Tags

, , , ,

Membaca Politik Jatah Preman seperti mengikuti beberan lebih lanjut dari kisah-kisah film mafia semacam The Godfather hingga The City of God. Tidak perlu jauh-jauh menengok ke Sisilia atau Rio De Janeiro, permasalahan sosial sehari-hari yang biasa kita lihat di portal berita lokal saja sedikit banyak dipengaruhi oleh skema mafia antara negara dan sipil.

Ian Douglas Wilson membuka dengan memaparkan argument bahwa fungsi kekerasan adalah memproduksi komoditas pengamanan. Fungsi jasa pengamanan hanya bisa muncul dari tiadanya monopoli kekuatan, ketika dibutuhkan perlindungan dari “sang lain” yang bisa diidentifikasi. Yang tersirat dari hal ini adalah: apabila tidak ada ancaman yang bisa diidentifikasi, maka ia harus diciptakan. Dengan demikian, jatah preman bisa dimaknai sebagai hubungan di mana kekuatan koersif dan intimidasi dipakai untuk meraih uang, sumber daya, atau kekuasaan dengan dalih menawarkan jasa pengamanan dari ancaman eksternal. Dalam hubungan  itu tersirat ancaman kekerasan. Dengan kata lain, sumber dan solusi bagi ancaman itu ya dia-dia juga: sang preman tampil sebagai pelindung sekaligus pemeras. Manakala diterapkan pada Negara, apabila sebagai balasan dari upeti warga negara mengklaim sedang melindungi mereka dari ancaman yang sebenarnya imajiner, atau merupakan produk dari praktik-praktik negara itu sendiri, maka negara pun beroperasi dengan sistem jatah preman ini.

Kekerasan non-negara di Indonesia terus terjadi bukan karena negara dengan sengaja melakukan pembiaran, tetapi karena kenyataannya bahwa elite-elite politik dan ekonomi mengandalkan kekerasan itu untuk mengonsolidasi kekuasaan dan kepentingan mereka sendiri.

Bagaimana Orde Baru Memanfaatkan Premanisme

Selama Orde Baru, geng-geng preman telah terlembagakan. Banyak di antaranya berada di garis depan pembantaian anti-komunis yang mengangkat Suharto ke tampuk kekuasaan pada 1965. Dalam perekonomian upah rendah Orde Baru, di mana akses kemakmuran kaum miskin kota sangat terbatas, premanisme bagi sebagian orang menjadi strategi penghidupan yang rasional untuk mengakses surplus kemakmuran ini melalui setoran-setoran liar. Dalam hal ini, Orde Baru membentuk kondisi-kondisi yang membuat sistem jatah preman predatorisnya sendiri bisa direproduksi, kendati pada skala yang lebih kecil.

Agar lapisan-lapisan sistem ini bisa berfungsi, geng-geng preman juga perlu diwajibkan menjalankan “tugas-tugas pemeliharaan rezim”, termasuk meneror dan menggertak para pembangkang dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya yang berpotensi mengguncang hubungan-hubungan kuasa yang mapan.

Keberadaan preman menjalankan tujuan politik ganda yang mencerminkan sifat mata-dua dari jasa pengamanan sebagaimana digambarkan Tilly. Secara informal, mereka merupakan bagian integral dari mekanisme kekuasaan, sedangkan secara formal mereka bisa disebut sebagai ancaman yang terhadapnya masyarakat perlu dilindungi.

Orde Baru mencoba memberi kesan bahwa tanpa kendali yang ketat, masyarakat akan terpuruk dalam kekacauan. Sistem premanisme Orde Baru bersifat multilapis dan hubungan antara bagian-bagiannya rumit. Hubungan negara-preman pada penghujung 1980-an kerap digolongkan sebagai beking, yang digambarkan oleh Lindsey sebagai mekanisme halus di mana komplotan preman menjadi bagian dari struktur kekuasaan negara di tingkat akar rumput. Dalam praktiknya, ini adalah privatisasi kekuasaan neagra yang memungkinkan negara mengambil jarak dari ekses-ekses yang dilakukan atas namanya, sembari memanfaatkan geng-geng preman tersebut sebagai modus kontrol sosial dan pungutan rente. Bagi geng preman sendiri, pengaturan seperti ini pada akhirnya pragmatis, membuka kesempatan bagi keuntungan ekonomi, dan kemajuan politik, dan mengurangi risiko menjadi sasaran pemberangusan oleh  negara.

