Apapun pendapatmu, selalu ada yang berseberangan, apalagi jika nekat masuk ke zona obrolan feminisme. Jangan harap keluar dengan damai.
Rahasia umum bila topik kesetaraan gender amat seksi sebagai bahan diskusi cendekia dan bekal jadi pujaan mba-mba aktivis #klasik. Namun, saya memilih tak terlalu menaruh fokus dan energi pada wacana ini soalnya saya carinya mas-mas.
Bukan tidak peduli. Tapi saya kira perhatian dan aktor-aktor pejuang isu gender sudah cukup banyak. Isunya sendiri sudah terbilang populer, setidaknya untuk kalangan urban. Sementara banyak isu-isu lain yang tak kalah penting, namun disadari keberadaannya saja belum.
Popularitasnya bahkan di tahap “bising” bagi saya. Frekuensinya dibicarakan sering diikuti ego dan amarah dibanding kejernihan berpikir. Ombaknya terlalu riuh.
Saya akui kadang-kadang argumen emansipasi gender, entah itu kaum perempuan atau queer, telah melenceng, membias dari batasan yang diperjuangkannya. Akibatnya, pihak-pihak yang bebal akan ide-ide emansipasi itu merasa makin punya alasan untuk tetap bebal. Feminisme dianggap paham yang lancang dan tak tahu diri, apalagi aktivis #lovewins.
Saya punya satu rumus sederhana untuk menentukan keberpihakan dalam konflik perihal gender, terutama yang memposisikan laki-laki dan perempuan sebagai oposisional, begitu juga isu-isu homoseksual.
Saya tidak tahu apakah rumus ini bisa berlaku untuk semua kasus, tapi memang ini logika cepat saja. Supaya tidak gagap menghadapi twit-twit SJW atau justru bani-bani misoginis di media sosial. Maksud saya, yang sereceh ini saja orang-orang kerap luput.
Rumusnya simpel: hapus (atau tukar) saja konteks gender, jenis kelamin, atau orientasi seksualnya, lalu lihat.
Contoh 1):
Premis: Negara tidak memperbolehkan kaum LGBT untuk mendaftar CPNS.
Bila “LGBT” diganti “perempuan”, atau “laki-laki”, apakah bisa dibenarkan? Tidak. Tetap saja diskriminatif. Pada akhirnya adalah pembedaan perlakuan pada golongan tertentu tanpa alasan yang bisa diterima. Oke, berarti saya sepakat bila kebijakan itu adalah sebuah bentuk diskriminasi.
Contoh 2):
Premis:
(Saya pernah baca twit berbunyi kurang lebih): “Orang yang suka bilang ‘gue nggak apa-apa sama gay, asal mereka nggak ganggu gue’ itu sama saja homofobik”
Menurut saya, twit itu cacat sebagai argumen, atau sebagai sikap dukungan terhadap kaum homoseksual.
Pertama, secara tekstual, kalimat ‘gue nggak apa-apa sama gay, asal mereka nggak ganggu gue’ itu sangat netral. Bila kata “gay” diganti “perempuan” atau “laki-laki”, maknanya akan sama. Laiya, mau itu gay, cewek, ulama, sultan, pedagang susu murni nasional, pada intinya SIAPA JUGA YANG MAU DIGANGGU?
Kedua, bila mau dilihat secara kontekstual, tidak ada yang salah juga dengan kalimat “gue nggak apa-apa sama gay, asal mereka nggak ganggu gue”. Memang sepintas muncul kesan purbasangka (prejudice) bahwa gay suka “ganggu”. Namun, penolakan kalimat itu berarti menihilkan kemungkinan adanya gay yang “ganggu”. Padahal itu bukan kasus ajaib (secara statistik maupun empirik pun saya pernah mengalaminya), meskipun salah untuk dibilang “jamak terjadi”, apalagi “biasanya”. Reynhard itu faktanya ada, meski tidak berlipat ganda.
