Tags

, , ,

10. Tyler The Creator – I THINK

Irama rancak, semburat distorsi bas, lalu sepotong demi sepotong bunyi synthesizer melintas. Ada sedikit nuansa 80-an. “I THINK” adalah salah satu nomor dengan aransemen paling mengkilap di album IGOR. Liriknya bicara perihal peraduan antara akal dan hati terkait keputusan untuk jatuh cinta, “I think I’ve fallen in love (Skate) / This time I think it’s for real (Four, skate)” Tak sereceh itu. Berkolaborasi dengan balutan konsep besar dan musiknya, larik-larik sederhana ini sanggup membuat kita masuk ke semesta psikologi seseorang yang tengah dirundung asmara.

 

9. Slipknot – Unsainted

“Unsainted” memecahkan rekor, menjadi video musik Slipknot dengan penonton terbanyak dalam rentang 24 jam pertama. Selain berkat gimmick topeng baru, potongan chorus “Oh, I’ll never kill myself to save my soul” di antara dentuman meledak-ledak itu terlalu catchy untuk gagal mendulang angka view berulang-ulang. Siap jadi gacoan baru untuk membuat seisi stadium melolong (termasuk di Hammersonic 2020, sampai jumpa, guys!)

 

8. The National – Light Years

Belakangan kian banyak musisi menurutkan lagu terbaik di urutan akhir album, salah satunya “Light Years” di I Am Easy To Find. Permainan piano melatari seluruh lagu dengan tema lirik perihal seseorag yang terpisahkan oleh perasaan: “Oh, the glory of it all was lost on me / ‘Til I saw how hard it’d be to reach you / And I would always be lightyears, lightyears away from you”.

Seperti diakui sendiri oleh Matt Berninger (vokal), terkadang komposisi bikinan Aaron Dessner tampak disiplin pada aturan formal musical. Namun, terkadang ia bisa membuat komposisi yang seratus persen terbangun dari emosi, sebagaimana “Light Years”.

 

7. Lizzo – Truth Hurts

Lagu ini sebenarnya rilis di tahun 2017, namun tak menjadi apapun lebih dari angin lalu. Jika aku mundur dari musik sekarang, tak akan ada yang menyadarinya. Ini adalah lagu terbaikku, dan tak ada yang mempedulikannya. Saya merasa, ‘fuck it, semua sudah berakhir’,” Lizzo berujar. “Truth Hurts” baru mencuat perlahan setelah viral di TikTok dan dipakai di film Netflix Someone Great. Dirilis ulang sebagai single radio, akhirnya lagu itu baru benar-benar sampai di pendengar pada tahun ini, dan jangan ditanya, puncak tangga lagu disikat plus menyabet nominasi Song of The Year di Grammy.

Lizzo di tahun ini pun merilis album yang lumayan, bertajuk Cuz I Lov You. Tetap saja, adalah “Truth Hurts” dengan irama dan melodi mengandung earworm itu yang membuka segala jalannya.

 

6. Lana Del Rey – The Greatest

Saya masih tertawan rasa pukau mendengar Lana Del Rey menyanyikan bagian, “…and I’m wasted” atau pada “..i’m facing the greatest”. Sensasi yang jarang muncul di performa vokal Lana Del Rey sebelumnya, kendati pesonanya satu tingkat dengan laungan panjang di “Pretty When You Cry”.  Di lagu ini pula menumpuk referensi budaya kontemporer, mulai dari siaran Instagram, The Beach Boys, “Life On Mars”-nya David Bowie, sampai kejengkelannya (dan saya) terhadap pilihan politik Kanye West. Ia berupaya mengenang kancah masa mudanya di California, lengkap dengan nikmat kultural dan kehidupan belum merumit. “I’m facing the greatest / The greatest loss of them all / The culture is lit and I had a ball / I guess I’m signing off after all” Bila “Venice Bitch” adalah mahakarya artistik musikal, maka “The Greatest” adalah puncak kelas Lana Del Rey di aspek substansi lirik.

