Tags
film coming of age, film remaja putri, film sacrameto, ibu dan anak, rekor rotten tomatoes, remaja putri, saoirse ronan
Greta Gerwig
Drama
Pernahkah kalian berpikir, “coba misal kita bisa memilih nama sendiri, aku bakal pilih punya nama apa ya?” Mungkin ini sering tebersit pada kalian yang punya nama yang kurang modern atau malah pasaran. Percuma kamu jatuh bangun berusaha kelihatan unik dan spesial di dunia ini kalau namamu adalah “Adit” atau “Dika”. Salah satu hal yang melekat pada diri kita namun tak bisa kita ubah untuk menunjukan selera pribadi adalah nama diri. Kamu baru bisa menunjukannya lewat nama anakmu yang bisa kamu beri nama “Salsabilla” atau “Khaira” (calon “Adit” dan “Dika” di masa depan). Aturan mainnya memang begitu. Itu adalah otoritas orangtua yang harus kita terima, setidaknya sebelum kita punya cukup usia dan niatan untuk melalui banyak prosedur hukum mengubah nama sendiri.
Salah satu kepatuhan pertama kita terhadap orangtua adalah nama. Bukan cuma doa, nama adalah identitas yang diberikan orangtua. Kita akan tinggal selamanya dengan itu. Sesuatu yang tak bisa kita tanggalkan dengan mudah. Masih mending jika namamu cukup panjang, sehingga kamu setidaknya bisa memengaruhi orang lain untuk memanggil dengan penggalan nama yang bisa kamu pilih sendiri. Misalnya, pacar saya yang bernama Risma Budi Prihanisa minimal punya tiga pilihan nama panggilan: Risma, Nisa, dan Budi (bahkan orangtuanya sudah memikirkan kemungkinan jika dia mau ganti kelamin).
Apesnya, jika kamu punya nama seperti seorang teman saya asal Batam: Bobi. Bersyukur saja, masih mending dia dikasih nama, daripada cuma dipanggil “heh!”?
Nama adalah entitas dari relasi anak-orangtua yang sulit untuk diganggu gugat. Kamu bisa membenci dan durhaka terhadap orangtuamu yang pemabuk atau doyan posting fotomu di medsosnya itu, tapi selama kamu masih dipanggil dengan nama pemberian orangtua, dan kamu menyahut, berarti kamu bersepakat dan melegitimasi salah satu kuasa mereka akan dirimu.
Maka dari itu, mengganti nama diri—baik secara resmi maupun tidak—berarti melanggar ketentuan dan kontrol orangtua. Fenomena penggunaan nama-nama akun media sosial—yang saking kreatifnya sudah seperti nama spesifikasi seri CPU (Intan 1m03dz 45ixx 3.6Ghz)–di luar sana bukan cuma kebutuhan berekspresi, melainkan membuktikan bahwa banyak orang sebenarnya punya keinginan untuk dikenal dengan nama selain pemberian orangtua. Tindak lanjut dari ketidakpuasan akan keputusan orangtua ini adalah sebuah pembangkangan dalam taraf tertentu.
Lady Bird pun bukan nama asli. Nama aslinya adalah Christine, dan agaknya memang nama yang cukup ketinggalan zaman. Satu alasan baginya memilih nama sendiri. “It’s given to me, by me” ujarnya.
Lady Bird.
Alasan kedua, ia memang tidak patuh. Lady Bird (Saoirse Ronan) merupakan siswi sekolah Katolik di Sacramento yang…. …. …. biasa-biasa saja. Ia memang bandel dan sering kali bertengkar dengan ibunya (Laurie Metcalf), tapi biasa saja. Kalau kata Awkarin sih,”Memang gue anak nakal. Seringkali berkata kasar. Tapi masih dalam batas wajar.”
Christine punya watak bandel (tapi wajar) dan keras kepala, mungkin sedikit mencolok di atas teman-temannya. Dan itu cukup terjelaskan karena ia tumbuh dalam keluarga dengan sosok perempuan (ibunya) yang berperan sebagai pencari nafkah utama dan pemimpin keluarga. Dengan cara pandang berontak seperti itu di tahun 2002-2003, rasanya hampir tidak mungkin jika Christine tidak membeli album pertama Avril Lavigne, Let Go.
