Tags

, , , , , , ,

Arsenic and Old Lace (film) - Wikipedia

Frank Capra

1944

Drama

Kenapa kita suka tertawa di atas penderitaan orang lain ya?

Jawabannya mungkin bisa ditemukan di film yang agak bodoh ini sebenarnya. Seperti nonton srimulat tapi dengan premis yang ngaco.

Arsenic And Old Lace memang diangkat dari sebuah drama broadway yang hits abis garapan Joseph Kesselring. New York Times dalam resensinya menulis bahwa drama ini sangat lucu dan tak akan terlupakan oleh orang yang menontonnya.

Tadinya film ini saja sudah mau dirilis di tahun 1941. Namun, dramanya terlalu laris. Masih digelar terus hingga 3,5 tahun, sama seperti panjangnya masa penjajahan Jepang. Mempersaingkan kisah yang sama dalam dua platform berbeda bukan langkah tepat. Akhirnya, filmnya baru berani dirilis di tahun 1944.

Naskahnya random banget. Dua orang bude-bude punya hobi membunuh pria-pria tua yang datang ke rumah mereka. Mayat-mayatnya lalu dikubur di gudang bawah tanah. Si Mortimer Brewster (Cary Grant), keponakan mereka baru saja tahu. Ia kaget setengah mati mendapati ada peti mati berisi mayat di rumah. Tidak disembunyikan lho, tapi ditaruh saja di ruang tengah. Lha wong bude-bude ini ndak merasa bersalah melakukan itu.

Cek dialog brengsek ini:

Mortimer Brewster: Look, Aunt Martha, men don’t just get into window seats and die!

Abby Brewster: We know, dear. He died first.

Mortimer Brewster: Wait a minute! Stop all this. Now, look, darling, how did he die?

Abby Brewster: Oh, Mortimer, don’t be so inquisitive. The gentleman died because he drank some wine with poison in it.

Mortimer Brewster: How did the poison get in the wine?

Martha Brewster: Well, we put it in wine, because it’s less noticeable. When it’s in tea, it has a distinct odor.

Mortimer Brewster: You mean, you… You put it in the wine!

Abby Brewster: Yes. And I put Mr. Hoskins in the window seat, because Reverend Harper was coming.

Mortimer Brewster: Now, look at me, darling. You mean,you mean you knew what you’d done and you didn’t want the Reverend Harper to see the body?

Abby Brewster: Well, not at tea. That wouldn’t have been very nice.

Mortimer Brewster: Oh, it’s first-degree.

Abby Brewster: Now, Mortimer, you know all about it and just forget about it. I do think that Aunt Martha and I have the right to our own little secrets.

Ini masih ditambah beberapa karakter pendukung yang absurd. Pamannya Mortimer yang namanya Teddy, halusinasi akut mengira dirinya Theodore Roosevelt (nama panggilannya juga Teddy) dan suka naik tangga rumah dengan berteriak “charge!!!!!” sambil masuk ke kamar membanting pintu. Ia mengira sedang ada di medan tempur San Juan Hill.

Lucunya, halusinasi si Teddy ini dimanfaatkan oleh bude-bude itu. Tiap mayat-mayat itu dibilang sebagai korban demam kuning (yellow fever) supaya Teddy berinisiatif—karena mengira dirinya Theodore Roosevelt–menguburkan mereka. Demam kuning ini memang wabah yang menyerang Amerika kala presiden ke-26 itu menjalankan program pembangunan terusan Panama.

Di saat Mortimer panik dan bingung harus apa dengan kelakuan bude-budenya, saudara laki-lakinya datang ke rumah. Jonathan Brewster, pulang setelah sekian lama, dengan wajah seperti Boris Khaloff di film Frankenstein, bersama seorang dokter operasi plastik. Ternyata Jonathan telah menjadi pembunuh berantai, dan ia pulang untuk menyembunyikan korban pembunuhan terbarunya.

Peningnya kepala Mortimer. Tiba-tiba ia punya keluarga isinya pembunuh semua.

Kalau ngikutin karakter-karakter yang diperankan Cary Grant, pasti sudah terbayang dengan gambaran karakter Mortimer ini. Setidaknya karakter Cary Grant super kocak yang kita temui di Bringing Up Baby (1938) kita jumpai lagi di sini. Kemalangan-kemalangan itu, ekspresi terkejutnya yang lebay, suaranya yang mendadak falsetto kalau lagi dibikin apes sekitarnya. Pokoknya autentik lah Cary Grant ini.

Cuma lebay-nya Grant di film ini kadang keterlaluan sih. Makanya doi bete, merasa aktingnya buruk sekali di film ini. Overacting banget. Wakakak. Selalu lucu membayangkan Cary Grant bete, baik di depan atau di belakang layar.

