Tags
franki raden, kritik musik, kuyakin sampai di sana, presiden menyanyi, Remy Sylado, rinduku padamu, SBY, yapi tambayong
Pak Presiden yang dimaksud adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Figur yang biasa saya sebut sebagai seorang mantan kepala negara merangkap “musisi yang sudah merilis album kelima sebelum ada yang mendengar album pertamanya.”
Tapi jangan ragukan dedikasi beliau sebagai musisi. SBY adalah nama panggungnya—menunjukan ia sudah berbakat artis sejak dalam nama. Menilik diskografinya, lima album itu dirilis dalam jangka waktu sepuluh tahun. Berarti rasionya dua tahun untuk per-albumnya. Ini sangat produktif untuk ukuran musisi yang punya sampingan mata pencaharian lain (yoi, presiden). Saya jadi berpikir kritis dong. Ada dua asumsi. Pertama, teori konspirasi. Jangan-jangan tawaran jabatan presiden dua periode (2004-2009 / 2009-2014) memang sudah sepaket dengan kontrak label rekaman untuk lima album. Jadi produktifitas itu memang demi memenuhi kewajiban profesional.
Kemungkinan kedua, menghadapi Bu Ani memang sangat membangkitkan inspirasi dan emosi. Saya cukup paham.
Nah, tapi buku Pak Presiden Menyanyi ini diterbitkan di awal tahun 2011, di mana beliau baru merilis tiga album, yakni Rinduku Padamu, Evolusi, dan Kuyakin Sampai Di Sana. Oh, tidak apa-apa kalau Anda tidak tahu ketiganya. Mungkin ini memang proyek musik idealis dengan distribusi yang sangat independen, hand to hand dan berbasis cutting edge. Beliau menolak sellout.
Syahdan, buku ini awalnya saya baca demi memperkaya referensi atas Yapi Tambayong alias Remy Sylado. Seminggu berikutnya, saya ada jadwal wawancara dengan sosok multi-talenta tersebut. Sebenarnya saya juga berminat untuk wawancara dengan SBY, namun apa mau dikata, hanya sakit hati yang saya terima. Setahun lalu, untuk pertamakalinya saya mengalami penolakan permintaan wawancara. Bukan cuma ditolak, bahkan tidak direspons! Ini buktinya:
Saya sendiri belum sempat secara serius mendengarkan lagu-lagu ciptaan SBY. Tapi saya terlanjur sama sekali tak terkesan dengan konten lirik—yang disebut Yapi sebagai sisi melik musik ketika kita hendak melihat bobot tema dalam acuan verbal—karangan beliau. Contoh, single-nya yang bertajuk “Rinduku Padamu”:
Rinduku padamu, duhai kekasihku
Lama sudah kita tak bertemu
Senyummu, Wajahmu …
Ada di mataku
Rindu … rindu … rinduku … padamu
Dengarkanlah kekasihku
Dendang merdu … dariku
Jangan biarkan waktu terus berlalu
Tataplah bulan itu …
Yang meneduhi kalbu
Seindah … Cinta kita berdua
Rindu … rinduku padamu …
Ingin kita segera bertemu
Pak Presiden Menyanyi mendorong kita melihat segala sisi positif untuk sebuah negara dipimpin oleh seorang presiden yang bernyanyi. Ada urgensi untuk memiliki kepala negara yang berminat pada seni musik sekaligus juga puisi, dan sastra. Ukuran peradaban suatu bangsa yang pada konteksnya meliputi asas, pilar, dan bratanya karuan harus dimulai dari kemampuan akal-budi dan cita rasa insan yang diwujudkan melalui aksara, tulisan, dan sastra. Ditegaskan bahwasanya bangsa yang tidak punya apresiasi terhadap sastra adalah bangsa yang biadab, barbar, dan vandal.