Justru yang menawan dari performa Saoirse Ronan di Lady Bird adalah karena ia tampil tidak cukup menarik. Christine dihidupkan sebagai sosok yang ndableg dan sedikit norak, tipe wanita yang justru mungkin tidak kamu sukai—apalagi dari selera usia “setengah matang” seperti saya–namun tidak benar-benar kamu benci. Ia mencat merah rambutnya dan tidak menggunakan make-up agar bercak jerawatnya terlihat. Gaya bicaranya juga mengesalkan. Ronan benar-benar mencuri perhatian sepanjang film dengan tampil sangat manusiawi. Jika punya adik perempuan seperti dia, bakal saya bayari ngekos yang jauh sana.
Tak semua sutradara wanita serta merta bisa membawakan pendekatan female gaze lewat filmnya, namun Greta Gerwig berhasil melakukannya tanpa membuat film yang feminis secara eksplisit. Minim adegan-adegan sensual, Gerwig sukses menghadirkan penekanan unsur emosi dengan momen kecanggungan-kecanggungan ketika melihat Christine melakoni berbagai penjelajahan diri. Ia memburu status sosial dengan mendekati cewek populer di kelasnya dan mengaku-aku rumah orang kaya sebagai rumahnya. Kita juga gemas melihatnya melakukan pencarian seksual, dari berteriak lega setelah mendapatkan ciuman pertama, panik ketika melepaskan keperawanan tak sesuai fantasinya, serta bergonta-ganti pasangan dari anak teater ke anak band.
Dalam film coming-of-age, narasi keluarga menjadi sangat penting. Keluarga adalah latar belakang paling primer untuk menelusuri jejak karakter seseorang. Dan relasi antara Christine dengan ibunya memang pusat konflik di film ini, namun dibangun dengan amat realistis. Jelas bahwa Christine tidak puas dengan keluarganya, tapi tak lantas kemudian lari dari rumah dan sebagainya. Beberapa film penting di tahun 2017, termasuk I, Tonya dan Three Billboards Outside Ebbing, Missoury menghadirkan sosok ibu yang berwatak keras hingga tidak memperoleh simpati penuh dari anaknya. Namun, cuma Lady Bird yang menggambarkannya dengan sangat kompleks. Dalam jalinan komunikasi yang dibangun secara pasif-agresif antara Christine dan ibunya, semua interaksi tidak selalu meruncing pada konflik. Terkadang mesra, meski tetap ada nuansa kekikukan khas ibu dan anak. Seperti melihat ibu kita sendiri di rumah.
Kendati Christine adalah sorotan utama film ini, namun kita mudah untuk berempati pada ibunya. Bahkan, dalam adegan-adegan beliau memarahi Christine, kita bisa memahami perasaan dan logika kedua orang ini sekaligus. Ibunya berusaha keras untuk membantu Christine memahami lingkungan dan medan kehidupan yang dijalaninya agar tak keliru mengambil langkah-langkah yang rentan terusik oleh ambisi dan pergaulan remaja. Ibunya tak ingin kehilangan Christine karena sang putri mengabaikan identitasnya. Christine punya kesadaran kelas yang tak disikapi dengan benar, menjadikannya pekerjaan rumah yang besar bagi orangtua. “Money isn’t life’s report card,” bunyi petuah dari ibunya yang belum terlalu bisa diarifinya. Sisanya adalah konflik umum, seperti kerisauan orangtua untuk membiarkan putrinya merantau, sesuatu yang tak dapat dicerna oleh sang anak. Christine hanya menginginkan sesuatu yang sama dengan yang didambakan banyak remaja putri di luar sana.
Di luar analisa kelas, apa yang terjadi sebenarnya lumrah, yakni perbedaan perspektif dari gap alamiah dari kedudukan antara orangtua dan anak remajanya. Atas ketidakmampuannya mencerna permasalahan yang kurang lebih serupa, pacar saya bahkan punya tujuan hidup yang sungguh sederhana sejak SMP hingga sekarang: menikah dengan seseorang yang liberal.
Entah ia sebenarnya mencari suami atau presiden.