 

5, FKA Twigs – Cellophane

Saat masih berpacaran dengan Robert Pattinson, Tahliah Debrett Barnett (nama asli FKA Twigs) kerap didera komentar rasis dari para penggemar aktor vampir itu. Mereka lebih suka idolanya balikan dengan Kristen Stewart (astaga, netizen banyak maunya!). Lagu ini tentang upaya Barnett menyelamatkan hubungan dalam kondisi semacam itu, apalagi Pattinson terlalu bertekad mempertahankan relasi yang ada. Alah, malah bergosip, toh hal yang pasti membuat ketgaihan lagu ini adalah vokal Barnett. Kontrol falsetto maupun sopranonya sengit. Ia merintih, menahan napas, dan membuat pecah berkeping-keping suaranya tanpa kehilangan momentum-momentum melodius.

 

4. Bon Iver – Hey Ma

Usai reka cipta gila yang dilakukan di tiap album sebelumnya, justru “Hey Ma’ adalah single pertama Bon Iver yang tidak mengejutkan, melainkan terdengar familiar. Album I,I memang tak jauh berbeda dari album 22, A Million (2016) yang brilian itu, selain turut menyuguhkan sentuhan akustik folk baroque kembali dari dua album awal.

Bedanya lagi, 22, A Million tak punya “Hey Ma’, lagu yang enteng dicerna. Pun dari segi lirik juga manis tanpa upaya puitis yang terlalu, mengisahkan memori masa kecil bersama ibu yang memandikan diiringi dongeng. Sungguh bahaya jika Bon Iver sudah mulai tahu formulanya membuat komposisinya terasa seakrab ini.

 

3. Vampire Weekend – Harmony Hall

Petikan country di awal, mendadak menjelma komposisi baroque di detik 43, lantas racikan gospel di bagian chorus. Dinamis sekaligus harmonis. Ketiga elemen itu bukan musik masa kini, tapi pilihan terbaik bagi hipster-hipster milenial, termasuk larik “I don’t wanna live like this, but I don’t wanna die”. Ups, lebih dari itu, lagu ini bicara perihal siklus kuasa dalam berbagai konteks pemerintahan. Bukan hanya kepada kaum subordinat, Ezra Koenig (vokal) dalam beberapa bagian juga mencoba berempati pada penguasa. Ia melihat relasi dialektika antara kedua golongan yang akhirnya membentuk siklus sejarah. Menarik sekali mendengar wacana seserius ini dibawakan dengan musik sumringah.

2. Billie Eilish – Bad Guy

Yah, beginilah “Bad Guy”: ada bas yang lebih dominan dari gitar dan piano, remaja putri yang mengaku bajingan, aliran music nu-goth pop (???), dan kesadaran misandri dalam lirik remaja 17 tahun. Lagu ini terdengar asing bagi generasi sebelumnya (kita?) namun jutaan merayakannya, artinya jutaan lain harus mengaku sudah tua.

Perlu diakui 1) “Bad Guy” adalah lagu terpenting di tahun 2019 dan 2) Synth riff setelah “duh” di chorus lagu itu punya potensi anthemic ala riff gitar “Smell Like Teen Spirit”. Jelas terlalu dini untuk menyetarafkan “Bad Guy” dengan mahakarya Nirvana itu sebagai ikon generasi, namun sejauh ini ciri-cirinya terpenuhi. Tinggal waktu yang membuktikan.

 

  1. Lana Del Rey – Venice Bitch

Salah satu progres terkini di ranah musik Top 40 adalah atensi penyanyi terhadap aransemen lagu-lagunya. Sebagian dari mereka mulai sadar bahwa kesuksesan lagunya tak lagi bersandar kuat pada melodi vokal, notasi, atau suara emas biduannya (kecuali Adele, ya, ia masih berhasil dengan itu). Sejauh ini Lana Del Rey masih yang terbaik, dan agaknya memang yang menaruh komitmen besar di aspek aransemen dan instrumen.

Maka, selain “Bad Guy” dan Joker, dekade ini juga disempurnakan dengan sebuah rilisan lagu pop 9 menit, separuhnya tanpa vokal, melainkan ruang lapang bagi interlude, instrumental, solo synthesizer, distorsi, noise, dll. Bahkan, sejak pertama kali kenal synthesizer dari ngiung-ngiung-nya Pee Wee Gaskins, akhirnya saya menemukan komposisi alat musik keparat itu yang benar-benar bagus (simak menit 3.20). Kiranya tak pernah ada aransemen balada pop sebagus ini sebelumnya. “Venice Bitch” membuka luas kemungkinan artistik baru di wilayah lagu-lagu Top 40, namun saya serela itu andai lagu ini menjadi lagu pop terakhir di dunia.