Kembali lagi ke rumusan tadi, jika kita bisa mengalamatkan argumen yang sama kepada perempuan atau laki-laki, kenapa jadi masalah ketika disasarkan kepada kaum gay? Melarang orang untuk mengeluarkan gagasan common sense (tidak ada orang yang mau diganggu) itu malah menyiratkan gejala fasisme itu sendiri. Jika itu dianggap homofobik, berarti adalah normal juga untuk menjadi homofobik. Justru upaya generalisasi lebih dilakukan oleh pemilik twit—bahwa gay tidak mungkin “mengganggu”–daripada perspektif yang hendak dilawannya.
Contoh 3)
Premis: Skandal pramugari menjadi gundik petinggi Garuda.
Saya tidak sepakat dengan mereka yang membenarkan pramugari Garuda dalam skandal ini atas nama solidaritas perempuan. Bila “pramugari” itu diganti “pramugara”, “pilot”, atau “abang-abang Grab Sukarno Hatta”, apakah ada yang berbeda? Tidak. karena menurut saya masalahnya bukan di gendernya, melainkan apakah para petinggi garuda ini sudah berkeluarga atau belum. Bila belum, ya silahkan (mau ngewe di kokpit, di bagasi, di jalur take off Lion Air, bodo amat). Tapi bila sudah, dan artinya menjadi perselingkuhan, dan artinya ada wanita lain yang disakiti, apakah ini bisa dikatakan solidaritas?
Benar, bahwa para pramugari ini bisa saja terpaksa melakukannya karena represi dari sistem yang ada di Garuda. Namun, seberapa besar keterpaksaannya masih hanya sekadar asumsi-asumsi di thread-thread yang ada. Kedua, itu persoalan lain. Sama saja membenarkan orang merampok karena miskin. Boleh ada simpati untuk kemiskinannya, tapi tidak untuk perampokannya.
Hidup sungguh sangat sederhana, yang hebat-hebat hanya penafsirannya. Pramoedya Ananta Toer saja bisa bilang gitu, padahal belum pernah debat dengan feminis di Twitter.
Lagipula gagasan terbesar yang pernah saya pelajari dari isu gender adalah bahwa itu bukan pertentangan adalah laki-laki dan perempuan. Dalangnya di atas itu semua. Kadang kita perlu lebih adem saja melihatnya.
Sama seperti rumus ecek-ecek saya tadi, Adam’s Rib bisa memberikan gambaran enteng tentang hal itu.
Bagi penggemar komedi romantis, film yang seringkali dianggap mahakarya adalah The Philadelphia Story (1940), berisi deretan cast epik: Cary Grant, James Stewart, dan Katharine Hepburn. Sungguh Los Galacticos. Film garapan George Cukor ini cukup kontroversial karena berani menyuguhkan kisah perselingkuhan dari tokoh utama perempuannya. Terhitung progresif pada zamannya, yang masih melihat perselingkuhan sebagai sebuah kejahatan norma, apalagi dilakukan oleh protagonis perempuan. Ya bukan filmnya Katharine Hepburn sih kalau enggak progresif.
Tapi itu tak cukup buat saya.
Bagaimana dengan Adam’’s Rib? Nah, ini baru progresif. Kolaborasi lain dari Cukor dan Katharine. Barisan aktor/aktrisnya tak kalah juga sih, apalagi ada beberapa aktris rising star, seperti Judy Holliday dan OMG ini film pertama Jean Hagen ternyata!
Yah, di film inilah kita bisa menemukan performa dari duet legendaris Katharine Hepburn dan Stephen Tracy. Duet keempat mereka bersama rumah produksi Metro-Goldwyin-Meyer, sekaligus yang paling berhasil.
Yang bikin dikenang bukan hanya kualitas aktingnya saja, melainkan kisah di belakangnya. Keduanya menjalin hubungan gelap sejak duet di Woman of The Year (1942). Padahal Tracy punya keluarga di rumah. Skandal ini sempat disembunyikan dari publik, namun sudah jadi rahasia umum di Hollywood. “Kami semua tahu, namun tak ada yang pernah mengatakannya. Di hari-hari itu, ini tak pernah dibahas,” ujar Angela Lansbury.
Beruntung tak ada Lambe Turah di sana.