Relasi dengan ibunya sama dengan bagaimana Christine menghadapi kampung halamannya. Ia berulang kali menyatakan kemuakannya dengan Sacramento. Lagi-lagi ini pun biasa saja. Lazim bagi anak muda setempat untuk berhasrat angkat kaki dari kota ini. Kota dengan salah satu populasi LGBTQ tertinggi di Amerika Serikat ini memang terkesan menjadi wilayah subordinat meski infrastrukturnya cukup memadai sebagai sebuah kota besar. Aneh memang, mengingat Sacramento adalah ibukota negara bagian sebeken California, namun lingkungan dan masyarakatnya tidak terlalu hidup. Saya bahkan hanya tahu nama kota ini dari sebuah jersey tim basket di video games.
“Sacramento,”
“Where?”
“Sacramento.”
“Where?”
“San Francisco,”
Saat ditemukan tambang emas, perindustrian di Sacramento meledak bersama populasinya. Sacramento menjanjikan peluang ekonomi dan kekayaan, hingga pada 1879 diresmikan menjadi ibukota California. Dikenal sebagai sebuah kota dengan industri agrikultur, perlahan-lahan reputasinya turun menjadi sebuah kota pemerintahan yang membosankan. Baru-baru saja adanya upaya untuk mengikuti Austin, Texas, atau Nashville ketika ada upaya pengembangan sektor budaya dan hiburan. Pada tahun 2016, beberapa arena musik dan olahraga dibuka di pusat perkotaan. Bahkan, beberapa pihak sudah menyebutnya sebagai kota hipster.
Saking cupunya kota itu, bisa dibilang juga bahwa Lady Bird adalah film pertama yang menjadikan Sacramento sebagai bagian cerita yang inheren dengan plot serupa “karakter”. Tidak Jarhead, tidak pula Steamboat Jr.
Bagaimana Sacramento berperan melampaui sekadar set ruang dalam kisah Lady Bird teruraikan ketika tokoh biarawati (Lois Smith) mengomentari isi esai lamaran kampus milik Christine. Esai yang mengkritisi Sacramento itu dinilai justru menunjukan bahwa Christine sangat menyukai kota tersebut. Christine menyangkal. Ia mengaku hanya terlanjur observatif dan perhatian. Sang biarawati menjawab, “Bukankah sama antara cinta dan perhatian?”
Bunda, tentu saja itu berbeda.
Tapi dalam konteks Lady Bird, saya tahu kok kalau ini merujuk juga pada relasi antara Christine dengan ibunya.
Namun, cinta memang kadang bertepuk sebelah tangan. Christine akhirnya benar-benar terbang ke New York meraih mimpinya untuk kuliah di kota besar.
”People go by the names their parents give them, but they don’t believe in God”, ujarnya di sebuah bar di New York. Orang-orang mengamini ketentuan yang diberikan orangtua, namun menolak adanya ketentuan dari Yang Maha Kuasa. Masih saja, bagi Lady Bird, mengganti nama adalah sebuah pemberontakan, dan harusnya dilakukan lebih dulu sebelum berani-beraninya menampik ketetapan yang lebih besar. Namun, di akhir, ia sadar bahwa ke manapun ia pergi, nama “Christine” tak bisa terlepas darinya. Identitas pemberian orangtuanya itu selalu mengawaninya, sejauh apapun dirinya terbang memisahkan diri dari Sacramento dan keluarganya. Nama “Christine” mengingatkan bahwa ia selalu punya kesempatan untuk kembali pada versi terbaik dari dirinya sendiri.
Akhirulkalam, film yang terasa tidak ambisius dan suka-suka ini faktanya malah mencetak rekor Rotten Tomatoes. Dilansir dari Vice lho, situs agregator kritik tersebut mencatat Lady Bird sebagai pemecah rekor film dengan rerata skor resensi terbaik sepanjang masa, yakni seratus persen tanggapan positif dari 165 media. Alasannya sepertinya simpel saja, kebetulan semua penulis yang menonton Lady Bird pernah melihat sesuatu yang sama dengan yang ditampilkan di film itu.
Best Lines:
Marion: Do you have any idea how much it cost to raise you? How much you’re THROWING away every day?
Lady Bird: Give me a number.
Marion: What?
Lady Bird: GIVE ME A NUMBER!
Marion: I don’t understand.
Lady Bird: You give me a number for how much it cost to raise me, and I’m going to get older and make a lot of money and write you a check for what I owe you so that I NEVER HAVE TO SPEAK TO YOU AGAIN.
After Watch, I Listen: Avril Lavigne – Complicated