Tags
ansel egort, bellbottoms, film musik balapan, ipod, koreografer, musik balapan, musik dilarang berkendara, subaru
Edgar Wright
Action, Crime
Beberapa waktu lalu terembus sebuah kabar kontroversial dari kepolisian Indonesia. Sebuah kabar yang bisa meluluhlantakkan belantika musik, kelangsungan industri radio, penjualan produk otomotif, kiamat budaya populer, dan musnahnya bumi beserta isi-isinya.
Dikabarkan akan ada larangan berkendara sambil mendengarkan musik. OMG.
Untungnya, Kepolisian Republik Indonesia cepat tanggap dan menegaskan bahwa mendengarkan musik saat berkendara tidak dilarang selama tidak mengganggu konsentrasi pengendara atau pihak lainnya. Dalam konferensi pers di Golden Boutique Hotel, Jakarta, Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Halim Pagarra menuturkan,”Sudah saya sampaikan memang, untuk yang merokok, mendengarkan musik itu tidak ditilang, saya ulang lagi, tidak ditilang.”
Hamdulillah, puji tuhan. Tentu saya sangat dirugikan jika pelarangan itu benar, mengingat saya orang yang sangat suka mendengarkan musik dalam mobil. Itu cara paling mudah untuk mendengarkan koleksi CD saya. Bahkan, beberapa kali saya menyalakan mobil di garasi hanya untuk mendengarkan CD yang baru saja dibeli. Begitu juga alasan untuk kadang-kadang sengaja menepi di jalan sepi ketika sedang berkendara sendirian. Beruntung, tidak pernah digrebek karena dikira ngewe.
Secara logika, memang berkendara sambil mendengarkan musik jelas bahaya dalam konteks pengendara mengoperasikan pemutarnya tidak dalam kondisi kendaraan berhenti. Volume yang terlalu keras juga akan membuat suara-suara di luar mobil tak terdengar, termasuk bunyi klakson. Sudah pasti risiko mati meningkat.
Sementara, di luar human error itu, ternyata berbagai penelitian menunjukan hasil yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa musik dalam mobil membuat pengendara kehilangan konsentrasi, terutama jika lagu itu sangat dinikmati sopirnya. Menghanyutkan. Akan tetapi, ada juga hasil yang menunjukan kebalikannya. Mendengarkan musik tak terlalu signifikan memengaruhi performa berkendara, bahkan justru efektif mengurangi rasa kantuk.
Persoalan yang masih hangat-hangat kuku ini mengingatkan pada karakter Baby (Ansel Elgort) di film Baby Driver. Seorang remaja yang terpaksa bekerja menjadi sopir di proyek-proyek kriminal, termasuk perampokan bank. Keistimewaan pertamanya, ia sangat-sangat cepat. Kedua, ia selalu mendengarkan musik ketika menyetir.
Mendengarkan musik bagi Baby lebih dari sekadar hobi. Sebenarnya ia juga melakukannya di luar kendaraan, di manapun dan hampir apapun aktivitasnya. Ketika di belakang kemudi, musik menjadi kebutuhan dan prosedur menunjang kepiawaiannya menggasak jalanan. Ia akan setuju bahwa musik adalah doping yang mempertajam fokus dan konsentrasi juru mudi.
Dari filmnya sendiri, Baby dikisahkan mengidap tinnitus, sehingga telinganya akan terus berdengung dalam kondisi hening, karenanya ia selalu memakai earphone dan mendengarkan musik sepanjang hari. Tumbuh dengan tragedi kedua orangtuanya terbunuh oleh kecelakaan, saya melihat kecanduan Baby terhadap musik juga dikarenakan ia lebih suka hanyut mendengarkan lagu dibanding mendengar suara-suara realitas di sekitarnya. Mungkin itulah kenapa ia begitu nyaman tinggal dengan ayah angkatnya (CJ Jones) yang tunarungu. Dan sama seperti ngebut, musik punya unsur adrenalin. Kemahirannya meliuk-liuk dengan roda empat bisa jadi lahir dari resapannya terhadap ritme, irama, dan adrenalin dalam unsur-unsur musik. (wkwkwk, ini rasionalisasi pribadi saja sih)
Itu tadi baru sebagian kecil dimensi permusikan yang tersuguhkan di film aksi balapan ini. Sinematografi Baby Driver memang sangat stylish tanpa mesti bombastis sebagaimana The Fast and Furious, dan tidak terlalu memamerkan variasi mobil. Glamoritas otomotif itu diganti dengan mewahnya playlist lagu. Unsur musik di Baby Driver sangat signifikan, terintegrasi dalam wilayah naratif dan sinematik yang lebih luas. Tak sekadar nempel sebagai latar suara.
Sebelumnya, Edgar Wright memang berkarier cukup sebagai sutradara video musik. Portofolionya termasuk “Gust of Wind” dari Pharrell dan “Keep The Home Fires Burning” dari The Bluetones. Bahkan, Wright sudah pernah menumpahkan bayangan sekuen awal Baby Driver di video musik Mint Royale bertajuk “Blue Song” yang menampilkan seorang pengendara yang menunggui rekan-rekannya merampok bank. Sembari menanti di mobil yang siap kabur, sang tokoh utama mendengarkan lagu lewat pemutar CD sambil bergoyang mengikuti irama dan melakukan beberapa interaksi unik dengan orang-orang yang lalu lalang. Beberapa unsur adegan di video musik “Blue Song” itu lalu dibawa lagi ke segmen pembuka Baby Driver.