Selain itu, ada kelebihan persona khusus yang menurutnya merupakan fitrah insani pekerja kesenian untuk bisa diandalkan menyertai kualitas seorang kepala negara. Misalnya adalah sikap teguh pada rasa percaya diri tentang kebenaran dengan nalar yang pandai untuk menyatakan secara verbal dan literal. Pun cenderung tidak grusa-grusu dan tidak grudag grudug. Yang tak kalah penting, pemimpin yang berpengalaman di bidang berkesenian dipercaya lebih memahami budaya kritik. Tidak perlu terulang lagi eksekusi matinya R. Ng. Ronggowarsito yang mengkritik raja dalam puisi musiknya yang sangat penting, Serat Kalatida.
Mengingat SBY juga menulis sajak, Yapi mengimbuhkan fakta bahwa banyak sastrawan pemenang hadiah nobel justru adalah tentara: William Faulkner, Sir Winston Churchill, Ernest Hemmingway, William Golding, hingga Lei Nikolayevich Tolstoy.
Memperkuat perspektifnya untuk menyanjung-nyanjung kiprah dan karya SBY, buku ini juga menghadirkan komentar para ahli dan cendekiawan. Ada dua tokoh yang menurut saya melayangkan asumsi yang jitu. Yang pertama adalah Eddy Soetriyono, kritikus seni yang menjadi kurator seni antarnegara Cina-Indonesia. Dan ia justru mengkritisi penulisan lirik lagu-lagu SBY: “Lebih sebagai individu yang romantis. Dan romantismenya masih dalam tataran remaja, romantisme yang dangkal. Untuk mereka yang mendalami ‘romantik’ sebagai era dalam perjalanan kesenian barat juga timur, akan sulit mengomentari romantisme SBY”.
Lalu apa harapannya pada karya-karya SBY?
“Tentu saja mengharapkan pikiran dan kematangan jiwa pemimpin yang tersirat dalam musik dan puisinya, bukan jadi semacam nostalgia masa remajanya yang dulu tak mendapat saluran”.
Sementara Franki Raden, komponis skor musik film November 1826 dan Nagabonar serta penulis musik di penerbit-penerbit internasional menukaskan tiga syarat yang berkaitan dengan kapasitas SBY untuk memajukan budaya Indonesia—asa yang sekarang sudah kadaluarsa sebenarnya. “Pertama, beliau bisa melihat potensi musik sebagai cultural capital yang bisa diekspor ke pasar internasional, tentunya dengan mengandaikan bahwa produk musik Indonesia memiliki ciri khas dan berbobot. Jangan lupa uang yang beredar di pasar musik internasional lebih dari 40 milyar dolar AS tiap tahunnya, lebih besar dari APBN kita. Kedua, beliau memiliki goodwill untuk menata industri musik kita dengan baik agar pemusik yang kompeten memiliki kesempatan untuk hidup layak melalui ciptaan mereka di negeri sendiri. Ketiga, beliau bisa membangun infrastruktur yang kokoh untuk melestarikan kekayaan musik-musik tradisional kita di seluruh Nusantara dengan cara menggalang dan mendorong seluruh tokoh-tokoh musik dan budaya di Indonesia berpikir ke arah itu.”
Franki Raden menyesalkan tidak adanya sosok dalam pemerintahan SBY yang sungguh mengerti kekuatan kesenian dan kebudayaan sebagai komoditas. Padahal ribuan tahun silam, nenek moyang kita sudah bisa mengekspor alat musik knobbed gong ke seluruh Asia Tenggara. Sementara kini kesenian dan kebudayaan hanya jadi alat basa-basi politik dan kebanggaan yang tidak menghasilkan apa-apa. Kalau saja ada pihak yang mengerti di pemerintahan, mereka tidak akan segan-segan berinvestasi di bidang kesenian dan kebudayaan. Bukan hanya dari kalangan pemerintah, tapi juga swasta.