Menurut saya sih aktingnya jadi kelihatan bombastis juga dikarenakan tidak ada yang mengimbangi. Sebenarnya pola komedi yang dikejar kurang lebih sama dengan film-film Grant kebanyakan. Potensi kelucuan dibangun saat kita diminta melihat bagaimana Mortimer diposisikan sebagai satu-satunya sosok yang stres dan gelagapan oleh keadaan yang serba tak menguntungkannya. Bedanya, misalnya ia punya Katherine Hepburn yang pecicilan dan mencuri atensi di Bringing Up Baby. Di Arsenic and Old Lace, Grant seperti sendirian menjaga energi filmnya. Akhirnya ia kadang kelihatan sok asyik sendiri, sehingga beberapa kali sepersekian detik momen awkward itu muncul.

Tapi di luar kewaguan itu, Frank Capra mengaku menikmati sekali menggarap film ini, mengingatkannya pada pengalaman mengerjakan It Happened One Night (1934).

Orang -orang juga menikmatinya. Setelah televisi mulai populer, film Arsenic and Old Lace ditayangkan berulangkali di sana, terutama di hari Halloween. Mungkin sama seperti film Warkop di hari lebaran.

Aneh ya, membayangkan menertawakan orang mati menjadi tontonan keluarga. Saat membaca sinopsisnya saja saya tak langsung ngeh bila ini adalah film komedi.

Mungkin ini kekuatan black comedy itu.

Label black comedy, black humor dan tragicomedy kadang tercampur baur. Tapi intinya sama, mengembangkan komedi dari penderitaan. Black comedy lebih terasosiasikan sebagai sebuah genre, seputar eksplorasi kelucuan dari subjek-subjek tabu, sesuatu yang serius, yang sering kita ditegur “husssh!” kalau membuatnya jadi bercandaan. Yang jadi langganan sih topik kematian dan pembunuhan. Tapi di perkembangan kontemporer, temanya berkembang ke penculikan, bunuh diri, penyiksaan, kanibalisme, seks, dan sebagainya.

Matrundola dan O’Neale dalam Black Comedy Genre Report  menyebutkan bahwa penderitaan adalah keharusan dalam black comedy. Dalam penelitian itu, black comedy dipaparkan sebagai “… sebuah film yang secara konsisten menemukan humor dalam kematian, penderitaan, atau keputusasaan.” Tapi audiens tak boleh ikut menderita, itu hanya untuk karakter dalam film, penonton harus tertawa. Intinya, bikin karakter tersiksa tapi penonton jangan merasa kasihan.

Nah, ini lho. Tujuan black comedy adalah “tertawa di atas penderitaan orang lain”.

Dalam black comedy ada black humor tuh. Alan Prat lewat Black Humor: Critical Essays mendeskripsikannya sebagai “sejenis humor yang menertawakan sisi-sisi gelap dari kehidupan—kejahatan, dukacita, dan lagi-lagi kematian”. Black humor melibatkan pendekatan humor terhadap apa yang aneh dan unik bagi institusi, moral, dan nilai-nilai tradisi.  Ada kejutan yang tidak pantas terhadap sesuatu yang seharusnya. Seakan masalah yang serius tak perlu kita anggap serius.

Ketidakpantasan ini jadi kata kunci. Sebenarnya humor secara umum juga pakai logika ini. Pada dasarnya kita sudah punya kepekaan dan ekspektasi terhadap perilaku orang lain. Komedi adalah kejutan ketika ekspektasi itu dilanggar. Komedi itu urusan memutarbalikkan ekspektasi. Makanya komika-komika di luar sana sering kena tuntut.

Tapi dalam black humor, cara kerjanya lebih kurang ajar. Ekspektasinya biasanya dititikberatkan pada urusan moralitas, atau sesuatu yang ditakuti. Kejutan komedi mengubah energi takut menjadi tawa.

Laiya dalam Arsenic and Old Lace, kita menertawakan orang sakit mental, orang mati, pembunuh, orang salah operasi plastic. Anjir, enak tapi.

Di sinilah kemampuan sutradara menciptakan pembingkaian untuk mengarahkan penonton pada emosi yang tepat, yaitu lucu. Bukan sedih atau marah. Salah satu trik Capra di film ini mungkin adalah dengan tidak memperlihatkan adegan pembunuhan itu. Semua hanya narasi.

Yah, kalau gagal, bikin orang marah, ya tinggal bikin video klarifikasi, minta maaf. Gampang.

Beda lagi dengan efek ketika kita tertawa, namun kemudian baru merasa bersalah setelahnya. Ini justru dicari sebagai ruang kontemplasi bagi penonton.