Rasanya memang tak ada yang lebih cocok memerankan film ini kecuali Katharine. Sejak menulis ulasan untuk Bringing Up Baby (1938), saya sudah menyinggung Katharine sebagai aktris yang selangkah progresif di depan ekosistem Hollywood kala itu, apalagi terkait emansipasi kaum perempuan. Di depan atau di belakang layar, ia suka memakai celana panjang, mencoba hidup mandiri, tidak bergantung pada laki-laki, lalu menolak kenyamanan pada ekspektasi perempuan di eranya. Ini sempat membuat karier Katharine tersendat lantaran berkembang paham anti komunis kala itu. Orang-orang kritis kena dampaknya.
Katharine adalah berlian. Satu yang tidak dimiliki aktris lain adalah autentisitas persona aslinya. Katharine orangnya memang menarik. Ia tidak perlu berakting untuk menjadi sosok yang ambisius, tangguh, cerdas, sebagaimana watak perempuan yang ideal dijadikan materi film. Mungkin bisa kusebut bahwa ia punya kepribadian yang sedari awal sudah filmis.
Ambil contoh di The Philadelphia Story, karakter yang diperankannya jadi rebutan tiga laki-laki karena digambarkan sebagai perempuan yang mandiri dan sulit ditaklukkan. Ya Katharine aslinya juga begitu. Menikah sekali di usia muda, lalu sisanya liar: cerai, dikatakan lesbian, jadi selingkuhan orang, dan aktif politik segala macam.
Namun, ini malah yang kadang dianggap titik lemah. Katharine dinilai kurang punya keluwesan memainkan karakter yang beragam. Persona yang dibawakan di layar lebar terlalu mirip dengan personalitas aslinya. Ia mengakuinya sendiri, “Kupikir saya selalu sama. Saya memiliki kepribadian yang terlalu jelas, dan saya suka materi yang menunjukan kepribadian itu.” David Macaray selaku penulis drama mengatakan, “Gambaran Katharine Hepburn di setiap film yang dibintanginya selalu sama, lagi dan lagi.”
Hiyah, bodo amat untuk urusan estetika. Tak masalah selama ia menampilkan karakter yang dibutuhkan dunia. Ia memberi banyak pelajaran bagi para perempuan di eranya. Menampilkan kemungkinan bahwa wanita bisa keren bila percaya diri dan seindependen itu. Kehadirannya di layar memberi energi. Itu yang penting. Toh akhirnya prestasi yang mampir kepadanya lebih dari gelar-gelar perfilman, seperti masuk ke daftar Encyclopædia Britannica’ “300 Women Who Changed the World” atau Ladies Home Journal’s book 100 Most Important Women of the 20th century. Baginya, main film adalah aktivisme.
Bentuk emansipasi itu bahkan sesimpel apa yang dilakukannya untuk Judy Holliday di Adam’’s Rib. Katharine berusaha keras agar Judy diterima oleh produsernya main di film ini. Kekuatan orang dalam. Lalu ia terus memberi ruang bagi Judy untuk unjuk gigi di depan pemilik stakeholder perfilman.
Katharine meminta George Cukor untuk menampilkan adegan Judy (sebagai Doris Attinger) melakukan monolog menjelaskan kronologi ia menembak suaminya sebagai satu adegan panjang tanpa kamera berpindah-pindah menampilkan reaksi karakter lain. Ia ingin ada sorotan lebih ke penampilan Judy. ”Itu hal baik yang kamu lakukan karena dulu kamu juga mendapatkan hal-hal seperti itu,” ujar Katharine.
Nah, ini baru solidaritas antar perempuan, bukan dukung ciwi-ciwi jadi selingkuhan. Saya juga pernah selingkuh, tapi ya ndak pernah minta dukungan juga.
Saya bisa membayangkan Katharine sebagai Amanda di Adam’s Rib seperti mengeluarkan semua unek-uneknya saja selama ini. Memang argumentasi yang ditawarkan dalam film ini cukup mentah untuk ukuran wacana konflik gender hari ini. Yah masih seputar standar ganda, diskriminasi hukum, kekerasan rumah tangga, dan sebagainya.
