Tags

, , , , ,

Ernst Lubitsch

1940

Romantic, Comedy

Selalu ada yang mati terlalu cepat. Di seni rupa, banyak. Di musik, terlalu banyak. Di politik, lebih banyak yang ndak mati-mati.

Di film, salah satu yang mati terlalu cepat adalah Ernst Lubitsch.

Saya sudah menggemari karya-karya Ernst Lubisch sejak dekade 30-an, seperti Trouble In Paradise (1932) dan Ninotchka (1939). Ia mungkin sutradara klasik paling terampil merangkai dialog-dialog komedi nakal dan cerdas. Saya merasa gaya tutur sinemanya banyak tertinggal di gaya film-film modern. Dikenal dengan istilah “Lubitsch touch”, sentuhan komedi Lubitsch itu elegan, bukan model slapstick (sebagai umat Charlie Chaplin, tentu saya tak bilang bahwa slapstick itu jelek).

Tapi entah kenapa selalu ada yang nanggung di film-film 30-annya. Tahu enggak sih, perasaan yang “ah, kurang dikit lagi, coba ending-nya enggak terlalu A, coba konfliknya bisa lebih B, bagus banget nih film ini”. Nah, seperti itulah perasaanku menonton film-filmnya di dekade 30-an. Ada kecewa yang menyempil, bagian-bagian yang kelewat mentah. Kurang matang sedikit.

Untungnya, ia berkembang. Film-film Lubitsch di dekade 40-an jauh lebih komplet, pas, tidak meleset.

The Shop Around The Corner misalnya, sebetulnya film sederhana. Budget-nya terhitung kecil untuk film-film era itu, yakni 500 ribu dolar Amerika. Sebagai perbandingan, The Philadelphia Story-nya George Cukor atau Casablanca-nya Michael Curtiz yang rilis di tahun yang sama punya budget dua kali lipatnya. Ninothcka sendiri malah hampir tiga kali lipatnya.

“.. just little story that seemed to have some charm,” kata Lubitsch, perihal The Shop Around The Corner.

Mungkin sedang ngirit, nabung buat kawin #curhat

Ada golongan film komedi romantis yang bikin ngakak sambil tersipu-sipu. Contohnya banyak, dari film-film yang ada Cary Grant-nya sampai film-filmnya Ernest Prakasa. Sementara ada juga golongan film komedi romantis yang tidak terlalu lucu, tapi terasa hangat. Maksud saya “hangat” bukan seperti pipis balita, tapi mampu membuat perasaan kita larut, sambil merenungkan beberapa sosok. Rasanya seperti di-puk-puk oleh kawan yang kita curhati tentang doi. Contoh yang masih terlintas di kepala saya adalah Big Sick (2017).

The Shop Around The Corner masuk di kategori kedua.

Apa yang membuat film ini–dan film Lubisch lain terasa modern—salah satunya adalah pendekatan per adegannya. Menurut saya, salah satu beda karakter film drama lawas dan film kiwari adalah kebanyakan film lawas lebih bersandar pada premis. Cukup baca sinopsisnya, kita tahu apa yang menarik dari cerita filmnya. Makanya plot menjadi krusial. Mudah untuk menjelaskan apa yang menarik ke orang lain lewat satu-dua kalimat, misalnya It Happened One Night adalah kisah “reporter yang bertemu dengan putri jutawan yang sedang kabur dari rumah”. Casablanca? Tentang “seorang ekspatriat Amerika yang harus membantu mantan kekasih–dan pacar barunya–keluar dari daerah konflik”. It’s a Wonderful Life sih jelas, “orang super-baik yang didera masalah demi masalah, hampir bunuh diri di hari Natal, lalu diselamatkan peri”. Belum lagi bicara film-film animasi tradisional seperti Pinokio, Cinderella, sampai Beauty and The Beast. Sisi dramanya sudah berteriak dalam sinopsis.

Nah, seiring masa, mulai kelihatan perubahan gaya bercerita di film drama modern. Detail tiap adegan lebih diseriusi. Adegan tak sekadar materi yang tersusun membangun plot, tapi bisa menjadi kisah utuh sendiri yang menarik. Memberi makna sendiri. Contohnya? Boyhood.

Kalau ditanya, Boyhood itu film tentang apa? Tentangggg… anak kecil yang jadi remaja.

SO WHAT??? Mending nonton tukang proyek bangun jalan di Ring Road yang enggak selesai-selesai.

Begitu juga Lady Bird, Moonlight, La La Land, Roma, dan lain-lain. Film-film ini dapat dinikmati per adegannya sebagai kisah-kisah terpisah.

Film-film Lubitzsh menurut saya punya ciri itu. Perlu digarisbawahi kesadarannya memperlakukan dialog sebagai sesuatu yang demikian penting.