Orde Baru bekerja dengan sistem jatah preman, mengabsahkan eksistensinya dengan menciptakan dan mengelola konflik-konflik yang hanya mampu dipecahkannya sendiri. Negara dan aneka perangkatnya menghadirkan ancaman yang darinya mereka sendiri menawarkan perlindungan dengan harga berupa kesetiaan, kepatuhan dan upeti. Sebagian di antara ancaman-ancaman ini tampak nyata dan eksternal, seperi kekerasan sektarian dan gerakan kemerdekaan di Aceh, Timor Timur, dan Papua Barat, meski semua itu bisa dibilang hasil dari metode negara itu sendiri. Klaim bahaya kebangkitan PKI misalnya, adalah bagian dari upaya menunjukan adanya musuh negara yang sedang menyerang negara. Pada taraf pemerintah melindungi warganya dari ancaman-ancaman imajiner maupun produk dari kegiatannya sendiri, ia telah mengorganisir sebuah sistem perlindungan ala jatah preman.

Asisten pribadi Suharto dan nantinya Menteri Penerangan Jenderal Ali Murtopo, ketika menjabar sebagai kepala Komando Operasi Khusus (OPSUS), menempa pertalian erat dengan banyak geng dan tokoh kejahatan. Sebagai kelompok fungsional misalnya, Murtopo menugaskan preman-preman peliharaannya ini selama pemilu 1971 dan 1977 guna memastikan Golkar mendapatkan perolehan suara sesuai jumlah yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dinamai pesta demokrasi, pemilu akal-akalan ini dicirikan dengan konvoi jalanan ingar-bingar yang kerap membuahkan aksi kekerasan. Tujuannya untuk menunjukan kemampuan pemerintah mengendalikan ancaman yang timbul dari sau-satunya forum yang disetujui negara bagi partisipasi rakyat dalam politik. Selain itu, ia juga mengintimidasi lawan dan para pencoblos agar mendukung Golkar. Pada 1974 para preman yang terhubung dengan Murtopo juga mengubah demostrasi damai mahasiswa di Jakarta menolak kunjungan perndana menteri Jepang menjadi kerusuhan besar yang dikenal sebagai “Malapetaka Januari” (Malari). Pola ini menggunakan preman sebagai provokator untuk mendiskreditkan dan mengacau pengorganisasian masyarakat sipil, menjadi gaya divide et impera khas Orde Baru.

Akan tetapi, ada juga penjahat tanpa moral yang sudah tidak bisa disembuhkan dan digoda lewat bujukan material. Yang seperti ini menjadi ancaman terhadap stabilitas nasional dan karenanya dibutuhkan pendekatan bergaya militer yang jauh lebih keras. Suharto lalu menunjuak Benny Moerdani, seorang garis keras tersohor, sebagai kepala Kopkamtib yang menjadi dalang dari apa yang disebut dengan Petrus. Sejak Maret 1983 di Yogyakarta, mayat-mayat penjahat kelas teri dan mantan napi mulai bermunculan di jalanan. Pembunuhan ini berlanjut sampai 1985, dan diperkirakan bahwa tidak kurang dari 5000 sampai 10.000 terduga gali dibunuh, terutama di Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jakarta. Kebanyakan korban merupakan mantan napi, berandalan, atau anggota geng, yang lain sekadar pemuda pengangguran atau ketiban sial belaka. Secara khusus, tato—yang dipandang sebagai tanda identifikasi simbolis dengan dunia gelap kejahatan—ditapaki untuk mengidentifikasi sasaran pengenyahan. Apakah korban-korban tak bernama ini memang terlibat dalam tindak kejahatan atau tidak tampaknya tak dianggap penting dibanding fakta bahwa mayat-mayat mereka bertato. Begitu banyak mayat bertato digunakan sebgai bukti dari bahaya yang darinya negara mengklaim telah melindungi masyarakat, meski dengan memakai langkah-langkah di luar hukum. Cara eksekusinya selalu ekstrem. Dalam banyak kasus, mayat-mayat itu ditembus ratusan peluru, dan seringkali dilakukan di tempat umum. Mayat korban lalu ditinggalkan begitu saja. Sedikit yang meragukan bahwa pelaku pembunuhan ini militer. Cara mereka melaksanakannya sangat efisien dan terkoordinasi. Namun, Moerdani menyatakan bahwa mayat-mayat itu adalah hasil perang perebutan wilayah di antara gali itu sendiri,

