Tags
film bagus 40-an, film bagus 40an, film British bagus, film british favorit, film favorit 1940an, film favorit 40an, film noir bagus, film noir favorit
Carol Reed
1949
Noir, Mystery
Ada tiga ciri paling menonjol dari The Thirdman.
Pertama, gaya pengambilan gambar yang miring-miring. Maaf deh, saya tak bisa menjelaskannya dengan istilah fotografi. Pokoknya sebutannya adalah dutch angle. Teknik ini menciptakan tingkat tensi tersendiri, situasi adegan terlihat lebih problematik, dan tentu saja dramatis. Bila ditembak untuk adegan close up, pengambilan sudut melereng itu akan bikin tokohnya tampak lebih resah dan risau.
Teknik ini ditemukan di Perang Dunia Pertama. Film eksperimental dokumenter Man With a Movie Camera (1929) dari Dziga Vertov yang lebih dulu memperkenalkan dutch angle. Namun, adalah Third Man yang berhasil menerapkannya sebagai cara tutur yang lebih populer dalam sinema.
Sentuhan ekspresionis itu makin kuat karena diambil di Vienna. Memang Vienna, kota-kota Jerman, dan beberapa negara Eropa barat yang berkecamuk karena perang rasanya menjadi situasi paling tepat untuk membuat gambaran ekspresionis. Atmosfer tegang dan kacau pasca perang itu terbeber utuh.
William Wyler, sutradara The Best Years of Our Lives (1946), The Heiress (1949), dan Mrs Miniver (1942) setelah menonton film ini mengejek Carol Reed dengan mengirimkan spirit level, yakni alat untuk mengetahui tingkat kemiringan suatu objek kepadanya. “Carol, lain kali kalau mau bikin film, pasang ini di atas kamera ya,” tulisnya. Bahahah, dikira Reed ini tolol apa yak?
Setelahnya, dutch angle mulai dipakai di beberapa film dan karya seni visual lain, terutama film-film horor atau thriller. Salah satu yang sempat dianggap berlebihan dan sembarang pakai tidak pada tempatnya adalah film sains fiksi Battlefield Earth (2000). Hasilnya adalah salah satu film terburuk di dunia. Roger Ebert tak sungkan mencacinya, “Sang sutradara, Roger Christian, belajar dari film-film yang lebih bagus tentang kenapa sutardara kadang sengaja memiringkan kameranya, namun ia tak belajar kenapa itu dilakukan.”
Jancuk. Tapi saya sempat nonton cuplikan-cuplikan film itu, dan memang menggelikan. Adegan tidak penting saja dimiring-miringin. Bukannya estetis, malah bikin kliyengan nontonnya.
Ciri kedua The Thirdman, tak lain adalah music latarnya yang sangat khas. Di saat music-musik latar film era itu kebanyakan digarap berbahan orkestra dan piano, The Thirdman pakai zither, alat musik petik yang terdiri dari banyak senar dengan bunyi yang pedas, nyelekit. Zither yang berasal dari Eropa umumnya memiliki sekitar 30 sampai dengan 40 senar. Umumnya dimainkan di atas meja atau diletakkan tersangga lutut. Kalau di Sunda, jenisnya adalah kecapi.
Nah, sepintas bunyinya yang terdengar mencolok-colok kuping, alias nyether itu tidak nyambung sama sekali dengan nuansa filmnya yang gelap dan dingin. Bayangkan Najwa Shihab bacain rima-rima puitis Catatan Najwa bukan dengan musik latar “Seperti Rahim Ibu”-nya Efek Rumah Kaca, tapi pakai lagunya Wiranto. Semengejutkan itulah.
Pada musim panas 1948, sutradara Carol Reed sedang bersiap untuk syuting Third Man di Wina. Pada hari kedua, Reed—bersama Joseph Cotton an Orson Welles–berjalan-jalan mengelilingi kota. Ia berhenti di Heuriger, sebuah kedai anggur. Para petani menawarkan anggur mereka sendiri untuk dijual secara langsung di sana. Suatu ketika, Reed mendengar bebunyian zither. Karas, musisi berusia 40 tahun sedang memainkannya di belakang.