Pada The Shop Around The Corner, adegan-adegan sederhana itu kaya kesan. Mulai dari obrolan di depan etalase toko yang menjadi pembuka. Kita sudah diperkenalkan dengan karater-karakter masing-masing pegawai: ada Vadaz (Joseph Schildkraut) yang penjilat, Pirovitch (Felix Bressart) yang tidak suka cari masalah, sampai Pepi (William Tracy) yang mirip remaja-remaja di kampungku. Personalitas tiap pegawai dibangun dengan apik. Tampak seperti keluarga, intim, meski tak semua akur. Ada yang toxic, bermuka dua, suka menggunjingkan, suka digujingkan. Sebagaimana kantor di mana-mana.

Adegan cantik lainnya menurut saya adalah kala Tuan Matuschek (Frank Morgan) menanyakan pendapat Alfred Kralik (james Stewart) tentang kotak cerutu berlapis kulit palsu yang selalu memainkan melodi lagu folk Rusia “Ochi Tchornya” setiap dibuka, sementara Pirovitch memilih untuk masuk ke ruangan karena malas terlibat api. Adegan ini menjelaskan banyak hal.

Masuknya Klara atau Miss Novak (Mararet Sullavan) untuk mencoba melamar ke toko juga menarik. Ini jelas adegan penting. Lagi-lagi bagian dari meet cute. Saya pernah bahas konsep itu di artikel It Happened One Night. Intinya adalah situasi ketika tokoh utama laki-laki dan perempuan (biasanya) dalam film komedi romantis pertama kali bertemu secara tidak lazim atau lucu.

Lalu adegan di kafe itu. Sebuah adegan ala ketemuan Tinder. Lubitzh jelas tak ingin terburu-buru di adegan itu. Segalanya perlahan, memberi ruang untuk menabur ranjau-ranjau emosi. Membicarakan cinta, Anna Karenina dan Madam Bovary, sementara Kralik membaca Crime and Punishment dan sebagainya. Ketahuan kok bila Lubitsch berupaya menempatkan  adegan kafe ini sebagai salah satu adegan gacoannya di The Shop Around The Corner.

Nah, tapi karena mengambil bagian sebagai golongan komedi romantis yang hangat itu—sehingga beda dari tren sinema pada kalanya—film ini akhirnya tak terlalu sukses secara komersial. Menyepi dari film-film komedi romantis lain yang lebih mengejar tawa sebanyak-banyaknya, apalagi film-filmnya Cary Grant.

Padahal banyak juga lho dialog-dialog kocak di film ini.

Doctor: Pardon me Mr. Katona? Precisely what position do you hold with Matuschek and Company?

Pepi Katona: Well, I would describe myself as a contact man. I keep contact between Matuschek and Company and the customers… on a bicycle.

Doctor: You mean, an errand boy?

Pepi Katona: Doctor, did I call you a pill-peddler?

.

Ini juga lucu banget:

Alfred Kralik: [asking Pirovitch about cost of living for married couple] Suppose a fellow gets an apartment with three rooms. Dining room, bedroom, living room.

Pirovitch: What do you need three rooms for? You live in the bedroom.

Alfred Kralik: Where do you eat?

Pirovitch: In the kitchen. You get a nice big kitchen.

Alfred Kralik: Where do you entertain?

Pirovitch: Entertain? What are you, an embassador? Who do you want to entertain? Listen listen, if someone is really your friend, he comes after dinner.

Nah, tapi di sisi lain, ada juga dialog yang filosofis semacam ini:

Alfred Kralik: Pirovitch, did you ever get a bonus?

Pirovitch: Yes, once.

Alfred Kralik: Yeah. The boss hands you the envelope. You wonder how much is in it, and you don’t want to open it. As long as the envelope’s closed, you’re a millionaire.

 

Larik-larik itu pastinya digarap serius, bukan asal kejar lucu. Tentu kontribusi Samson Raphaelson menjadi penting. Orang ini yang dulu menulis cerita pendek dari riwayat mula karier Al Jolson, aktor film bersuara pertama, Jazz Singer (1927). Oiya, Trouble of Paradise juga kerjaannya si Raphaelson ini. Ia memang salah satu pakar penulisan kreatif.

Kendati enggak laku-laku amat, The Shop Around The Corner dianggap cocok jadi stok film Natal. Selain ada set waktu Natal di bagian ujung film, ada banyak alasan lain kenapa ia tak kalah dibanding It’s a Wonderful Life selaku film Natal legendaris.

Judul film ini sudah menunjukkan konteks latar, sebuah toko cinderamata sederhana dalam sebuah kota sentosa sebanding dengan kota kecil Bedford Falls di It’s a Wonderful Life. Oke, The Shop Around The Corner setnya berada di Budapest. Yah, teritori khasnya Lubitsch lah, daerah-daerah Perang. Lihat bagaimana film ini hanya menggunakan set dalam toko, depan toko, dan kafe bersuanya Miss Novak dan Kralik. Sisanya hanya segelitir. Selain karena ngirit tadi, keintiman itu sungguh dikejar.