Salah satu yang diajarkan petrus kepada geng-geng adalah betapa pun besarnya reputasi mereka di tingkat lokal, kekuasaan dan eksistensi mereka pada akhirnya bergantung kepada beking jejaring politik yang berafiliasi bukan hanya pada negara, tetapi Suharto. Kunci bertahan hidup bagi preman adalah berorganisasi dan pernyataan kesetiaan penuh pada Gokar, militer, atau presiden. Buktinya oragnaisasi-organisai yang lebih besar seperti Pemuda Pancasila selamat dari masa-masa Petrus.

Hubungan antara preman dan negara pasca-petrus kerap disebut sebagai hubungan beking, sebuah sistem patronasi informal di mana preman menerima perlindungan dari militer dan polisi dengan balasan sebagian porsi keuntungan yang didapat dari pemerasan, penyelundupan, perjudian, pelacuran serta perilaku predatoris lainnya, bersama dengan kesediaan untuk dimanfaatkan bagi tugas-tugas pemeliharaan rezim seperti pengeroyokan aktivis dan menggelar unjuk rasa spontan pro-pemerintah.

Pasca-Orde Baru, Premanisme yang Tak Terpusat

Lengsernya Suharto bukan berarti runtuhnya jejaring beking, melainkan hanya kehilangan titik pusatnya yang utama. Jejaring ini melonggar menjadi kekuasaan yang tidak terpusat dan saling bersaing. Arti penting politik wilayah menjadi makin kuat bagi para preman. Kekhasan berbasis tempat menjadi landasan dan ideologi baru.

Apalagi persekutuan dengan pemerintah bagi jejaring preman memang strategis tapi tak lagi mengikat, sebab pemerintah itu sendiri rapuh oleh politik elektoral. Dalam beberapa kasus, seperti FBR (Forum Betawi Rempug), justru menguatkan posisinya di masyarakat dengan melawan pemerintah. Mereka memposisikan diri sebagai bagian dari rakyat miskin yang membela hak-hak sesamanya di mata pemerintah. Tumbuhnya pasar pengamanan dari swasta atau para pebisnis juga membuat jejaring preman menjadi lebih mandiri dari negara.

Situasi pasca-Orde Baru bisa dibandingkan dengan sebuah mafia tanpa bos. Negara terpecah yang tidak mampu lagi mengendalikan bekas tukang pukul-tukang pukulnya secara efektif.  Sistem jatah preman yang sebelumnya dikendalikan oleh negara sudah terdepak keluar dari sistem Negara dan diswastakan meski masih kerap dikendalikan oleh unsur-unsur rezim lama. Orang-orang kuat setempat yang dipupuk oleh Negara sudah digantikan oleh tokoh informal baru yang lebih bersifat wirausaha, yang modal politiknya didapat dari kecakapannya mengorganisir para pekerja jalanan dan memediasi antara kampung kumuh itu dan negara. Kewenangan mereka tidak banyak dibangun melalui kekerasan atau koersi, melainkan “daya tarik pada kepentingan-kepentingan ekonomi yang dimaknai secara sempit”.

Salah satu klaim bagi legitimasi ini adalah pernyataan bahwa Negara pasca-Orde Baru telah gagal dalam tanggung jawabnya menyediakan keamanan fisik, kepastian ekonomi, dan moral bagi rakyatnya, dan karena itu mereka perlu melindungi diri dengan membentuk kelompok vigilante dan milisi, yang sebagian di antaranya bercakupan nasional.