Reed seperti mendapat wahyu. Ia tahu bahwa ini bunyi yang dibutuhkannya di filmnya. Lewat temannya, tawaran Reed pada Karas diterjemahkan. Ia ingin Karas membuat komposisi zither untuk menjadi lagu tema The Third Man. Karas awalnya ogah-ogahan karena berarti ia harus melawat ke Inggris, namun akhirnya tetap menerimanya. Mungkin dia baru ingat cicilan Tupperware di rumah.
Karas akhirnya menulis dan merekam komposisi berdurasi 40 menit untuk film itu. Komposisi yang terkenal sebagai “The Third Man Theme” itu tidak baru, sudah lama ada dalam repertoar Karas, tetapi ia belum memainkannya dalam 15 tahun terakhir. “Ketika kamu bermain di kafe, tidak ada yang mau berhenti untuk mendengarkannya,” kata Karas. “Lagu ini sangat menyiksa jarimu. Aku lebih suka bermain ‘Wien, Wien’ yang bisa dimainkan sepanjang malam sambil makan sosis di saat yang bersamaan.”
Siapa sangka musik itu jadi faktor penting bagi sukses besar The Thirdman? Kehidupan Karas lalu berubah drastis. Ia melakukan tur di seluruh dunia dan tampil untuk banyak selebriti, termasuk anggota keluarga Kerajaan Inggris. Ia tidak lagi hanya bisa bermain zither sambil makan sosis, tapi juga sambil makan Sushi Tei, aih~
Pada akhir 1949, setengah juta kopi “The Third Man Theme” telah terjual. Keberhasilan skor ini juga menyebabkan lonjakan penjualan sitar dan alat music petik sejenis. Popularitas baru untuk music instrumen ini bertahan hingga memasuki tahun 1960-an dengan banyak album zither meraih sukses, di antaranya para pemain seperti Ruth Welcome, dan Shirley Abicair
Setiap saya dengar istilah film noir, pasti langsung teringat The Third Man dan bunyi zither itu. Ikonik.
Yup, dua poin di atas adalah ciri yang cukup autentik dari The Thirdman. Namun, ada satu lagi karakter kuat dari film ini. The Thirdman bersifat mondial. Lintas bangsa. Ibarat orang, dia tak punya kewarganegaraan.
Argumen saya dimulai dari The Thirdman sebagai film British yang tak punya rasa British. Dekade 40-an adalah kebangkitan film-film British. The Thirdman sendiri diberi penghargaan peringkat pertama film British Sepanjang Masa versi BFI. Namun, coba deh, cita rasanya Hollywood. Periwayatannya tak sedatar dan sekalem film-film Inggris sekitarannya.
Lagipula aktor-aktornya memang keluaran Hollywood. Duet Joseph Cotton dan Orson Welles kurang Hollywood apa?
Meski bertukar peran pemeran utama-pendukung—setelah duet serupa di Citizen Kane (1941)— Welles tetap menurut saya tampil lebih bagus dari Cotten. Padahal ia hanya tampil lima menit. Saya memang selalu menggemari performa Welles sebagai aktor. Saya sampai pernah mengetik kata kunci “which better, Orson Welles as actor or director” di mesin pencari. Kebanyakan orang menganggapnya lebih bagus sebagai sutradara. Oke, Citizen Kane itu mengagumkan dari segi koherensi cerita-sinematografi, tapi fungsi Welles sebagai aktor rasanya selalu lebih penting dari kelihatannya.
Menurut saya, Welles senantiasa memancarkan kharisma di tiap kemunculannya dalam layar. Peter Noble yang menulis biografi Welles mendeskripsikannya sebagai figur yang mempesona, tampan, punya mata yang mengkilap, dan sebuah suara yang gemerlap. Suara bariton-basnya ini khas. Adegan-adegan yang ada doi jadi terasa lebih penting dibanding adegan lainnya.
Tapi lagi-lagi kecakapannya sebagai aktor seperti ditenggelamkan oleh reputasinya sebagai sutradara. Bahkan, menenggelamkan reputasi sutradara lain juga. Selama bertahun-tahun ada spekulasi bahwa Welles, bukannya Reed, yang menjadi direktur de facto dari The Third Man. Dalam buku Discovering Orson Welles (2007), Jonathan Rosenbaum menyebutnya “kesalahpahaman populer”. Apalagi film ini dimulai dengan tema Wellesian, yakni retaknya persahabatan sepasang pria seperti di Citizen Kane.