((SPOILER)

.

.

Yang bisa kita bandingkan lagi dengan It’s Wonderful Life adalah bagaimana para karakter harus menanggung kesulitan dulu sebelum tertebus pada Hari Natal. Kralik sempat kecewa ketika tahu gadis idamannya di surat-suratan cinta itu sebenarnya adalah Miss Novak. Kemudian keharmonisan kantor terganggu ketika Tuan Matuschek secara misterius berubah dingin kepada Kralik dan memecatnya. Belakangan terungkap bahwa Matuschek keliru meyakini bahwa Kralik berselingkuh dengan istrinya, lantas ia gagal mencoba bunuh diri

Tetapi HALELUYA! Malam Natal datang dengan penebusan. Matuschek kembali bekerja dengan bisnis yang kian moncer dalam perayaan Natal, menunjang pembelian dan penjualan barang. Kralik dan Miss Novak lalu akhirnya bersama, belajar untuk meninggalkan versi ideal satu sama lain yang mereka buat.

Saat-saat yang paling memengaruhi adegan malam Natal melibatkan toko sebagai komunitas. Dalam hal ini adalah pegawai Matuschek & co. Semua orang rukun dan peduli satu sama lain. Kralik secara singkat menyebut mereka sebagai ‘keluarga kecil kami’ di awal film, dan gagasan itu diperkuat dalam monolog emosional, Tuan Matuschek menerima fakta bahwa ia diselingkuhi dan menyatakan bahwa “Ini rumahku” sebelum memberikan bonus pada semua pegawainya.

Namun, tetap saja Tuan Matuschek akhirnya menajdi sendirian. Sendirian di masa tua, kesepian yang hakiki. Andai ia main ke rumah Moltimer di film Arsenic and Old Lace, sudah pasti bakal diracuni sama bude-bude gokil itu. Kesepian di usia lanjut sepertinya adalah isu yang lumayan disoroti di era itu.

Makanya bukan hubungan percintaan antara Kralik dan Miss Novak yang lebih menyentuh, menurut saya. Melainkan justru konflik diri Tuan Matuschek. Ia lebih miris, Bung. Di usia setua itu, istrinya selingkuh dengan pegawainya. Dan ia tak tahu pegawainya yang mana yang melakukannya. Sehabis itu, ia salah mengira, dan memecat pegawai yang sebelumnya paling dipercayanya. Lalu ia menerima informasi bahwa bukan dia orangnya. Tak terbayang rasanya. Lumrah jika ia kepikiran bunuh diri.

Adegan terbaik kemudian bagi saya adalah ketika Tuan Matuschek merenungkan apa yang tampaknya akan menjadi malam Natal yang sepi. Semua pegawainya sudah punya rencana sendiri-sendiri untuk menghabiskan malam. Eits, tidak semua. Untungnya, pesuruh barunya ternyata juga tidak memiliki siapa pun untuk merayakan Natal bersama. Ada yang bisa diajak nongkrong. Njir, semiris itu.

Adegan terakhir It’s Wonderful Life mungkin berakhir dengan sebuah keluarga literal, tetapi Natal dalam The Shop Around the Corner akhirnya juga berujung pada sisi manis kolektif seromantis keluarga.

Saya sempat bingung kenapa nama Lubitsch tak menjadi selegendaris Billy Wilder, Orson Welles, apalagi Hitchcock. Ternyata, ia mati pada 1947 karena sakit jantung. Inalilahi, terlalu dini. Usia 55 tahun. Kematian di saat karier dan kualitas menanjak. Andaikan saja, andaikan saja..

Di pemakaman Lubitsch, Billy Wilder mengatakan “Tak ada lagi Lubitsch.”

William Wyler, meresponsnya, “Lebih buruk lagi dari itu. Tak ada lagi film-film Lubitsch”

Best Lines:

Alfred Kralik: Can you see her?

Pirovitch: Yes.

Alfred Kralik: Is she pretty?

Pirovitch: Very pretty.

Alfred Kralik: She is, huh?

Pirovitch: I should say, she looks… she has a little of the coloring of Klara.

Alfred Kralik: Klara, Miss Novak of the shop?

Pirovitch: Now, Kralik, you  must admit Klara is a very good looking girl, and personally I’ve always found her a very likable girl.

Alfred Kralik: Well this is a fine time to talk about Miss Novak.

Pirovitch: Well, if you don’t like Miss Novak, I can tell you right now you won’t like that girl.

Alfred Kralik: Why?

Pirovitch: Because it is Miss Novak.

After Watch, I Listen:

The White Stripes: I Just Don’t Know What To Do With Myself