Salah satu bentuk nyata aksi vigilante terorganisir di Jakarta adalah apa yang disebut Wilson sebagai centeng moralitas. Seperti sistem jatah preman klasik, ada ancaman yang dibuat-buat atau dilebih-lebihkan, dan pihak yang sesumbar soal ancaman itu justru adalah pihak yang punya posisi strategis untuk menyelesaikannya. Bersandar kepada nilai-nilai sosial dan keagamaan normatif dan kerap kekhawatiran tulus mengenai masuknya industri-industri haram ke dalam kehidupan kampung, para centeng moralitas mendapatkan landasan moral strategis yang tinggi sebagai pelindung masyarakat berbudi luhur yang pada gilirannya melegitimasi bentuk-bentuk kewenangan dan kausa teritorial kepada polisi. Menyerbu tempat-tempat dosa dan maksiat berfungsi sebagai kekerasan untuk menegakan hukum, kerap secara harfiah sejauh aksi-aksi vigilante oleh FPI, FBR, dan lain-lain mampu menekan pemerintah untuk menggulirkan perundangan di mana mereka berada di posisi terbaik untuk menegakannya, seperti mengharamkan penjualan alkohol atau melarang pornogafi. Centeng moralitas telah menjadi bentuk yang kuat dan efektif dari modal politik. Inilah yang membuat kelompok-kelompok vigilante bergerak ke garis depan koalisi-koalisis sosial politik yang lebih luas, menjadi mitra pemerintah daerah dan bahkan aset nasional. Dalam konteks hubungan-hubungan kuasa yang kontinjen, centeng moralitas dimainkan di tingkat lokal dengan cara yang berbeda-beda. Kaum pengusaha misalnya, bisa membayar pajak haram kepada kelompok vigilante agar mereka tidak digeruduk, sedangkan bar-bar dan klub-klub maksiat yang punya beking tokoh militer kuat dibiarkan begitu saja.

Dalam konteks lain, seperti peribahasa rakyat Jakarta: “lu kemalingan ayam dan ngelapor polisi, ujung-ujungnya kehilangan kambing.” Bila kekuatan koersif tidak dimonopoli secara permanen oleh satu pihak pun, maka para pedagang dan pengguna jasa perlindungan lain akan menghindari para penyedia yang terlalu mahal bila mereka bisa dapat perlindungan dengan lebih murah di tempat lain. Agar bisa bersaing dalam pasar semacam ini, beberapa kelompok mencoba berubah dari geng preman dan pemeras jalanan menjadi organisasi jasa perlindungan profesional yang lebih tertata demi merebut pangsa pasar.

Bahkan, realitas ini tercermin dan sebenarnya terlembagakan dalam UU No 2 tahun 2002 Tentang kepolisian Negara Republik Indoneia yang memantapkan bahwa dalam melaksanakan perannya polisi dibantu oleh “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”. Hal ini memberi kerangka bagi polisi di tingkat Polresta dan Polsek untuk bisa menetapkan hubungan kerja dengan mitra lokal. Sebagaimana dijelaskan oleh seorang petugas polisi, “kenyataannya di lapangan adalah kelompok –kelompok ormas ini ada, dan mereka memagang kewenangan, jadi suka atau tidak, kami harus menjalin hubungan dan bekerja sama demi menciptakan lingkungan aman di Jakarta.”

Jakarta sendiri adalah kota yang tak memiliki kerangka regulasi yang jelas menyangkut hak dan keterlibatan warga, perencanaan dasar, serta penggunaan pemasaran tanah. Hal ini berlangsung dengan latar belakang lebih luas bahwa mayoritas warga kota tak banyak yang memiliki kepastian hak miik. Penataan semi-formal atau informal kerap melibatkan negosiasi dan kesepakatan rumit dengan pejabat setempat, makelar tanah, dan preman, yang bisa dengan cepat bergeser menurut perjanjian komersial atau perubahan prioritas kebijakan pemerintah. Situasi ini menciptakan permintaan pasar dan politik yang kuat bagi bentuk-bentuk koersif makelar tanah untuk memaksakan penyelesaian atas perebutan hak milik atau sengketa hak guna tanah.

