Mahbub Djunaedi, mantan ketua umum PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sempat mengatakan bahwa jurnalistik memerlukan sastra sebagai penunjang. Ia menemukan keleluasaan kerja kreatif penulisan sastra untuk mewadahi ekspresi jurnalistik.
Saya setuju. Saya tak pernah bermimpi barang semalam pun untuk jadi sastrawan. Namun, tetap saja membaca buku sastra adalah kebutuhan menjaga kualitas penulisan, meski yang saya tulis misalnya cuma artikel berita pendek Chelsea Islan diduga jadian dengan acar pempek.
Dan lagi-lagi libur membaca karya sastra dalam waktu setahun lebih membuat tulisan saya menjadi kaku—kayak bapaknya doi. Apalagi waktu selang itu dihabiskan dengan membaca buku-buku kuliah dan jurnal yang jelas memakai ragam bahasa ilmiah dan diksi preskiptif ala strukturasi, komodifikasi, pluralisasi, teorisasi, barmetunjerokoktelatsesasi dan -asi -asi yang lain. Ini makin terasa ketika kemarin menggarap proyek puisi bersama kawan-kawan seniman yang akan dibukukan nantinya. Jangankan sastrawi. Niat menulis kalimat sajak, keluarnya kalimat syahadat.
Syahdan, akhirnya saya mencoba memulihkan sisi humanis tulisan saya dengan membaca Cerpen Pilihan Kompas. Pada seri tahun 2010 ini, redaksi mengembalikan otoritas kurasi ke tangan para editor dan redaksi Kompas sendiri. Selama lima tahun sebelumnya, mereka memang mencoba mendelegasikan kurasi pada para pakar sastra luar sehingga mengubah judul Cerpen Pilihan Kompas menjadi Cerpen Kompas Pilihan. Sekembalinya format lama ini lalu membuat Kompas lebih bebas mengusung prinsip non-fanatik terhadap satu kecenderungan tulisan, sehingga 18 cerpen yang termaktub dalam antologi ini bernar-benar menjadi beragam warnanya.
Lagi-lagi Seno Gumira Ajidarma. Setelah “Mayat Yang Mengambang Di Danau” pada Cerpen Pilihan Kompas di tahun 2012 dan “Aku Pembunuh Munir” di setahun berikutnya menjadi cerpen yang meninggalkan kesan lebih bagi saya, kali ini cerpen bertajuk “Dodolit Dodolit Dodolibret” memenangkan selera saya dan Kompas sekaligus. Bukan cuma ketenaran, tapi mungkin pendekatan realisme sosialnya memang pas di hati. Nama Seno Gumira Ajidarma selalu jadi unggulan di antara barisan nama lain pengisi cerpen Kompas.
Karya Seno bertajuk “Dodolit Dodolit Dodolibret” ini adalah cerpen dengan kekayaan interpretasi paling berlapis yang pernah saya baca. Isinya berkisah tentang seorang bijak spiritual bernama Kiplik yang menyambangi satu tempat ke tempat lain untuk mengajarkan tata cara doa yang benar pada manusia. Baginya, seseorang memang harus membaca doa dengan benar:”Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?,” ujarnya.
Pada pertengahan narasi, Kiplik sampai pada sebuah kaum terpencil yang melakukan praktik doa jauh dari kebenaran versinya. Ia merasa ini adalah akibat dari keterkucilan geografis atau ketertinggalan budaya dari kaum tersebut. Kiplik pun resah, merasa kasihan, sampai akhirnya ia justru menemukan kenyataan yang mengejutkan.
Mudah untuk kita bisa menebak ke mana arah konflik cerpen ini bisa disinggungkan dengan isu sosial di kehidupan nyata, yakni soal pluralisme agama. Cara pandang paling ekstremnya adalah tesis sekular bahwa ada banyak jalan menuju Tuhan. Namun, bisa juga kita membacanya mirip dengan artikel “Warisan” milik Afi yang belakangan kontroversial, yakni kebutuhan toleransi dalam menyikapi argumen kebenaran dari tiap kepercayaan. Penggunaan kata “benar” yang diulang berkali-kali di cerpen ini menunjukan penegasan sifat dogmatis dalam masing-masing agama. “Dodolit Dodolit Dodolibret” sangat menggelitik dan relevan untuk hari ini, di mana militansi masyarakat terhadap agama masing-masing mulai mempersulit titik temu kebenaran religi yang universal.
Kadang kita juga gemar menginterpretasikan mitos atau dongeng sebagai perlambang sesuatu yang sebenarnya logis. Misalnya kisah Malin Kundang sebagai pengingat bakti kepada seorang ibu atau kisah-kisah dramatis rasul sebegai penyedia nilai moral bagi para umat. Di awal pergulatan pemikirannya, Kiplik juga beranggapan hal yang sama, sampai akhirnya ia menjadi saksi langsung kebenaran konkret dari mitos-mitos yang didengarnya.
Akhirnya cerpen ini juga merupakan sindiran bagi saya yang menunjukan penolakan terhadap hal-hal gaib. Ya mau bagaimana lagi, bukannya sombong, tapi yang begituan memang omong kosong kok. Semua.. kecuali paranormal Ulfa yang sampai saat ini masih berusaha membuat Jupe hidup lagi. Ya ampun, kalau ia berhasil ‘kan kita bisa sekalian minta menghidupkan Sukarno, Munir, Gus Dur, Kasino, atau saksi-saksi korban 1965.
Selain “Dodolit Dodolit Dodolibret” yang memang jelas bagus secara konsensus, puisi pilihan saya lainnya adalah “Sirajatunda” garapan Nukila Amal. Sesuai tajuknya, cerpen ini mengambil tokoh utama seorang penulis yang gemar menunda-nunda aktivitas, salah satunya ketika hendak menulis. Dan ia selalu menyalahkan faktor-faktor di luar dirinya sendiri, mulai dari istrinya, nyamuk, jus nanas di kulkas, notifikasi email, dan sebagainya: “Kupikir semua mereka lahir ke dunia untuk bersekongkol memberantas karya artistik manusia”.
“Sirajatunda” menampilkan premis yang sederhana namun sangat bertalian dengan kehidupan kita. Jangankan gangguan dari pihak luar. Semisal saya sengaja menyewa penjara agar khusyuk menulis saja belum tentu aman dari tertunda-tunda kalau masih ada jaringan internet tersambung. Saya pun menduga Nukila Amal mendapatkan ide cerpen ini usai kelimpungan dengan godaan berselancar di Google, cek status gebetan di Facebook, atau mengunduh unggahan terbaru di Krucil.net. Tak apa, saya sangat paham betul.
Buktinya, tulisan ini juga baru saja kelar. Padahal tidak ada isinya.