Welles padahal sudah mengatakan di sebuah wawancara tahun 1967, bahwa keterlibatannya minimal saja. “Itu adalah filmnya Carol,” tegasnya. Namun, Welles memang berkontribusi untuk beberapa dialog film paling terkenal, termasuk:
Don’t be so gloomy. After all it’s not that awful. Like the fella says, in Italy for 30 years under the Borgias they had warfare, terror, murder, and bloodshed, but they produced Michelangelo, Leonardo da Vinci, and the Renaissance. In Switzerland they had brotherly love – they had 500 years of democracy and peace, and what did that produce? The cuckoo clock. So long Holly.
Yah, tetap harus diakui rasanya The Third Man tak akan ada tanpa Citizen Kane. Hmm.. Carol Reed tertekan nggak ya jadi sutradara dengan aktor seperti Welles. Ini seperti beban yang ditanggung Taylor Hawkins, harus main drum untuk Foo Fighters.
Argumen kedua untuk mengatakan The Third Man sebagai karya mondial perlu kita tarik dari fakta bahwa penulis naskahnya adalah Graham Greene, salah satu novelis terbesar di abad 20. Ia menulis novel-novel bertopik thriller dan espionase. Ia pernah menjadi nominasi Nobel pada tahun 1966 dan 1967, lalu banyak menulis soal isu-isu poltiik dan moral dari sudut pandang Katolik. Ia juga mengidap depresi, persisnya manic depression. Sehingga kisah-kisah yang dibuatnya membawa impresi kecemasan.
Green dikenal sebagai penulis yang sinematik. Banyak novel dan cerpennya diadaptasi ke dalam film dan televisi. IMDB mencatat ada 66 judul yang berbasis dari materi Greene. Brighton Rock bahkan difilmkan dua kali, 1947 dan 2011. Ada juga The End of The Affair dan A Gun For Sale. Namun, tak ada yang sebesar The Third Man.
Sebelum menulis naskah itu, bahkan Greene mencoba meresapi kebutuhan cerita dengan menulis sebuah novel. Ia tak bermaksud membuatnya dibaca publik umum, sekadar sebagai sumber atau prosedur untuk menyelesaikan naskah ini. Cuk, niat banget.
Kendati Green menyebut thriller sebatas hiburan, namun kita tahu seberapa ‘berprotein’ isian cerita yang dibangunnya. Tokoh Holly Martins (Joseph Cotton) ini bisa menggambarkan sosok Greene sendiri. Sepanjang hidupnya, Green suka melawat jauh dari Inggris. Perjalanannya ke sana ke mari membuatnya sempat direkrut oleh Mi6, agen inteligen Inggris. Ia lalu berkawan dengan Kim Philby, seorang agen Soviet yang sempat jadi supervisornya. Green pernah pula ke Liberia untuk memproduksi buku perjalanan bernama Journey Without Maps, serta ke Meksiko pada 1938 guna menyimak efek sebuah kampanye untuk memerangi sekularisasi anti katolik. Green juga pernah ke Afrika, Haiti, lalu bergaul dengan pemberontakan Fidel Castro di Kuba. Ia adalah kritikus keras imperialisme Amerika dan menyimpan simpati pada Castro sebelum jadi diktator.
Nah, makanya, ihwal espionase, perang dingin, dan seluk beluknya sudah dikhatamkan oleh Greene. Paspornya premium pasti.
Naskah dari Greene berdaya besar dalam kemasan yang diciptakan oleh Reed. Banyak kutipan-kutipan menarik pada dialognya, sebagian menggunakan rujukan situasi dunia. Perannya amat besar untuk film ini bisa menjadi sadar politik global. Film ini punya mata yang sudah melihat dunia luas.
Green, terlebih lagi, adalah penulis yang peduli dengan set. Kebanyakan ia mengeksplorasi negara-negara tropis, seperti Kuba, Argentina, dan lain sebagainya. Pada The Third Man, rasanya agak memudahkan—atau justru jadi tantangan—bagi Reed untuk bisa mewujudkan potret Vienna lebih punya makna.