FBR misalnya, lebih sering menjadi kekuatan untuk membela mereka yang tergusur. Hal ini bukan serta merta prinsip organisasi, sebab kerap masyarakat inilah yang juga dipalak oleh FBR dan preman. Informalitas dan kerawanan masyarakat ini memberi FBR peluang untuk menjalankan kewenangan yang terbilang besar. Namun, pembelaan itu kerap berasal dari permintaan warga kampong atau para pedagang sendirilah, yang dengan demikian menyiratkan pengakuan atas FBR sebagai pelindung, salah satu dari sedikit wahana organisasional untuk membela tempat mereka di kota melawan kekuatan-kekuatan yang lebih digdaya. Keterlibatan mereka jarang sekali bisa mencegah pengusuran, tetapi bisa membuka jalur komunikasi dan negosiasi dnegan pengembang pengusaha atau pemerintah.

FPI

Dibentuk pada 1997 dan dipimpin oleh ulama-ulama habib, FPI tampil di panggung publik semasa akhir rezim Orde Baru yang penuh gejolak. Awalnya mereka dikenal sebagai bagian dari Pamswakarsa, milisi tidak tetap yang diambil dari barisan kaum miskin kota dan berbagai kelompok pemuda Orde Baru yang dikerahkan oleh Panglima Angkatan bersenjata Jenderal Wiranto dan kapolri Noegroho Djajoesman sebagai kekuatan ketiga untuk melawan gerakan reformasi yang diusung mahasiswa. Segera sesudahnya, pada November 1998 di Ketapang, Jakarta Pusat, FPI memimpin serangan ke pusat kekuatan preman-preman Ambon, membuat 15 orang tewas. Konon sebagai respons atas pengrusakan masjid, FPI juga mengobrak abrik sarang perjudian mapan, memberi isyarat goncangan bagi perekonomian maksiat Jakarta.

Kendati kerap beroperasi dengan melanggar hukum dan kepentingan negara, FPI juga menjadi unsur penting dari strategi berkuasa para elite politik lokal, dan sendirinya sebagai makelar kekuasaan, terkadang dalam konflik terbuka dnegan pihak berwenang resmi, kadang menjadi mitra untuk menjaga tertib sosial tertentu.

Kawat-kawat diplomatic AS tahun 2006 yang dibocorkan oleh Wikileaks menguraikan kecurigaan banyak orang sejak lama. Mantan Kapolri Sutanto ada dalam rekaman menyatakan bahwa FPI selalu berguna sebagai anjing penyerang manakala dibutuhkan, dan karena itu secara regular menerima pendanaan dari polisi dan Badan Intelijen Negara. Namun, kemampuan polisi untuk mengendalikan anjing penyerang ini terbatas. Salah seorang penyokong awalnya, mantan Kapolri Noegroho Djajoesman, menyatakan bahwa pada 2001 “talinya” sudah putus dan kelompok ini melangkah melampaui kendali langsung.

FPI menjadi pemain baru dalam ekonomi proteksi yang ruwet di Jakarta, menggunakan dalih membela iman sebagai sarana untuk memungut setoran dan pajak haram dari berbagai bisnis legal dan kotor, sejenis centeng moralitas yang mengambil utung dari keberadaan maksiat uang katanya hendak dienyahkan. Pilihan sasaran razia FPI sungguh diperhitungkan, sedangkan klub, bar, atau tempat bordil yang dimiliki atau dilindungi militer, ormas, atau tokoh-tokoh kuat lain mereka biarkan. Hubungannya dengan polisi pada tingkat lokal kerap naik-turun antara kerjasama dan konflik. Kegiatan anti-maksiatnya mengancam setoran yang didapat polisi dari rumah bordil atau rumah judi. Namun, secara umum, mereka mencoba menjalin semacam saling bantu. Sudah menjadi praktik standar FPI, misalnya saja, untuk melaporkan niat menjalankan razia kepada polisi, dan dengan demikian membuka peluang untuk mendekati sasaran yang dimaksud guna merundingkan perlindungan. Kasus lainnya: polisi hadir dalam razia FPI dengan alasan memastikan keadaan tetap terkendali atau bahkan sebagai mitra aktif. Dengan menyasar mereka yang tak punya perlindungan memadai, ia justru turut memuluskan monopoli berbagai gembong hiburan malam Jakarta, memaksa bisnis-bisnis yang lebih kecil mencari perlindungan dari mereka atau malah sekalian dibeli. Organisasi dengan sigap menyangkal bahwa ini strategi disengaja.