Bahkan, secara umum Baby Driver dikembangkan dari imajinasi Wright ketika mendengar lagu band asal New York, Jon Spencer Blues Explosion yang bertajuk “Bellbottoms” di medio 90-an. Lagu itu kemudian dipakai melatari adegan melarikan diri pertama di film ini. Dibuka dengan gimmick announcement, (“Thank you very much, ladies and gentlemen / Right now I got to tell you about the fabulous / Most groovy Bellbottoms (ugh!)”), “Bellbottoms” ialah nomor blues garage yang dinamis, ramai instrumen, dan iramanya berkelak-kelok, cocok untuk dieksplorasi menjadi pondasi adegan kejar-kejaran yang ganas.
Ada puluhan lagu yang dibeli lisensinya untuk Baby Driver, termasuk lagu Simon & Garfunkel yang judulnya diambil sebagai judul film ini. Kendati variatif, namun mayoritas tak jauh-jauh dari indie rock, blues, garage, dan corak-corak musik lawas. Apalagi kurasi musik dibantu James Gunn, sutradara Guardian Galaxy Vol 2 yang punya ketertarikan terhadap lagu-lagu rock klasik.
Ansel Elgort sendiri juga tengah merintis kiprahnya sebagai musisi elektronik. Tahun ini ia merilis mini album bertajuk Supernova. Yah, walau sejauh ini ia tampak lebih berbakat menjadi aktor pemeran korban adiksi musik dibanding menjadi musisi sungguhan. Lagu “Easy” dari Commodores, band funk soul 70-an adalah karya yang memastikan Egort lolos menjadi pemeran pasti Baby, karena ia berhasil meyakinkan Wright dengan mempraktikan adegan sinkronisasi bibir dan berjoget dengan lagu itu. .
Sosok penting lainnya adalah Ryan Heffington, koreografer yang sebelumnya kerap bekerja untuk video musik Sia. Mahakaryanya tentu saja “Chandelier” yang memang menonjolkan olah tari eksentrik itu. Kontribusi Heffington pun signifikan di Baby Driver karena cukup banyak sinkronisasi gerakan Baby dengan musik yang ia dengarkan. Adegan Baby jalan kaki menelusuri perkotaan untuk membeli kopi sambil mencuri-curi joget adalah cara termudah melihat perannya.
Tapi mungkin tak ada yang sepusing Julian Slater, sang penanggung jawab olah suara. Jika sebelumnya ia menggawangi tata sound di Mad Max: Fury Road yang impresif dan menggelegar, ternyata kesulitan di Baby Driver malah lebih besar.
Bagi seorang sound editor dan sound mixer seperti Slater, bekerja untuk film aksi yang pilar bangunan sinematografinya justru musik, bukan naskah, menjadi tantangan emas. “Suara dalam film ini adalah karakter,” tukasnya. Suara sirine polisi, gonggongan anjing, letusan pistol, atau erangan Subaru WRX harus diselaraskan persis dengan lagu latarnya. Notasi musik kemudian menjadi arahan utama untuk bekerja. Padahal lagu-lagu seperti “Bellbottoms” bukan lagu dengan ritme yang sederhana. Pola ini juga diimplementasikan terhadap bagaimana suara dari earphone milik Baby keluar. Penonton diposisikan benar-benar ada di dalam kepala Baby, sehingga ketika Baby mencopot satu sisi earphone-nya, hanya satu sisi yang terdengar di bioskop. Ini juga diterapkan pada dengungan tinnitus di kuping Baby. Semua suara diegetic (suara yang berasal dari narasi film) harus masuk dan keluar secara detail, sinkron, dan subtil. Met ndasmu.
Apa yang dikerjakan Wright dan Slater di film ini mengingatkan saya pada wall of sound, teknik rekaman revolusioner dari Phil Spector pada era 60-an dulu. Ini adalah bentuk eksplorasi luar biasa kombinasi beberapa suara instrumen, bahkan juga ruang studio, sebagai pelengkap suara yang baru dan presisi. Butuh kepekaan setingkat angkasa untuk dapat menghasilkan suara yang diinginkan dengan teknik ini.
Terakhir, saya menemukan adanya efek nostalgia pada iPod dari film Baby Driver. Kedapatan beberapa penonton mengaku ingin punya kembali iPod Classic 160-GB seperti yang dimiliki oleh Baby. Bagi saya, film ini mengingatkan lagi apa yang tak terkalahkan dari iPod, yakni kodrat simpelnya, karena IPod diciptakan utamanya hanya untuk mendengarkan musik. Bayangkan jika Baby menggunakan iPhone, dan harus bete atau hilang konsentrasi saat mengebut karena putus internet saat memakai layanan Spotify, atau lagu yang didengarkannya terpotong oleh panggilan masuk dan notifikasi Whatsapp keluarga. Halah. iPod tak punya banyak fitur yang berpotensi menjadi distraksi. Hanya musik dan kamu.
#tributetostevejobs #givemeipod #terimakasihpoldametrojaya
Best Lines:
Doc: Retarded means slow, was he slow?
Griff: No
Doc: Then he don’t sound that retarded to me
After Watch, I Listen: The Strokes – Under Cover of The Darkness