Tags
#marxisme, budaya, budayamassa, budayapopuler, johnfiske, mahzabfrankfurt, musikpop, theodoradorno
Buku ini saya baca utuh hanya demi menyiapkan diri untuk melakoni presentasi mata kuliah Kajian Budaya Media di kampus. Mata kuliah yang diampu oleh yang terhormat Mas Budi Irawanto ini adalah favorit, kendati bikin puyeng sekelas. Bukan rahasia jika keilmuan Kajian Budaya (Culture Studies) lebih muskil dari semesta ilmu sosial lainnya. Sejauh-jauhnya dari eksak, saingan beratnya filsafat. Mempelajari Kajian Budaya seperti menyimak orang bertengkar. Si ilmuwan A bilang A, dibantah si B, disangkal si C, dibalas lagi oleh si D, ditikung si E, ditusuk dari belakang sama si F, dan seterusnya sampai kiamat kubra. Tidak ada yang dianggap sebagai kebenaran bersama. Jangan berharap Kajian Budaya memberikanmu kepastian.
Lebih-lebih, begitu sudah mulai mantap dengan salah satu perspektif, eh akhirnya bingung juga mau diterapkan untuk apa. Jangan-jangan fungsi teori-teorinya memang hanya untuk jadi modal para ilmuwan itu berantem tadi. Visi-misi pengabdian keilmuan mereka cuma satu: tidak kalah debat.
Dan ilmu yang di luar sana biasa dipelajari di satu jurusan tersendiri ini kemudian harus saya pahami hanya dalam satu mata kuliah: 14 kali pertemuan… dan saya bolos setengahnya.
Saya pun kebagian jatah presentasi topik “Politik Budaya Popular: Antara Populisme dan Resistensi” yang kebetulan memang relevan dengan isi bukunya Dominic Strinati ini. Di bawah ini saya cuma merangkum isi presentasi saya kemarin. Lanturan panjang lebar yang semata untuk menjawab pertanyaan sederhana: apa itu budaya populer? (kalau memang nggak ingin tahu, mending enyah saja dari sini. Panjang soalnya)
Jadi begini….
Budaya populer awalnya hanya diidentifikasikan menjadi dua pengertian, yakni jenis karya inferior atau karya yang sengaja dibuat untuk disukai orang. Sementara dalam versi definisi yang lebih mutakhir, budaya populer dimaknai sebagai kebudayaan yang dibuat oleh orang-orang untuk kepentingan mereka sendiri. Namun, di antara dua rentang pemikiran itu terdapat banyak pergelutan mahzab yang satu sama lain bisa kita pinjam untuk menganalisa entitas-entitas dalam wilayah budaya populer.
Kesadaran akan budaya sebagai sebuah produk dirumuskan pada awalnya di era pasca-revolusi industri lewat Teori Budaya Massa yang merupakan konsekuensi dari urbanisasi dan industrialisasi. Lewat konsep ‘diatomisasi’, sebuah masyarakat massa dilihat sebagai orang-orang yang kurang punya hubungan satu sama lain yang bermakna dan koheren secara moral. Hubungan-hubungan mereka bersifat kontrak, berjarak, sporadis, dan tidak komunal. Inti proses atomisasi adalah runtuhnya organisasi-organisasi sosial perantara. Teori masyarakat massa menunjukan potensi terbuka bagi adanya propaganda massa, atau bagaimana peluang kaum elit memanfaatkan media massa untuk membujuk, mengeksploitasi atau memanipulasi masyarakat secara sistematis. Ini adalah konsekuensi dari masyarakat yang mengalami diatomisasi sehinga terbuka dalam menerima kekuatan persuasi atau manipulatif.
Budaya massa berasal dari atas ke bawah, khalayaknya adalah para konsumen pasif yang perannya hanya membeli atau tidak membeli. Secara sederhana, budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen. Budaya massa diproduksi untuk pasar massal. Pertumbuhan budaya ini memperkecil ruang bagi budaya yang tidak menghasilkan uang dan diproduksi secara massal, misalnya kesenian tinggi atau budaya rakyat. Karena penentu budaya massa adalah keuntungan, budaya massa tidak akan diproduksi jika tidak menguntungkan. Lantas, teknik produksi massal dan keharusan mencari keuntungan komersial dipandang memiliki pengaruh yang merusak dan menurunkan martabat budaya. Budaya massa adalah budaya standar, formulaik, berulang, dan bersifat permukaan. Budaya massa tidak memiliki tantangan dan rangsangan intelektual.
Para pemikir dari Mahzab Frankfurt lantas mengembangkan logika arus vertikal dari budaya massa menjadi teori yang lebih jauh menguliti kuasa kaum elit dalam otoritas kebudayaan. Beberapa perbedaannya dengan Teori Budaya Massa misalnya bahwa kebutuhan-kebutuhan sejati tidak dapat direalisasikan di dalam kapitalisme modern karena adanya kebutuhan-kebutuhan palsu yang harus dilahirkan oleh sistem ini untuk tetap bisa bertahan. Kebutuhan palsu menindas kebutuhan sejati sebagai pengorbanan untuk memenuhi konsumerisme. Hal ini terjadi karena orang tidak menyadari bahwa kebutuhan sejati mereka belum terpenuhi. Mahzab Frankfurt memandang industri budaya menjamin penciptaan dan pemenuhan kebutuhan palsu. Menurut Mahzab Frankfurt, industri budaya mencerminkan konsolidasi fetisisme komoditas, dominasi asas pertukaran, dan meningkatnya kapitalisme monopoli negara.