Black comedy punya sensibilitas membuat kita mempertanyakan banyak hal, biasanya tentang norma sosial. Nyinggung Albert Camus sedikit, black comedy mampu mengantar kita pada gagasan bahwa hidup ini absurd dan sia-sia. Kegilaan jadi standar, rasionalitas itu utopis.

Dalam Arsenic and Old Lace, pembunuhan 12 orang itu sinting. Tapi bude-bude itu memberi alasan cukup menyentil juga. Mereka membunuh untuk mengurangi kesengsaraan orang-orang yang sudah tak punya gairah hidup. Ini seperti keputusan menembak mati hewan-hewan buruan yang sekarat. Makanya, si Mortimer pun kesulitan juga membantah mereka. Ya, mereka membunuh, itu jelas salah. Tapi ya gimana…. Mortimer sudah capek untuk berdebat filosofis, argumen yang keluar akhirnya cuma,“ Itu bukan hal yang baik dilakukan. Orang-orang tak bisa menerima itu. Hukum tak bisa menerima itu. Maksudku, ya, itu bisa berkembang jadi kebiasaan yang buruk…. ”.

Sesusah itu mau bilang, “jangan bunuh orang”.

Masih dari Black Comedy: Genre Report, salah satu ciri film black comedy adalah karakternya punya gol yang negative dan tak bisa diterima masyarakat. Dalam Arsenic and Old Lace, “pelakunya” adalah kedua bibinya. Namun, akhirnya Mortimer terpaksa terlibat. Ia ikut skema menyembunyikan mayat-mayat itu.

Sebagian film black comedy juga menyediakan kritik terhadap set kepercayaan masyarakat eerhadap sistem, nilai, atau institusi tertentu.  Biasanya, si protagonis akan menjadi sosok subversive yang berusaha melawan itu. Film black comedy seperti American Beauty (1999) misalnya, bermula dari institusi pernikahan yang disfungsional.

Kritik ini ada pada Kind Hearts and Coronets (1949), film black comedy lain yang saya suka di dekade 40-an. Tidak selucu Arsenic and Old Lace, namun garapan Robert Hamer ini lantam mengkritik budaya aristocrat yang arogan pada era Edwardian.

Sebaliknya, Arsenic and Old Lace tidak sepolitis itu. Namun, film ini tetap jadi presentasi apik akan gambaran masyarakat eranya yang begtu akrab dengan kematian. Nyawa itu murah, datang dan pergi, layak jadi bercandaan sebagaimana jokes “Bapak kamu kemiri ya?”. Selain itu, pria-pria tua yang jadi “korban kebaikan” itu adalah situasi riil pasca perang yang depresif. Banyak mantan tentara pulang dengan banyak kehilangan, sedikit harapan.

Black comedy memungkinkan pembuat film berkesempatan membuat pernyataan kuat tentang masyarakat. Perkembangan genre black comedy sendiri memang ada di era tersebut, awal dekade 40-an. Mati, perang, dan pembunuhan, jadi elemen yang pasaran, termasuk untuk bahan komedi film non-black comedy.

Satu lagi, protagonis film black comedy biasanya gagal mencapai tujuannya. Ia akan bertemu dengan tragedi. Kadang secara gamblang diperlihatkan kesadaran bahwa golnya itu keliru. Lalu ini menjadi pencerahan bagi penonton bahwa apa yang dilakukan protagonis itu salah.

Itu kenapa ending di Arsenic and Old Lace diubah dari versi broadway-nya. Meski tidak dipertemukan dengan tragedi, namun si bude-bude ini akan dibawa ke sanitarium. Malahan sebenarnya di naskah aslinya itu harusnya bude-bude ini meracuni orang yang akan membawa mereka ke sanitarium. Tapi rasanya terlalu gelap di era itu, akhirnya tidak lulus sensor Hollywood.

Ckckck, padahal kita suka kegelapan.

Kalau kata Quraish Shihab, kita tidak bisa melihat Allah SWT bukan karena ia gelap tapi karena sesuatu yang terlalu terang tak bisa kita lihat. Sama seperti ketidakmampuan manusia menatap matahari.

Nggak ada hubungannya, cuma mau islamisasi aja.

 

Best Lines:

Mortimer Brewster: Look, you can’t do things like that! Now, I don’t know how I can explain this to you. But, it’s not only against the law, its wrong!

Martha Brewster: Oh, piffle!

Mortimer Brewster: It’s not a nice thing to do. People wouldn’t understand. He wouldn’t understand. What I mean is… Well… This is developing into a very bad habit!

After Watch, I Listen:

The Beatles: I Am The Walrus