Namun, pilihan kasusnya menarik, karena di awal sempat tampak hitam-putih sekali konfliknya. Menembak suami sendiri cuy. Meskipun motifnya karena diperlakukan buruk, tapi ya mudah secara hukum untuk menetapkan sang istri sebagai pihak bersalah. Tapi ternyata persaingan perspektif itu bisa dibentuk juga oleh Cukor.
Kita perlu sadar bahwa film ini rilis di tahun 1949. Artinya, feminism gelombang kedua—yang dianggap paling akbar—belum muncul. Kesadaran emansipasi terhadap kaum perempuan sebenarnya masih langka. Belum seksi.
Ingat tahun 1949, artinya film ini rilis di tahun yang sama dengan terbitnya buku The Second Sex yang jadi “kompas” feminisme gelombang kedua. Gelombang yang muncul sebagai sebuah reaksi atas upaya domestikasi baru kaum wanita pasca-Perang Dunia II. Sebuah era yang dikarakteristikkan lewat sebuah perkembangan ekonomi yang belum pernah ada sebelumnya. Maraknya urbanisasi, ledakan populasi, dan konstruksi standar-standar pernikahan modern. Selama waktu ini, perempuan tidak terdorong mencari pekerjaan karena tugas-tugas domestik dan rumah tangga dilihat seakan tugas utama, lalu akhirnya mengasingkan mereka dari urusan politik, ekonomi, dan hukum.
Simone de Beauvoir pada 1940 sudah menjelaskan fenomena ini dengan mengatakan bahwa perempuan dilihat sebagai “liyan” dalam masyarakat patriarki. Ia mengambil kesimpulan pada The Second Sex bahwa ideologi yang berpusat pada laki-laki diterima sebagai sebuah norma dan diperkuat denagn perkembangan mitos-mitos. Baginya, fakta bahwa perempuan itu mengandung, menstruasi, dan ciri saintifik lainnya bukan alasan valid untuk menempatkan mereka menjadi seks kedua. Apa yang ditulis De Beauvoir dan feminis gelombang kedua ini bagi saya masih tepat sasaran.
Saya kira Cukor, Katharine, atau siapapun di produksi Adam’s Rib di tahun yang sama itu belum mampu serinci dan setajam De Beauvoir mengidentifikasi masalah ini. Tapi, Adam’s Rib sudah mengenalkan sudut pandang krusial, yakni “bagaimana jika perempuan dan laki-laki bertukar peran?” Ini adalah modal argumentasi penting sebelum mulai mengambil konklusi-konklusi kritis setelahnya.
Ilustrasi paling kasar, tapi lucu, adalah ketika Amanda meminta para juri di persidangan membayangkan langsung bila pasutri yang sedang berseteru di persidangan ini—Doris dan Warren Attinger—dalam situasi bertukar gender. Bagaimana jika yang selingkuh adalah istrinya, dan yang berusaha melakukan penembakan adalah suaminya? Apakah ini bisa memengaruhi keberpihakan berujung keputusan hukum?
Sama kan seperti rumus recehan saya tadi. Tukar saja, lalu lihat. Logika ini yang berusaha dilempar terus menerus oleh Amanda.
Di Adam’s Rib, ada perempuan yang menangis berulang untuk memanipulasi laki-laki. Di akhir film, giliran laki-laki mencucurkan air mata untuk memanipulasi istrinya.
Sekali lagi, memang Adam’s Rib bukan film feminis yang secara genial mendedah persoalan-persoalan spesifik soal ketimpangan gender. Film ini hanya memberi gambaran besar pada basisnya bahwa apa yang bisa dilakukan pria sebenarnya bisa dilakukan perempuan. Bahwa keduanya punya kapasitas yang sama untuk menerima kewenangan, hak, dan peluang yang sama, termasuk peluang dihukum atau bebas dari hukuman.
Nggak usah berat-berat. Hari ini analisis gender suka terlalu jauh, kelayapan, lalu lupa pulang.
Best Lines:
Amanda Bonner: Now, you look here, Kip. I’m fighting my prejudices, but it’s clear that you’re behaving like a, like a – well, I’d hate to put it this way – like a man.
Kip Lurie: You watch your language.
After Watch, I Listen:
Blur – Girls and Boys