Reed pun harus menguras keringat untuk bisa mengimbangi kebutuhan materi Green itu. Setelah perang, banyak sutradara memutuskan untuk menunjukan kondisi Eropa sepeninggal perang. Namun, Carol Reed adalah satu dari sedikit pelaku produksi film yang memutuskan untuk mengambil shoot on location – bukan studio. Ia tak mau tanggung untuk menangkap suasana keputusasaan orang-orang di dunia baru.
Risalah Greene tentang kemuraman pascaperang dan sinisme yang menyebar ke seluruh Eropa selama era tersebut menemukan representasi fisik dan simbolis yang ideal dalam batas-batas Vieena yang diduduki Sekutu. Bagi beberapa sutradara hebat, lokasi film bisa berkedudukan sebagai karakter. Vienna seperti yang terlihat dalam The Third Man adalah contoh luar biasa tentang bagaimana pengaturan intrinsik set bisa berimpak besar pada keberhasilan narasi film.
Tidak seburuk yang dibom seperti London, Paris atau Berlin. Wina memberi Reed, dan sinematografer Australia-nya, Robert Krasker, kesempatan untuk mendokumentasikan kota dalam berbagai transisi dan memanipulasi ruang fisiknya untuk mempertajam momen dramatis skenario film. Seperti yang dideklarasikan oleh trailer film itu, Wina adalah ‘kota yang takut akan masa kini, masa depan yang tidak pasti’ . Anak buah Reed pun bekerja keras menangkap ruang geografis yang rusak dan memvisualisasikan dunia batin yang bermasalah dari penduduknya melalui perpaduan yang kuat dari realisme nyata dan ekspresionisme Jerman.
Masa kelam bagi Wina disajikan dalam The Third Man via rangkaian montase awal yang menunjukkan bangunan-bangunan kota yang rusak akibat bom dan jalanan yang penuh puing-puing. Ini menjadi refleksi diri Austria, sebagai bangsa dengan sejarah budaya membanggakan, plus kemegahan arsitektur yang dibayangi oleh pemerasan, kerusakan perang dan perjuangan warga miskin bertahan hidup.
Dutch angle, pencahayaan chiaroscuro (kontras gelap terang), termasuk trik menyiram jalanan dengan air guna memunculkan efek reflektif berkilau di malam hari, eksterior-eksterior megah dikelilingi puing-puing bom, semua bersatu menanamkan visi Greene dan Reed. Film ini adalah karya luhur dari segi kecakapan penggunaan lokasi.
Dalam istilah psikogeografis, jalan-jalan berbatu kota Wina, patung-patung, klub lusuh, dan sistem saluran pembuangan yang luas memainkan peran penting dalam memunculkan ide kita tentang kota dan pengaruhnya terhadap karakter yang menghuninya. Demikian pula, ruang-ruang yang dikonstruksi dalam The Third Man sama-sama berpengaruh terhadap citra tempat bagi pikiran orang-orang yang menonton film. Aktualitas, fiksi, dan rekonstruksi bertemu di The Third Man dengan begitu sukses sehingga menelurkan salah satu tur lokasi film paling awal dan paling awet.
Mengomparasikan The Third Man dan Casablanca (1942), keduanya mencerminkan optimisme orang Amerika dan letihnya Eropa setelah perang. Ini seperti kisah tentang orang dewasa dan anak-anak. Orang dewasa seperti Major Calloway (Trevor Howard), yang telah melihat langsung hasil kejahatan Harry Lime, dan anak-anak seperti Holly yang masih percaya kebaikan dan kejahatan. Di mata Eropa, Amerika hanya bocah ingusan yang naif.
The Third Man sebagaimana Casablanca, menampilkan sosok pahlawan yang merupakan orang buangan Amerika, masuk ke jagat pengkhianatan dan intrik pasar gelap. Kedua pahlawan itu lalu mencintai seorang wanita yang terkepung ekses perang.
Namun, The Third Man berusaha lebih mendobrak batas. Mulai dari pengambilan gambar, musik, dan keseriusan produksinya. The Third Man, akhirnya saya tekankan lagi, adalah karya dunia. Karya mondial. Film ini adalah produk sinema British dengan rasa Hollywood dan pendekatan artistik Jerman dan Belanda, serta diciptakan oleh orang yang tahu dunia.
Best Lines:
Anna Schmidt: A person doesn’t change just because you find out more.
The Beatles: A Day In The Life