Menolak tendensi melihat konsumen sebagai pihak pasif dalam pertarungan budaya seperti yang dianut dalam dua teori sebelumnya, John Fiske dengan sederhana memberikan definisi tentang populer sebagai sesuatu yang diproduksi ’demi rakyat kebanyakan’. Artinya sebuah produk atau karya apapun yang diciptakan untuk kalangan kebanyakan akan sangat tergantung sepenuhnya kepada pemaknaan yang diberikan oleh mereka sehingga tidak semua produk masif industri bisa menjadi bagian dari budaya populer. Lebih lanjut Fiske menjelaskan:
“Budaya populer secara tipikal terikat pada produk dan teknologi budaya massa, tetapi kreativitasnya berada dalam cara-cara menggunakan produk dan teknologi tersebut, bukan dalam proses produksinya. .Budaya massa industrial bukanlah budaya populer meskipun ia menyediakan sumber kultural bagi lahirnya budaya populer. Budaya populer secara khusus melibatkan seni membuat dari apa yang tersedia”.
Sejumlah teori awal kerap memandang khalayak sebagai korban penipuan pasif tanpa berpikir, terbuka bagi manipulasi pengendalian ideologis oleh media massa. Sementara itu populisme memandang khalayak sebagai orang yang sadar dan aktif mengonsumsi media demi kepentingan mereka serta menginterpretasikan kembali pesan-pesan yang disebarluaskan oleh para produser budaya. Jika elitisme telah menganggap khalayak begitu pasif dan rentan, maka populisme memposisikan khalayak sebagai pihak aktif yang memiliki kepekaan subversif.
Graham Murdoch dan Peter Golding pada gilirannya mengemukakan perspektif ekonomi politik dalam analisis media massa dan budaya populer. Ini berangkat dari anggapan bahwa sosiologi kelas gagal dalam usahanya mengatasi peranan media massa. Meski mereka sadar dalam ketidaksadaran kelas, tapi tidak menyadari seberapa penting media massa dalam melegitimasi ketidaksadaran kemakmuran, kekuatan, dan hak istimewa. Media membuat ketidaksetaraan menjadi tampak alami dan tak terelakan. Murdoch dan Golding menganggap Mahzab Frankfurt melebih-lebihkan sifat otonom bentuk-bentuk budaya. Sikap itu dianggap mengabaikan pengaruh mendasar dari produksi material budaya populer, maupun relasi ekonomi di dalamnya. Misalnya Adorno pernah mengatakan bahwa industri musik pop di Amerika hanya diteliti hasil-hasilnya, tanpa memerhatikan bagaimana sebenarnya industri kapitalis memproduksi musik.
Kritik yang diberikan oleh kelompok politik ekonomi telah menimbulkan krisis paradigma yang berasal dari ‘pertentangan-pertentangan’ sehingga sempat menimbulkan kekhawatiran arah pemikiran dalam Kajian Budaya. Angela McRobbie menyebut peristiwa tersebut sebagai ‘krisis paradigma’ yang terjadi pada dekade 90-an. Untuk menengahinya, McRobbie mengusulkan agar para pengkaji budaya populer dalam perspektif Kajian Budaya kembali menilik pemikiran Antonio Gramsci perihal hegemoni sebagaimana yang pernah dipopulerkan oleh Stuart Hall.
Pemikiran neo-Gramscian ini lalu juga berupaya menengahi perdebatan antara perspektif yang melihat audiens sebagai pihak yang aktif atau pasif dalam kerja budaya populer. Titik tekan dari perspektif neo-Gramscian adalah bahwa ada dialektika antara proses produksi yang bisa jadi dipengaruhi kekuatan modal, ideologi dan politik tertentu dengan proses konsumsi. Di satu sisi ada kepentingan-kepentingan tertentu yang akan disampaikan produsen lewat produk budaya yang diharapkan menjadi budaya populer. Di sisi lain, konsumen juga melakukan proses pemaknaan terhadap apa-apa yang ada dalam produk budaya tersebut. Dalam perspektif hegemoni neo-Gramscian, budaya populer merupakan sebuah medan pertarungan dan negosiasi berbagai kepentingan, baik kepentingan kelompok dominan, subordinat ataupun oposisi. Kelompok pemerintah, misalnya, tentu ingin tetap mempertahankan kuasa dan kepentingan hegemoniknya sehingga mereka terlibat kontestasi dalam budaya populer.
Balik ke pertanyaan awal: apa itu budaya populer? Pada akhirnya kita memang tidak dapat menimbang budaya populer lewat alur historis sederhana. Dalam pandangan yang beraneka ragam, salah satu cara terbaik adalah menggambarkan berbagai macam aspek dari pendekatan yang berbeda-beda untuk menghasilkan suatu perspektif yang lebih memadai tentang budaya populer.
Nah, setelah mengikuti anggar mulut dari masing-masing perspektif di atas, saya mengambil posisi untuk meyakini bahwa budaya populer melibatkan dua unsur, yakni produksi dan praktik. Jadi budaya populer adalah produk budaya yang direspons balik oleh khalayak. Sesuatu yang diproduksi massal kalau hanya dikonsumsi secara pasif atau malah diabaikan begitu saja berarti tidak termasuk dalam budaya populer.
Tapi itu menurut saya lho—yang cuma tujuh kali ikut mata kuliah ini, dan setengahnya datang telat.
Karena sekali lagi, jangan berharap Kajian Budaya memberimu kepastian.