Bagi preman lokal, FPI memberi tudung baru bagi pemerasan. Mereka pindah dari Pemuda Pancasila dan ormas lain dengan anggapan Islam menjadi tudung organisasi yang paling mutakhir dan paling ampuh untuk melakukan pemerasan dan pungutan. Ketertarikan kaum miskin kota dan kelas pekerja pada FPI, yang membentuk sebagian besar anggotanya, didorong oleh campuran antara instrumentalisme pragmatis, termasuk pencarian nafkah, gagasan normatif tentang ketakwaan beragama, serta kegelisahan dan kemarahan mengenai integritas teritorial, ekonomi, dan moral lingkungan mereka di hadapan proses transformasi sosial-ekonomi Jakarta yang tak henti berjalan.

Terlepas dari retorika islamis FPI dan kedekatannya dengan kaum radikal kawakan seperti Abu Bakar Basyir, dalam banyak hal mereka sejalan secara ideologis dengan kaum nasionalis garis keras dan kaum politik kanan yang menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945 asli yang lebih otoriter ketimbang UUD hasil amandemen. Suara kelompok ini semakin lantang sejak 2012. FPI membedakan diri dari kaum Islamis lain, seperti Hizbut Tahrir, dengan tidak menolak Pancasila sebagai ideologi Negara, melainkan berpendapat bahwa apa yang disebut sebagai permasalahan demokrasi di Indonesia adalah permasalahan sejarah, yang perlu dikembalikan kepada apa yang dinyatakan oleh Habib Rizieq sebagai landasan Islami dari republik dan konstitusi Indonesia. Semua ini, menurutnya sudah disalahtafsirkan dan dibelokan oleh penyusupan ide-ide barat tentang demokrasi suara mayoritas serta nilai-nilai liberalisme sekularisme. Menurut Rizieq, tidak pernah ada pernyataan apa pun dalam undang-undang bahwa Indonesia adalah sebuah negara demokrasi, alih-alih, sila keempat Pancasila mengukuhkan republic ini sebagai negara berdasarkan musyawarah dan mufakat, yang ia klaim sebagai tradisi asli Islam dan cara pemerintahan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad. Pendirian FPI dengan begitu adalah pendirian nasionalis sayap kanan ketimbang pan-Islamisme sejauh ia mengulangi arti penting integritas wilayah republik dan keutamaan dari UUD 1945 yang asli dari Pancasila.

Pendirian ini memperlancar kerjasama dengan kaum nasionalis sekular yang menentang demokrasi liberal. Platform kampanye kunci Prabowo Subianto dan wahana politiknya Gerindra dalam Pemilu 2014, misalnya, adalah kembali ke UUD 1945 yang asli sebagai cara untuk mengoreksi segi-segi demokrasi liberal dalam sistem politik yang tidak sesuai dengan ciri bangsa Indonesia dan telah membuat ketidakstabilan hukum dan politik nasional yang kontraproduktif bagi pembangunan. Seminggu sebelum pilpres, Prabowo menerima gelar panglima perang umat islam pada pertemuan kelompok-kelompok garis keras di Yogyakarta, termasuk laskar Jihad dan FPI, yang memproklamirkan dirinya sebagai satu-satunya harapan untuk mencegah Indonesia menjadi negara sekuler.

Yang dicari para politisi dari FPI adalah kemampuannya untuk mengerahkan massa dan kapasitas koersifnya. Namun, dibandingkan dnegan organsiasi-organsiasi seperti FBR, Forkabi, atau Pemuda Pancasila, kehadiran FPI secara territorial memang lebih kurang terjaga. FPI memilih bermobilisasi di seputar isu ketimbang menguatkan diri secara lokal. Penguatan diri di tingkat lokal bisa memberi tekanan lebih berat pada organisasi untuk mengubah orientasi dan sumber daya agar secara lebih langsung memperhatikan kesejahteraan material anggotanya, dan dengan demikian melemahkan citranya sebagai para pembela iman yang tanpa pamrih. Yang memberi FPI kekuatan memang bukanlah kekuatan jumlah, memainkan kemampuan membajak dan membentuk ketegangan sosial ekonomi dan wacana publik yang menyelimutinya.