Seperti yang saya harapkan, membaca Pak Presiden Menyanyi tak cuma membuat kita berkenalan dengan persona seniman dari SBY. Kita juga dibanjiri khazanah wawasan musik yang dimiliki oleh Yapi Tambayong, sosok yang menurut saya paling wajib ditemui langsung oleh seluruh jurnalis musik Indonesia (walaupun tidak semua asumsi-asumsinya relevan, tapi dijamin membuka cakrawala). Ia diantaranya mengulas perihal relasi sejarah tren pop dengan era eksistensialisme, pembacaan lirik dalam lagu, serta apa yang terjadi dengan pergeseran terminologi ‘pendengar’ menjadi ‘penonton’ untuk audiens pertunjukan musik.
Salah satu yang membuat saya klop dengan sosok Yapi Tambayong adalah keterbukaannya pada budaya barat. Sudah berulangkali saya bosan diceramahi budayawan tentang dominasi budaya barat dan bla bla bla. Seakan kebudayaan nasional sepenuhnya digali dari timur dan konten-konten berbau barat akan selalu membahayakan pribadi bangsa. Pribadi yang mana btw?
Yapi menandaskan bahwa semua musik yang diciptakan dari skala diatonik berarti berangkat dan bersinambung dari peta musik barat. “Bengawan Solo”—dianalisis kemiripan akan komposisi dan gaya bernyanyinya dengan Elvis Presley—diciptakan dari pola musik barat. Keroncong apalagi, aslinya dari Portugis dan musik khas Protestan. Bahkan lagu-lagu daerah banyak yang serta merta mencontek lagu koloni (mulai dari “Manuk Cucakrawa”, “Dondong Opo Salak”—salah satu lagu pertama keluaran Manipol Soekarno yang mengolok-olok budaya barat—hingga “Indonesia Raya”). Kita memang mustahil lepas dari budaya barat karena musik Indonesia sendiri adalah satuan unsur Barat, Cina, Arab, dan India.
Selaku (juga) pakar bahasa, Yapi mengkritisi penggunaaan istilah ‘musisi’ dan ‘grup band’. ‘Musisi’ berasal dari bahasa Belanda, yakni ‘musici’, yang sebenarnya jamak. Maka seyogyanya ketika menyebut pemain musik tunggal adalah ‘musikus’—sama seperti ‘kritikus’ atau ‘politikus’. Sementara lema penyatuan ‘grup’ dan ‘band’ menjadi ‘grup band’ juga dianggap ngawur. ‘Grup’ dipakai untuk menyebut sebuah kelompok pemusik yang memainkan lagu ciptaannya sendiri. Sedangkan ‘band’ biasanya dimaksudkan untuk menyebut kumpulan pemusik yang biasa mengiringi siapapun yang menyanyi di depan.
Lantas sebagai kritikus, ia menegaskan perlunya kritik seni setelah tercipta seni. Dan jika kritik seni itu tidak kuat, perlu lagi kritik terhadap kritik, yaitu yang kita sebut antikritik. Yang disebut kritik adalah suatu diskursus atau karya tulis analisis yang dilengkapi komparasi luas atas pengetahuan musik meliputi sejarah dan sosiologisnya, didasari kerangka widya musikologi menyangkut artes liberales.
Omong-omong kritik, saya sejatinya bertanya-tanya menyimak laku kritik Yapi Tambayong dalam Pak Presiden Menyanyi sendiri. Ia cukup berandang memposisikan diri berimpresi positif pada kiprah berkesenian SBY. Bukan berarti tidak boleh, tapi saya melihat analisis-analisisnya terlalu cemerlang untuk kemudian semata disusun demi menyanjung dan meninggikan SBY, yang menurut saya tidak mengagumkan dan signifikan dari segi karya maupun pengaruh berkesenian.
Semua pun terjawab akhirnya tatkala saya bertemu orangnya langsung. Saya sengaja menyelipkan pertanyaan itu. “Apa yang membuat Anda tertarik menulis buku ini?” Luwes dan tanpa pikir panjang, ia menyahut, “Oh, karena diminta dan dibayar.” Wuanjing.